Transformasi
Ekonomi Indonesia Badri Munir Sukoco ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga |
MEDIA INDONESIA,
17 September 2021
TELAH 76 tahun
Indonesia merdeka. Gerbang yang memungkinkan kita sederajat dengan negara
lain. Cita-cita besar bangsa ialah menjadi negara maju pada 100 tahun
kemerdekaan kita. Derajat inilah yang menjadikan Indonesia dapat berperan
aktif dalam melaksanakan ketertiban dunia, sebagaimana amanat founding
fathers kita. Apa yang harus dilakukan Indonesia untuk menjadi negara
maju? Negara maju Negara maju
diistilahkan berbeda-beda: IMF menyebutnya advanced countries. UNDP
menyebutnya developed countries,
adapun World Bank dengan high-income
countries. Saat ini
kontribusi negara maju pada perekonomian dunia beragam, naik dari 13% (1990)
menjadi 17% (2010 - IMF), tetap 25% (UNDP) dan 16% menjadi 26% (World Bank).
Negara maju juga didefinisikan secara beragam. Kesamaannya pembangunan sebuah
negara yang diukur berdasarkan tingkat GDP per kapita (>US$12,696 pada
2020, naik jika dibandingkan dengan US$6,000 pada 1989), kestabilan ekonomi,
politik, dan parameter sosial lain yang menunjukkan kekuatan sebuah negara,
dan dominasi sektor industri dan jasa dalam perekonomian. Tiongkok ialah
negara yang terdepan untuk keluar dari middle
income trap (MIT). Sejak memiliki GDP per kapita >US$1,000 pada 2001,
akhir 2020 telah mencapai US$10,500. Malaysia mengalaminya lebih panjang,
mulai 1977 hingga 2020 ($10,402). Hong Kong membutuhkan 14 tahun (1971-1984)
untuk menjadi negara maju, sama dengan Korea Selatan. Sementara itu,
Singapura hanya membutuhkan 12 tahun (1971-1982) dan saat ini menjadi salah
satu negara berpendapatan tertinggi di dunia. Beberapa negara terkategorikan
MIT, misalnya Argentina yang sempat memiliki GDP per kapita US$14,613 (2017),
kemudian turun (US$9,912 – 2019; US$8,442 - 2020). Begitu juga dengan Brasil
maupun Rusia mengalaminya. Thailand memiliki kinerja lebih baik (US$7,817 –
2019; US$7,189 – 2020) jika dibandingkan dengan Indonesia (US$4,135 – 2019;
US$3,870 – 2020). Kondisi inilah yang menurunkan status Indonesia dari upper-
ke lower middle-income country. Transformasi ekonomi Dalam RPJMN
2019-2024, program strategis Kabinet Indonesia Maju ialah transformasi
ekonomi. Didefinisikan, sebagai proses yang berkesinambungan (McMillan dkk.,
2017) untuk (a) memindahkan pekerja dan sumber daya lainnya dari yang
berproduktivitas rendah menjadi tinggi (perubahan struktural), (b)
meningkatkan pertumbuhan dalam sektor yang ada melalui penggunaan teknologi,
dan (c) mendorong daerah-daerah yang potensial sebagai lokomotif pertumbuhan.
Data dari
World Bank dan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO),
menunjukkan perekonomian negara maju pada 2016-2019 didominasi sektor jasa
(69,76%), diikuti agrokultur (16,23%), dan industri hanya 14,01%. Adapun
untuk upper middle-income countries, jasa berkontribusi 55,44%, diikuti
agrokultur (24,87%), dan industri (19,69%). Struktur
ekonomi tersebut berbeda dengan Indonesia, dengan jasa masih 43,72%, diikuti
agrokultur (36,21%), dan industri (20,06%). Lebih dari setengah perekonomian
Malaysia ialah sektor jasa (52,90%), diikuti agrokultur (25,44%), dan
industri (21,65%). Profil yang
sama juga dimiliki Tiongkok dan Korea Selatan. Dominasi jasa sebagai
kontributor terbesar, tetapi industri lebih besar jika dibandingkan dengan
agrokultur. Pertumbuhan sektor dengan teknologi untuk efisiensi juga menarik
untuk dicermati. Data UNIDO menunjukkan industri manufaktur Korea Selatan
(+US$507 miliar) lebih dari seperempatnya, berasal dari teknologi informasi. Tentu,
penguasaan pasar yang tinggi di teknologi informasi oleh Samsung dan produsen
lain merupakan alasannya. Bagi Tiongkok meskipun kontribusi teknologi
informasi secara persentase tidak berubah signifikan, total output-nya naik
3x lipat jika dibandingkan dengan 2005. Adapun AS, kontribusi teknologi
informasi sebesar 7,41% (2018) dengan total output industrinya sebesar +US$2,61
triliun. Bagaimana
dengan Indonesia? Industri makanan dan minuman (19,86%), petrokimia (12,37%),
dan otomotif (10,43%) ialah tiga besar kontributor utama, dengan total output
industrinya sebesar +US$163 miliar. Terakhir, menggunakan daerah tertentu
sebagai pusat pertumbuhan baru (Zhou dan Hu, 2021). Untuk
Tiongkok, hal ini dimulai 1979 dengan menetapkan empat kawasan ekonomi khusus
(Shenzhen, Zhuhai, Shantou, dan Xiamen), dengan tujuan utama menarik
investasi dari perantauan. Dekade selanjutnya diperluas. Tidak hanya daerah
dengan pelabuhan yang langsung berhadapan dengan laut, tetapi juga daerah
yang menjadi muara sungai. Bila 1995 hanya Shanghai yang menjadi daerah upper
middle-income, lima daerah telah berstatus high-income pada 2015: Beijing,
Tianjin, Shanghai, Jiangsu, dan Zhejiang. Hal ini
terfasilitasi utamanya oleh pembangunan yang terintegrasi di bawah program
nasional, utamanya belt and road initiative. Bagaimana dengan Indonesia?
Tahun 2019, hanya Jakarta yang berstatus high-income. Lima daerah berstatus
upper-middle income: Riau, Kepulauan Riau, Kaltim, Kalbar, dan Papua Barat.
Yang mengejutkan, lima daerah di Jawa masih berstatus lower middle income. Rekomendasi Indonesia
masih memiliki waktu 24 tahun untuk mewujudkan cita-cita besar sebagai negara
maju. Bila pertumbuhannya setara rerata 10 tahun terakhir, butuh 64 tahun
bagi Indonesia melewati batas minimal negara maju. Untuk itu, dibutuhkan
transformasi ekonomi secara struktural, dengan menambah kontribusi sektor
jasa, hingga 26% dari kondisi sekarang. Penambahan ini
perlu beriringan dengan penyiapan SDM Indonesia melalui pendidikan tinggi
yang relevan. Memilih jasa yang bernilai tambah tinggi, dengan linkage effect
besar perlu dilakukan. Ketika middle-income class bertambah, kebutuhan akan
pariwisata, pendidikan tinggi yang berkualitas dunia, kesehatan dan yang
terkait (termasuk kecantikan), olahraga, dan ekonomi kreatif ialah beberapa
sektor yang perlu diutamakan. Bersaing
dengan negara lain pada sektor industri yang mengandalkan biaya murah,
khususnya SDM, bukanlah pilihan ideal untuk keluar dari MIT. Lee (2019)
menekankan pentingnya pemilihan industri strategis yang bernilai tambah
tinggi dengan daya jangkau pasar yang luas, yakni teknologi tinggi. UU No 11/2020
tentang Cipta Kerja Pasal 84 ayat 2 butir b perlu dioperasionalkan, melalui
road map industri strategis Indonesia. Road map yang dihasilkan akan
memberikan arah riset nasional, pada bidang apa harusnya menjadi fokus dari
peneliti yang akan dimanfaatkan industri kita. Tentunya, insentif bagi pelaku
usaha, misalnya akselerasi PP No 45/2019 sebagai dasar super deduction tax,
agar pelaku usaha industri strategis tumbuh dan berkembang. Sektor
agrokultur juga strategis, khususnya terkait dengan ketahanan pangan dan
inflasi. Dapat dipahami, negara-negara maju masih memiliki kontribusi
signifikan dari sektor ini. Tentu menggunakan teknologi. Terdapat 33,4 juta
penduduk Indonesia yang bekerja di sektor ini, dan peran teknologi yang
disesuaikan dengan kebutuhan pasar akan memberikan nilai tambah tinggi dan
menjadi daya tarik generasi muda untuk terlibat. Tren kembali
ke alam yang melanda dunia, perlu direspons dengan menggalakkan sayur dan
buah tropis nonorganik. Memanfaatkan kebutuhan daging dan makanan halal, juga
menjanjikan, dengan 1,8 miliar muslim dan nilai pasar US$3,2 triliun.
Besarnya pasar domestik Indonesia jangan sampai menjadikan kita sebagai
penonton dan konsumen dari produk negara lain. Belajar dari
Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, Indonesia harus memanfaatkan pasar
domestik dengan middle-income class
yang besar untuk mengembangkan jasa, industri, dan produk agrokultur bernilai
tambah tinggi. Kukuhnya fondasi ekonomi domestik menjamin keberlangsungan
pertumbuhan ekonomi Indonesia menuju negara maju 2045. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/433294/transformasi-ekonomi-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar