Kasus Evergrande, Terlalu Besar Untuk
Gagal Aprilian Hermawan
; Wartawan
Bisnis Indonesia |
BISNIS INDONESIA,
25 September 2021
Seruan too big to fail yang terus menggema
dalam pekan ini kiranya berhasil meluluhkan sikap bank sentral China setelah People’s Bank of China (PBOC),
mengguyur 120 miliar yuan atau US$18,6 miliar (Rp266 triliun kurs Rp14.300
per dolar AS) ke dalam sistem perbankan. Tindakan tersebut
diambil menyusul intensitas kekhawatiran pasar yang meningkat atas kasus
gagal bayar Evergrande Group yang menjadi sorotan pemberitaan media di China
karena begitu tingginya risiko kebangkrutan perusahaan. Suntikan PBOC
dilakukan dalam bentuk reverse
repurchase agreements atau reverse
repo yang menghasilkan pendanaan bersih senilai 90 miliar yuan atau
setara US$13,9 miliar. Adapun
pernyataan ‘terlalu besar untuk gagal’ tersebut terkait dengan risiko efek
berantai yang timbul dari kebangkrutan konglomerasi yang memiliki lebih dari
1.300 proyek di lebih dari 280 kota di seluruh negeri. Imbauan agar
Beijing melakukan bailout mengemuka dari sebagian besar analis di Negeri Naga
itu agar dampak negatif yang lebih besar bisa terhindarkan. Betapa tidak. Dengan
utang senilai US$300 miliar atau setara dengan Rp4.200 triliun itu,
perusahaan pengembang realestat milik pengusaha Hui Ka Yan telah menjadi
salah satu korporasi dengan utang paling banyak di China saat ini. Sebagai
catatan, Hui mendirikan Evergrande yang dikenal sebagai Grup Hengda pada
tahun 1996 di Guangzhou, China selatan. Bisnis Evergrande kemudian berkembang
pesat. Tidak hanya berkutat di sektor properti saja tetapi juga menggurita ke
bidang usaha lain seperti pengelola kekayaan, pembuat mobil listrik,
manufaktur makanan dan minuman. Bahkan
Evergrande juga menjadi pemilik salah satu tim sepak bola terbesar di negara
itu, Guangzhou FC. Klub tersebut
merupakan sang juara bertahan Liga Super China yang kini diasuh oleh eks
punggawa timnas Italia, Fabio Cannavaro. Tidak heran
dalam kiprahnya, Hui bahkan pernah menjadi orang terkaya di Asia sebelum
kekayaannya anjlok dalam beberapa bulan terakhir. Menurut BBC.com yang
mengutip laporan Forbes, Hui memiliki kekayaan pribadi sekitar US$10,6
miliar. Masih menurut
Forbes, Hui tercatat sebagai orang terkaya di China pada 2020 dengan kekayaan
pribadi sebesar 3 miliar yuan. Sebagai gambaran, Jack Ma, pendiri Alibaba
Group pada tahun itu berada di posisi kelima dengan kekayaan 1,12 miliar
yuan. Ada beberapa
alasan mengapa risiko default ini begitu serius buat China sehingga seruan too big to fail muncul. Kekhawatiran
ini telah menimbulkan ketidakpastian yang membuat harga saham Evergrande
jatuh sekitar 80% tahun ini. Obligasinya juga telah diturunkan oleh lembaga
pemeringkat kredit global. Pertama,
banyak orang membeli properti dari Evergrande di depan, sebelum pekerjaan
pembangunan dimulai. Animo masyarakat yang begitu besar ini karena
iming-iming Evergrande yang melakukan terobosan penawaran harga properti
dengan diskon besar-besaran. Mereka yang telah membayar DP itu, berisiko
kehilangan uangnya jika Evergrande bangkrut. Kedua, selain
dampak terhadap masyarakat, banyak perusahaan lain yang berbisnis dengan
Evergrande. Korporasi yang terlibat itu meliputi perusahaan konstruksi,
desain hingga pemasok material. Gagal bayar ini tentunya akan berdampak pada
risiko kerugian sektor lain hingga kebangkrutan massal. Ketiga, dampak
negatif terhadap sistem keuangan China. Evergrande dilaporkan telah berutang
kepada sekitar 171 bank domestik dan 121 perusahaan keuangan lain. Dari sisi
iklim investasi, mega-kasus Evergrande ini juga dinilai dapat membuat sinyal
negatif terhadap para pemodal. China bisa dianggap sebagai negara yang tidak
mampu memberikan kepastian usaha dan tempat yang kurang menarik untuk menaruh
uang para investor. Alhasil,
risiko kejatuhan yang memiliki imbas sangat serius ini mendorong beberapa
analis merekomendasikan Beijing untuk turun tangan memberikan bantuan. Akan
tetapi, gagasan bailout ini
tersebut bukan tanpa pertentangan. Sebaliknya, mereka yang menyerukan
anti-bailout menilai Evergrande tidak boleh bergantung pada dana talangan
pemerintah dan harus bisa mengurus dirinya sendiri. Langkah bailout hanya
akan memberikan preseden buruk bagi perusahaan lain. *** Kasus
Evergrande mengingatkan kejadian serupa 14 tahun silam ketika terjadi ledakan
kredit macet hipotek murah (subprime mortgage) di Amerika Serikat pada
pertengahan 2007. Sebagai imbas dari krisis pada saat itu, gagasan dana
talangan pun muncul untuk tidak membiarkan nama-nama bank papan atas kelas
dunia pailit begitu saja. Too big to
fail adalah istilah yang menjadi kalimat perdebatan di AS menjelang kejatuhan
Lehman Brothers, bank investasi terbesar keempat di AS (setelah Goldman
Sachs, Morgan Stanley, dan Merrill Lynch). Bank yang berusia 158 tahun ini
dinilai perlu mendapat uluran pemerintah karena begitu besarnya efek berantai
yang bisa timbul jika ditutup. Program
bailout ini tidak diberikan begitu saja kepada Lehman dan bank-bank lain,
tetapi terlebih dulu diwajibkan mengikuti stress
test. Uji daya tahan itu bertujuan untuk mengukur risiko yang muncul bila
krisis berlarut-larut. Uji ini
merupakan bagian dari episode program bailout
yang kala itu diluncurkan pada kuartal III/2008 untuk membeli aset dan
ekuitas dari institusi keuangan yang dibantu. Dalam program itu, Pemerintah
AS mengalokasikan kocek US$700 miliar untuk menjaga kepercayaan pasar dan
mencegah kejatuhan pasar lebih dalam. Lagi-lagi,
silang pendapat pun menyeruak karena dana talangan yang digunakan berasal
dari publik. Sebagian elemen masyarakat menegaskan program pinjaman
sementara, bantuan, talangan atau apa pun itu namanya, dianggap memiliki
konsekuensi negatif karena sumber dana yang digunakan berasal dari rakyat. Para senator
bahkan mengkritik istilah too big to
fail sebagai kebijakan yang merugikan para pembayar pajak. Kebijakan itu
dianggap preseden buruk karena seakan negara membiarkan pebisnis melenggang
dari risiko bisnis. US Federal
Deposit Insurance Corp (FDIC), semacam lembaga penjamin simpanan di AS juga
berteriak lantang kepada pemerintah untuk mengakhiri penggunaan istilah too
big to fail. Lembaga khawatir ungkapan ini bisa membuat perbankan terlena dan
merasa akan selalu dilindungi. Sikap tegas
FDIC itu tidak lepas dari kritik pedas karena pemerintah memakai uang
pembayar pajak untuk menyuntik institusi keuangan. Dalam perkembangannya,
FDIC meminta pemerintah fokus kepada pengawasan agar bank yang mendapat
bailout kembali sehat dan bisa mengembalikan dana talangan. Dan pada
akhirnya, krisis subprime mortgage
yang semula terjadi di Negeri Paman Sam itu akhirnya menyebar dengan cepat ke
berbagai penjuru dunia. Tak ayal, perekonomian dunia akhirnya ikut terpapar
dan ikut merasakan pelemahan. *** Di Indonesia,
ungkapan too big to fail juga
pernah menggema dan mengingatkan pada kasus Bank Century dalam memutuskan
kebijakan dana talangan sebesar Rp6,7 triliun. Akan tetapi, istilah yang
dipakai saat itu adalah risiko sistemik. Secara
definisi, risiko sistemik merupakan risiko gangguan terhadap layanan keuangan
yang disebabkan menurunnya fungsi seluruh atau sebagian sistem keuangan dan
berpotensi berdampak negatif bagi perekonomian. Risiko sistemik itu dapat
timbul dan menyebar cepat jika terdapat hubungan saling terkait antar elemen
sistem keuangan. Bagi
pemerintah, ancaman risiko sistemik itulah yang dijadikan alasan berani
mengucurkan suntikan dana Rp 6,7 triliun. Tujuannya, agar kegagalan bank ini
jika ditutup tidak menimbulkan risiko sistemik, yakni merembet ke bank-bank
lain sehingga membuat sistem keuangan runtuh. Akan tetapi
dalam hasil auditnya Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan pemerintah tidak
memberikan informasi sesungguhnya secara lengkap pada saat menyampaikan Bank
Century sebagai bank gagal—yang ditengarai berdampak sistemik—kepada Komite
Stabilitas Sektor Keuangan. Meskipun kasus
Bank Century menjadi perdebatan pada waktu itu, lembaga tinggi negara
tersebut menilai Bank Indonesia dan KSSK belum memiliki kriteria terukur
dalam menetapkan dampak sistemik. Dalam hasil auditnya BPK juga menyebutkan
proses penanganan bank tersebut kepada Lembaga Penjamin Simpanan tidak
dilakukan berdasarkan data kondisi bank yang lengkap serta tidak berdasarkan
pada kriteria terukur. Pada akhirnya,
kasus Bank Century menjadi bola panas setelah mantan gubernur Bank Indonesia
dan sejumlah orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. Keputusan penyelamatan tersebut menimbulkan
kontroversi atas layak tidaknya bank ini diselamatkan. Salah satu kontroversi
yang mencuat adalah soal dampak sistemik tidaknya bank ini ketika bail out dilakukan. Kembali ke
peristiwa Evergrande. Meskipun beberapa analis menyatakan kasus ini tidak
akan membuat kejatuhan parah seperti Lehman Brothers pada, Bagaimanapun
berulangnya kasus gagal bayar korporasi besar seakan memberikan peringatan betapa
rapuhnya sistem keuangan dunia, bahkan di negara-negara maju sekalipun. Peristiwa
tersebut sekaligus seakan menunjukkan kepada siapapun bahwa kebijakan
akselerasi pembangunan yang dihasilkan dari sistem keuangan modern ternyata
tidak bisa lepas dari risiko kejatuhan beruntun. Perusahaan
yang ukuran, kompleksitas, keterkaitan, dan fungsi kritisnya yang begitu
besar, memiliki risiko yang tak kalah besar bila secara tak terduga
dilikuidasi. Dampaknya tentu saja dapat mengganggu sistem keuangan dan perekonomian
suatu negara yang kawasan sehingga pemerintah perlu memberikan dukungan
kepada perusahaan yang masuk dalam kriteria too big to fail. Akan tetapi,
keputusan itu harus dilakukan bukan karena pilih kasih apalagi motif mencari
keuntungan, tetapi karena otoritas menyadari bahwa ada konsekuensi yang lebih
luas terhadap perekonomian. ● Sumber : https://bisnisindonesia.id/article/ekspresi-kasus-evergrande-terlalu-besar-untuk-gagal |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar