Politik-Ekonomi
Merger Pelindo Fachry Ali ; Salah satu pendiri Lembaga Studi dan
Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia) |
KOMPAS, 16 September 2021
Kementerian
BUMN mengumumkan merger PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) 1 hingga 4 akan
dilaksanakan pada 1 Oktober 2021. Ketika
Kementerian BUMN mengumumkan merger ini, pikiran saya melayang kepada makalah
J Á Campo yang, bersama dengan makalah saya, disampaikan dalam Seminar “The
Late Colonial State” di Leiden University pada 1989. Melalui penyuntingan
sejarawan Robert Cribb dengan judul "The Late Colonial State: Political
and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880-1942" (1994),
makalah Compo, bersama lainnya, terkonservasikan. Sesuai
judulnya, “Steam Navigation and State Formation”, makalah Campo berbicara
soal sumbangan dunia pelayaran dan pelabuhan sebagai elemen penting
pembentukan negara. ”Berhadapan dengan penggerogotan negara-negara kelautan
(naval states) yang lebih kuat,” tulis Campo, “perusahaan-perusahaan
transportasi laut memperkuat kedaulatan eksternal negara kolonial.” Yang
menarik, terutama dilihat dalam perspektif dewasa ini, para pengusaha
pelayaran Belanda menggunakan “politik nasionalisme” dalam menghadapi pesaing
dari Inggris. Untuk menahan ekspansi pengusaha Inggris HO Robinson, ─wakil
kelompok pemilik kapal Inggris yang kuat yang kontrolnya melingkupi British
India Association, the Queensland Royal Mail dan the British India Steam
Navigation Company, pada 1863, pemerintah Belanda mengharuskan tiap peserta
kontrak di dunia pelayaran kolonial berbadan hukum Belanda. Dengan
cekatan, pengusaha Inggris ini membangun Netherlandsche-Indische Stoomvaart
Maatchappij (NISM) yang, karena tetap lebih efisien, bisa mengalahkan
perusahaan pelayaran Belanda: Stoomvaart Maatchappij Nederland (SMN) dan
Rotterdamsche Llyod. Dalam
konteks inilah, dengan memobilisasi dukungan pengusaha Amsterdam dan
Rotterdam, mereka memasang slogan politik yang yang disebut Compo sebagai
national interests. Sebuah tindakan “non-pasar” karena tak mampu bersaing
dalam efisiensi korporasi. Intervensi
“non-pasar” ini lebih jauh dilakukan Pangeran Henry (1820-79). Seperti
digambarkan penulis Inggris JS Furnivall dalam Netherlands India: A Study of
Plural Economy (1944 [1938]), pembukaan Terusan Suez (1869) dan Perang Aceh
(dimulai 1873) telah menyebabkan perairan Hindia Belanda kian dipenuhi oleh
kapal-kapal Inggris. Ini
menimbulkan keprihatinan Pangeran Henry. Fakta bahwa Henry adalah keturunan
William I (1772-1843), membuat keprihatinannya dengan mudah terterjemahkan ke
dalam kebijakan politik-ekonomi kolonial. Melalui desakannyalah Koninklijk
Paketvaart Mij (PKM) didirikan pada 1888. Dalam
konteks politik, hasrat Pangeran Henry ini berada dalam kecenderungan apa
yang disebut Furnivall subordinated Indian interests to home politics
(menomorduakan kepentingan Hindia Belanda demi politik dalam negeri induk). Usaha
mengalahkan saingannya, Inggris, dalam bisnis pelayaran dan keuntungan
ekonomi yang kian tinggi dalam periode kebijakan “liberal” pasca-pembubaran
Sistem Tanam Paksa pada 1870, dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari
kepentingan domestik Belanda atas kerugian Hindia Belanda. Inilah,
antara lain, yang menjadi dorongan pembangunan infrastruktur penopang
penciptaan kekayaan melalui eksploitasinya atas sumber daya Hindia Belanda.
Maka, tak mengherankan, jika Pangeran Henry melanjutkan aksi ekonominya
dengan memerintahkan pembangunan pelabuhan Tanjung Priok pada 1872, yang diselesaikan
dengan biaya 26,5 juta gulden, pada 1893. Di
samping pembangunan rel kereta api Tanjung Priok-Cilacap (1886) dan dari
Emmahaven (kini Teluk Bayur)-Padang pada 1893, Henry juga memerintahkan
pembangunan pelabuhan Belawan pada 1890 untuk kepentingan kaum kapitalis
perkebunan Deli, Sumatera Utara. Di sini kita melihat penguatan modal yang
berlangsung di Hindia Belanda (kini Indonesia) melalui pembangunan
infrastruktur pelabuhan dan perkapalan adalah proyeksi kepentingan
politik-ekonomi domestik negara induk alias Belanda. Maka
tak heran jika kita melihat, seperti diuraikan GJ Missen dalam View Point of
Indonesia: A Geographical Study (1972), selama tiga abad hingga 1942
penjajahan Belanda, tak ada industrialisasi signifikan di Hindia Belanda. Konsolidasi kekayaan negara dan aksi
korporasi Dalam
perspektif sejarah politik-ekonomi di atas kita melihat signifikansi merger
atau penggabungan Pelindo 1-4. Secara umum, langkah ini kelanjutan penciptaan
holding (induk) BUMN pertambangan pada 2018 di bawah Menteri BUMN Rini
Soemarno (2014-2019). Kita
ketahui, pembentukan induk BUMN pertambangan ini bahkan melebar ke pembelian
55 persen saham PT Freeport Indonesia. Ini berarti konsolidasi kekayaan
negara di pertambangan di masa kepresidenan Jokowi bukan saja diperkokoh,
melainkan, dengan reputasi global PT Freeport, “merentang” secara
internasional. Perkembangan
ini, tentu saja, tegak pada fondasi yang diletakkan melalui pembentukan
Kementerian BUMN pada 1998 di bawah Menteri Tanri Abeng (1998-1999). Aksi ini
decisive secara politik-ekonomi. Sebab, bukan saja melalui itu kekayaan
negara yang sebelumnya terpencar-pencar di bawah koordinasi masing-masing
kementerian teknis, dapat disatukan. Melalui
aksi korporasi dalam bentuk privatisasi BUMN secara terbatas, sepanjang
krisis moneter akut 1997-98, Kementerian BUMN juga berhasil mengundang
kembali dana asing ke Indonesia ─ketika sektor swasta mengalami kelumpuhan
total. Sejalan dengan itu, merger PT Pelindo 1-4 di bawah Menteri Erick
Thohir (2019-24), harus kita lihat sebagai langkah strategis menajamkan
konsolidasi kekayaan negara untuk meciptakan efek lebih produktif. Mengapa?
Karena selama ini Pelindo 1-4 merupakan entitas usaha negara yang
terpencar-pencar dengan pengaruh ekonomi bersifat segmented. Dengan dasar
regional-based port corporate, pengaruh ekonomi langsung yang diciptakan
terbatas pada wilayah-wilayah di mana Pelindo berada (Jakarta, Surabaya,
Belawan dan Makassar). Sifat
usaha yang merangkum semua unit jasa seperti peti kemas dan logistik serta
jasa pelabuhan lain di satu atap telah menimbulkan stagnasi di masing-masing
unit usaha. Dalam arti kata lain, dengan struktur korporasi “konvensional”
dan regional-based, bisnis Pelindo mengalami “involusi” atau “berjalan di
tempat”. Oleh
karena itu, merger Pelindo yang kini dirancang adalah aksi korporasi yang
“membebaskan”. Ini bukan saja penghilangan sekat-sekat regional yang selama
ini “membelenggu”, melainkan juga memberikan penyaluran masing-masing unit
usaha jasa pelabuhan berkembang secara maksimal. Pada
tingkat “top eksekutif”, dibuka ruang “kepemimpinan umum” yang disebut induk
atau holding. Di samping akan bertindak sebagai pemilik seluruh aset empat
Pelindo, induk ini akan menjadi “tim pengarah” kinerja seluruh elemen di
bawahnya dalam hal penambahan dan alokasi modal serta investasi, lazim
disebut investment holding. Di
jajaran bawah adalah korporasi-korporasi baru yang sebelumnya “hanya”
merupakan unit usaha Pelindo. Yaitu, apa yang disebut kluster bisnis dan
portofolio bisnis yang sebelumnya tak ada. Kluster
bisnis itu terdiri dari usaha peti kemas, non-peti kemas, logistik dan
hinterland development dan marine, equipment dan pelayanan pelabuhan. Di
sinilah kita melihat unsur “pembebasan” dari aksi korporasi ini. Sebab,
kendati kantor-kantor pusat masih tersebar di Jakarta, Surabaya, Medan dan
Makassar, rentang operasional bisnis masing-masing kluster ini bersifat
nasional, yakni dari Sabang hingga Merauke. Unsur
“pembebasan” di sini dapat dilihat dari sifat breakthrough (terobosan) dalam
dunia bisnis pelabuhan yang sebelumnya bersekat regional menjadi merentang
dalam sekala nasional. Bukankah ini berarti bahwa merger ini, di samping
induk sebagai entitas tersendiri, justru melahirkan empat korporasi setaraf
BUMN berskala nasional, tetapi dengan aksi bisnis yang jauh lebih terfokus?
Dalam perspektif ini pula kita patut memberikan catatan bahwa masing-masing
kluster tersebut bukanlah sesuatu yang statis. Sebagai
contoh, kita bisa melihat kluster logistik dan hinterland development.
Konteks hinterland development di sini memberi arti kluster tersebut mendapat
mandat “merambah” ke wilayah bisnis baru: pengembangan wilayah akomodasi yang
terkonsentrasi bagi kemudahan proses distribusi produk-produk industrial,
pertanian dan pertambangan ke seluruh wilayah Indonesia. Bukankah ini pada
dasarnya membuka kemungkinan bisnis lanjutan seperti perumahan dan hal-hal
yang berkaitan dengannya? Uraian
di atas tentu masih berupa kalkulasi-prospektif. Apa yang sudah jelas adalah bahwa aksi
korporasi dalam bentuk merger ini telah membuat nilai aset Pelindo meningkat
menjadi Rp 112 triliun dengan pendapatan Rp 28,1 triliun pada 2021. Angka ini
akan melonjak tiap tahun. Diperkirakan pada 2025, pendapatannya akan mencapai
Rp 36,5 triliun. Maka,
dengan sendirinya, posisi Pelindo sebagai pengelola pelabuhan dengan empat
kluster yang dimiliki menjadi terdongkrak ke nomor delapan dunia setelah,
antara lain, Port of Singapore Authority (PSA), COSCO (Hong Kong), Dubai Port
(DP) dan APM Terminal yang berpusat di Den Haag, Belanda. Sampai
di sini, melalui merger Pelindo, kita bukan hanya menyaksikan pendalaman
konsolidasi kekayaan negara, melainkan membuatnya lebih produktif, dengan
memberikan saluran atau wadah masing-masing elemen di dalamnya berkembang
secara maksimal. Arti politik-ekonomi Jika
dibandingkan dengan proses penciptaan kekayaan di masa kolonial, kita
menemukan sebuah kontras yang pekat. Aksi politik-ekonomi elite kapitalis
Belanda di bawah Pangeran Henry abad ke-19 atas bisnis kelautan dan pelabuhan
lebih merefleksikan kepentingan elite kapitalis Belanda atas kerugian rakyat
Hindia Belanda. Frasa
subordinated Indian interests to home politics yang diciptakan Furnivall
dengan tepat menggambarkan kenyataan ini. Maka tak mengherankan jika Augustus
J Veenendaal Jr menyebut Jawa segera menjadi cork (pelampung) di atas mana,
seperti ia tulis dalam Building the Network of Railways and Tremlines (2008),
perekonomian Belanda, yang hampir tenggelam itu, mengapung kembali. Aksi
korporasi merger Pelindo, seperti juga aksi-aksi BUMN lainnya, jelas
bermaksud sebaliknya. Penciptaan empat kluster bisnis bertaraf nasional
melalui aksi korporasi tersebut secara langsung atau tidak berfungsi sebagai
pemicu perkembangan ekonomi nasional. Distribusi kantor pusat masing-masing
kluster di Makassar, Surabaya dan Medan memungkinkan kluster-kluster tersebut
menjadi salah satu aktor yang memicu pertumbuhan ekonomi daerah. Secara
keseluruhan, dampak aksi korporasi Kementerian BUMN ini akan kian memperkaya
sumber daya material di bawah kontrol negara. Terutama dengan peningkatan
kualitas profesional penyelenggaraan BUMN dan pelaksanaan corporate
governance yang ketat, konsolidasi dan usaha meningkatkan produktivitas
kekayaan negara menciptakan potensi di mana otoritas politik relatif bisa
terhindar dari intimidasi kaum oligark ─seperti marak dewasa ini. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/16/politik-ekonomi-merger-pelindo/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar