Robohnya
Sekolah Kami Anita Lie ; Guru Besar FKIP, Unika Widya Mandala
Surabaya |
KOMPAS, 16 September 2021
Pendidikan adalah paspor menuju masa
depan karena hari esok menjadi milik orang yang menyiapkannya hari ini. Malcolm X Sebagian
dari judul artikel ini (Robohnya Sekolah Kami), sudah pernah menjadi judul
beberapa artikel lain di berbagai media massa dan membahas ambruknya bangunan
fisik gedung sekolah. Artikel
ini tidak membahas bangunan fisik sekolah, tetapi mengajak pembaca memikirkan
masa depan sistem pendidikan di negeri ini. Di
era disrupsi, bahkan sebelum pandemi, ketika banyak lembaga dan bisnis di
seluruh dunia tak mampu menghadapi perubahan drastis dan mengalami
kehancuran, masa depan pendidikan pun dipertanyakan. Bagaimana pula
transformasi sistem pendidikan menyongsong Indonesia Emas 2045? OECD
meluncurkan publikasi Back to the
Future of Education: Four OECD Scenarios for Schooling (2020) yang
menyajikan skenario sekolah dan pembelajaran di negara-negara berdasarkan
tren dan kejadian-kejadian pada masa kini. Skenario
adalah rangkaian alternatif masa depan dalam bentuk gambaran atau kisah
dengan konteks di masa depan. Dengan kata lain, skenario tidak memberikan
prediksi atau rekomendasi karena skenario hanya memberikan gambaran apa yang
mungkin terjadi di masa depan berdasarkan pengamatan dan kajian terhadap masa
kini. Skenario
dibuat untuk tujuan belajar dan mengambil tindakan strategis di masa kini
melalui eksplorasi, konteks, dan narasi. Empat skenario itu schooling extended (pembelajaran
diperpanjang), education outsourced
(alih daya pendidikan), schools as
learning hubs (sekolah sebagai poros pembelajaran), dan learn-as- you-go (belajar sambil
jalan). Empat kemungkinan Pada
skenario pertama, partisipasi dalam sistem pendidikan formal terus
berkembang. Ijazah dan sertifikat masih menjadi penanda keberhasilan. Sinyal
yang masih kuat saat ini untuk pengukuhan skenario pertama ini adalah
apresiasi masyarakat, termasuk pemberi kerja terhadap gelar, reputasi
perguruan tinggi, dan obsesi para pengelola perguruan tinggi untuk mengejar
akreditasi sebaik-baiknya. Menariknya,
justru seorang Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem
Makarim mengingatkan dalam sambutan di acara serah terima rektor Universitas
Indonesia pada 2019, ”Saat ini kita hidup di tengah ketidakpastian, di mana
gelar tidak menjamin kompetensi, kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya,
akreditasi tidak menjamin mutu, masuk kelas tidak menjamin belajar.” Harapan
Mendikbudristek ini tentunya masih membutuhkan komitmen dan terobosan lebih
lanjut, termasuk dari para aktor sistem pendidikan dari berbagai tingkatan. Peningkatan
partisipasi sekolah secara besar-besaran tentunya membutuhkan tata kelola dan
eksekusi kebijakan yang efisien. Digitalisasi seharusnya mempercepat
efisiensi dan memberikan lebih banyak waktu kepada pendidik untuk memberikan
dukungan sosial dan emosional kepada siswa, tetapi sayangnya kemajuan
teknologi belum diikuti dengan perubahan pola pikir. Banyak
guru dan dosen mengeluh bahwa selama pembelajaran jarak jauh (PJJ), beban
administrasi malah menjadi berlipat ganda. Penggunaan teknologi pembelajaran
di lembaga-lembaga pendidikan tidak serta-merta menciptakan ruang kreasi dan
inovasi, tetapi malah menciptakan perangkap rezim administrasi yang menjerat
kemerdekaan pendidik untuk belajar dan menjadi mitra belajar yang efektif
bagi siswa. Penguasa
dan pengelola pendidikan pada tingkat lokal dan institusi tampak masih belum
mampu menerjemahkan seruan Merdeka Belajar dalam tindakan strategis yang
memerdekakan para aktor. Kelembaman (inersia) di kalangan birokrasi dan
pengelola pendidikan menjadi penanda bagi kelanggengan skenario pertama dan
menghambat transformasi sistem pendidikan. Jika
reformasi internal tidak didorong dan dirawat, kepercayaan terhadap lembaga
pendidikan formal akan tergerus dan membuka peluang bagi terjadinya skenario
lain. Kata
kunci pada skenario kedua adalah pilihan dan kelenturan. Pada masa kini, alih
daya pendidikan sudah tampak pada menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan
nonformal. Orangtua
terdidik dari kelas menengah dan atas memilih sekolah-sekolah yang memberikan
layanan pembelajaran ekstra, seperti musik dan kesenian, bahasa asing,
coding, dan robotik. Ketika permintaan mereka tidak terpenuhi di sekolah,
mereka mencari kursus di luar sekolah. Beberapa
pengelola sekolah yang cerdik pun melihat peluang bisnis dan mengalihdayakan
pembelajaran ekstrakurikuler pada lembaga-lembaga nonformal. Ketika sekolah
sudah dikelola sebagai unit bisnis, persoalan disparitas sosial ekonomi pun
juga akan muncul ke permukaan. Pilihan
memberikan kelenturan dan kebebasan untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik
bagi anak. Namun, jika negara tidak hadir dan mengatur dengan kebijakan yang
berkeadilan sosial, disparitas dalam pendidikan akan menjadi bom waktu bagi
pembangunan manusia dan stabilitas sosial politik di suatu negara. Skenario
ketiga, sekolah sebagai poros pembelajaran, membuka tembok-tembok sekolah
bagi keterlibatan komunitas, inovasi sosial, dan keterlibatan masyarakat.
Belajar tidak harus terjadi di dalam gedung sekolah walau sekolah tetap
berperan sebagai pusat dari ekosistem pendidikan berbasis masyarakat yang
memanfaatkan sumber-sumber belajar. Skenario
ketiga ini sebenarnya mirip dengan model pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang
menggagas tiga sentra pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Walaupun
masih terbatas dan tak terencana, eksperimentasi skenario ketiga ini juga
terjadi selama masa pandemi dalam moda ”Belajar dari Rumah” selama PJJ. Kita
berharap pembelajaran juga terjadi di kalangan para guru selama
eksperimentasi PJJ dan guru bisa menumbuhkan pengetahuan pedagogis dan
teknologis agar mampu mengelola desain pembelajaran yang menyajikan
pengetahuan bidang studi guru yang diperkaya dengan pengalaman belajar dari
sumber-sumber lain, seperti museum, perpustakaan daerah, industri, pusat
kebudayaan dan kearifan lokal, inovasi sosial, dan teknologi. Skenario
keempat terjadi ketika masyarakat sudah tidak peduli dengan gelar dan ijazah
dan kehilangan kepercayaan pada sekolah formal. Pembelajaran bisa terjadi di
mana saja, kapan saja, dan dari/bagi siapa saja (www: wherever, whenever,
whoever). Peserta didik menjadi konsumen profesional yang bisa memilih sumber
belajar yang mereka suka seperti layaknya orang berbelanja di mal. Keruntuhan
struktur kurikulum formal dan keambrukan sistem persekolahan terjadi ketika
warga masyarakat mengakses dari semua sumber belajar yang tersedia dan
memanfaatkan kecerdasan kolektif untuk menyelesaikan berbagai persoalan
kehidupan. Batasan antara belajar, bekerja, dan rekreasi menjadi kabur. Peran
pemerintah berhadapan dengan kepentingan pasar dan masyarakat warga. Profesi
guru—paling tidak secara formal dengan segala atribut, termasuk
sertifikasi—tak lagi dibutuhkan. Pada skenario ini, robohnya sekolah tak
berarti ambruknya atap dan dinding sekolah, tetapi kosongnya gedung-gedung
sekolah karena ditinggalkan konsumen yang beralih ke sumber-sumber lain yang
lebih menarik. Adakah skenario terbaik? Masa
depan tidak bisa diprediksi. Ada banyak faktor tidak terduga yang akan
berdampak signifikan pada tata kehidupan di masa depan. Pandemi Covid-19 ini,
misalnya, telah mengubah praktik-praktik pembelajaran secara drastis tanpa
perencanaan. Akselerasi keterampilan guru dalam pengelolaan pembelajaran
secara daring bisa menjadi modal intelektual bagi upaya pencerdasan lebih
dari 45 juta anak Indonesia pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika
skenario pertama akan tetap kukuh karena peran otoritas pendidikan dan status
quo masih sangat kuat, perbaikan mutu para guru sebagai aktor pendidikan akan
membuka ruang reformasi dan inovasi dalam struktur dan sistem pendidikan yang
bertransformasi. Eksperimentasi
pada skenario kedua dan ketiga sudah terjadi dalam sejarah pendidikan di
Nusantara, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka sampai dengan era
kontemporer. Pertumbuhan organik lembaga-lembaga pendidikan beriringan secara
paradoksal dengan penguatan lembaga otoritas bidang pendidikan. Di
samping segala keterbatasan, sekolah beserta dengan segala sistem dan aktor
para pendidik masih punya suatu keunggulan, yakni transformasi nilai-nilai
dan pengetahuan dalam praktik-praktik pembelajaran yang membangun pembiasaan
dan pembudayaan. Apa
yang akan terjadi pada 218.234 unit sekolah di Indonesia? Lembaga pendidikan
akan selalu ada sepanjang warga masyarakat masih menghendakinya. Skenario
keempat yang menggambarkan keruntuhan struktur formal persekolahan akan berhadapan
bukan hanya dengan struktur kekuasaan bidang pendidikan, melainkan juga
dengan kebutuhan sebagian warga terhadap peran lembaga formal pendidikan. Sebagian
sekolah mungkin tidak bisa bertahan jika mereka gagal mentransformasi diri
dan bertumbuh. Namun, secara umum, sekolah masih dibutuhkan sebagai lahan
fabrikasi sosial untuk membangun relasi, mengupayakan pemerataan, dan
mereproduksi norma-norma sosial. Secara
makro, sekolah juga menjadi kepanjangan tangan negara untuk mengikat
kewargaan dan merawat identitas kebangsaan. Dalam konteks ini, otoritas
pendidikan berkepentingan merawat sekolah dan mendorong terciptanya ruang
inovasi dalam struktur sekolah untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Tidak
ada skenario terbaik karena skenario tidak mempunyai nilainya sendiri jika
proses pembentukannya dan tindak lanjutnya tidak disertai dialog strategis
untuk mengubah situasi masa kini. Skenario dibangun untuk mendorong refleksi
atas berbagai implikasi. Kemungkinan masa depan bisa berbeda dengan harapan
kita saat ini. Refleksi ini diharapkan bisa membangun kesiapan terhadap
segala kemungkinan itu. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/16/robohnya-sekolah-kami-8/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar