Sejarah
Sedang Ditulis Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 18 September 2021
Perang
melawan pandemi Covid-19 dan perang melawan endemi korupsi sedang
berlangsung. Ibarat terowongan, sudah tampak titik terang dalam perang
melawan Covid-19. Semua indikator mengarah ke hal yang lebih baik. Memang
tidak boleh euforia dengan capaian penanganan Covid-19 karena kelalaian bisa
menghancurkan semua capaian. Sejarah
sedang ditulis. Meskipun di awal terasa ada inkonsistensi, perang melawan
pandemi yang dipimpin Presiden Joko Widodo mulai menunjukkan terang meski
belum berderang. ”Panglima perang” lapangan, Luhut Pandjaitan dan Airlangga
Hartarto, sedang menulis sejarah mengendalikan pandemi. Luhut,
untuk sementara waktu, bisa membuktikan pernyataannya, belum ada operasi yang
dipimpinnya gagal. Semoga operasi menanggulangi pandemi berhasil dan bangsa
ini bisa jadi bangsa pemenang. Di
balik itu, ada peranan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, yang menjalankan
diplomasi guna mendapatkan akses vaksin global untuk kepentingan bangsa.
Tahun 2022, Indonesia juga memegang tongkat estafet presidensi G-20. Menteri
Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang tanggap dengan prinsip challenge and response
berhasil membawa Indonesia keluar dari krisis kesehatan. Budi menggandeng
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo
Sigit Prabowo mempercepat vaksinasi. Tak
boleh lupa juga menyebut peran Menteri BUMN Erick Thohir. Peranan profesional
bisa bergerak cepat—tanpa hambatan—birokrasi dan partai bersama mengendalikan
Covid-19. Erick kadang mengambil langkah tak biasa membantu negeri
menanggulangi Covid-19. Sejarah sedang ditulis sejumlah kepala daerah,
Gubernur Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang daerahnya berdasarkan indeks
pengendalian Covid-19 versi Litbang Kompas terus membaik. Para
tokoh itu sedang menulis sejarah bagaimana berperang melawan pandemi. Namun,
ada sejarah Juliari Batubara yang justru mengutip dana bantuan sosial
Covid-19 saat menjabat Menteri Sosial dan kemudian divonis 12 tahun penjara.
Sejarah bisa positif, bisa juga negatif. Dalam
perang melawan korupsi, sejarah ditulis pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Komisaris Jenderal Firli Bahuri bersama Alexander Marwata dan Nurul
Ghufron. KPK bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Badan
Kepegawaian Negara. Tak tampak peranan Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam proses alih status pegawai KPK. Saat
memimpin Mahkamah Konstitusi, komitmen Mahfud kepada KPK amat nyata. Mereka
semua sedang menulis sejarah bagaimana pemberantas korupsi di KPK
diberhentikan dengan alasan tidak lolos tes wawasan kebangsaan dalam alih
status pegawai. Di
antara pegawai KPK itu, ada nama Ambarita Damanik. Pensiunan Polri yang masuk
KPK sejak 2005, sempat terlibat sebagai satgas antibom—sebagai cikal bakal
Densus 88—yang ikut menangani megakorupsi e-KTP dan ikut menangkap Ketua DPR
Setyo Novanto. Ia juga menangani korupsi Bank Century, menangkap Samin Tan
yang belakangan dibebaskan hakim, serta menangani korupsi izin ekspor benur
Edhy Prabowo, bekas Menteri Kelautan. Ada
juga Andre Dedy Nainggolan, kepala satuan tugas yang membongkar korupsi
Juliari Batubara. Ada nama Rieswin Rachwell, penyelidik yang berperan dalam
sejumlah operasi tangkap tangan yang dipimpin ”Raja OTT” Harun Al Rasyid. Ada
juga nama Benydictus Siumlala Martin Sumarno yang aktif di Wadah Pegawai KPK
bersama Yudi Purnomo. Penangkapan
tersangka kasus korupsi Muhammad Nazaruddin di Bogota, Kolombia (2011); Nunun
Nurbaeti di Bangkok, Thailand (2011); dan sejumlah tersangka lain di luar negeri
tak bisa dilepaskan dari peran Giri Suprapdiono. Ada nama Novel Baswedan,
yang wajahnya disiram air keras. Presiden Joko Widodo mengecam keras serangan
itu. Presiden menilai penyerangan terhadap Novel sebagai tindakan brutal dan
tak beradab. ”Jangan sampai orang-orang yang memiliki prinsip teguh seperti
itu dilukai dengan cara yang tidak beradab. Kekerasan seperti ini tidak boleh
terulang lagi,” kata Presiden (Kompas, 12/4/2017). Penyiram air keras baru
ditangkap pada 2019 saat Bareskrim Polri dipimpin Komisaris Jenderal Listyo
Sigit Prabowo. Sebanyak
56 pegawai KPK yang ”disingkirkan” sedang menulis sejarah pemberantasan
korupsi di negeri ini. Mereka disingkirkan karena tidak lulus tes wawasan
kebangsaan yang menurut Komnas HAM disertai dengan pelanggaran HAM dan
menurut Ombudsman RI diwarnai tindakan malaadministrasi. Telah menjadi
sejarah ketika Presiden Jokowi mengatakan pada 17 Mei 2021, ”Hasil tes wawasan kebangsaan terhadap
pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah perbaikan KPK, baik
terhadap individu maupun institusi KPK, dan tidak serta-merta dijadikan dasar
memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes….” Setelah
terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang menyatakan
aturan hukum dan peraturan KPK konstitusional, Firli, Alexander, dan Ghufron
mengumumkan pemberhentian 56 pegawai KPK. Tak tampak ke publik peran Wakil
Ketua KPK Nawawi Pomolango. Sementara ketidakmunculan Lily Pintauli Siregar
di depan publik bisa dipahami karena Lili dijatuhi sanksi etik berat berupa
potong gaji karena terbukti berkomunikasi dengan pihak berperkara di KPK. Setelah
pemecatan diumumkan, di depan pemimpin redaksi, Presiden Jokowi mengatakan, ”Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini
adalah sopan santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang
berjalan.” Padahal, semalam sebelum pimpinan KPK mengumumkan pemecatan,
ada pertemuan beberapa pegawai KPK dengan pejabat negeri ini. Ibarat kertas
putih, sejarah sedang ditulis. Tiap aktor bisa menulis apa saja; sejarah
memberantas korupsi atau sejarah pemberantasan pemberantas korupsi dan
sejarah pengendalian pandemi. Semua akan terbuka pada saatnya karena
kekuasaan itu tak akan abadi. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/09/18/sejarah-sedang-ditulis/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar