Edward
Said Melempar Batu ke Israel dan "Dewa-Dewa yang Gagal" Haris Prabowo ; Jurnalis Tirto |
TIRTO.ID, 25 September 2021
Edward Said mengkritik para intelektual yang tunduk pada kekuasaan.
Baginya, kelompok macam itu tak ubahnya “dewa-dewa yang selalu gagal”. Senin, 3 Juli
2000, seorang profesor dari Columbia University sedang jalan-jalan bersama
keluarganya di Lebanon. Gayanya semi-necis: kaos hitam bagian dalam, kemeja
biru bagian luar, topi, kacamata hitam, jam tangan di sebelah kiri, dan
sepatu merah mengilat. Ia
menyempatkan mampir ke penjara El-Khiam, yang terkenal menjadi tempat
penyiksaan pasukan perlawanan Lebanon oleh tentara Israel. Saat itu, Israel
baru saja angkat kaki dari Lebanon selatan usai pendudukan selama 18 tahun.
Selama itu pula sang profesor tak pernah singgah ke Lebanon. Dari penjara,
ia dan keluarganya pergi ke sebuah desa perbatasan, tempat tentara Israel
membangun sebuah pos militer. Desa itu bernama Kafr Killa. Di wilayah
perbatasan itu, sang profesor menggenggam sebuah batu di tangan kanannya dan
mengambil ancang-ancang. Berjarak kurang lebih 30 kaki dari tempatnya berdiri
ke tentara Israel di atas menara pengawas, ia melemparkan batu itu ke arah
tentara. Batu hanya menabrak pagar kawat berduri di depan menara pengawas,
tanpa mengenai siapa pun. Momen itu
direkam oleh seorang fotografer dari kantor berita agensi berbasis di
Prancis. Setelah kejadian itu, sang profesor dikecam oleh banyak pihak dan
bikin publik Israel berang. Dua hari
kemudian, sang profesor mengeluarkan pernyataan resmi dan mengeklaim dirinya
sadar atas apa yang dilakukan. Ia mengaku bahwa hari itu bukan hanya dirinya
yang melempar batu, tapi banyak orang lain. Mereka melempar batu untuk
merayakan satu hal: “membuat isyarat kegembiraan simbolis bahwa pendudukan
telah berakhir.” Di dalam
berita Columbia Spectator—pers mahasiswa dari kampus tempat sang profesor
mengajar—yang terbit sekitar dua pekan setelah kejadian pelemparan batu itu,
sang profesor mengaku heran atas kecaman publik. “Ini bukan
kebencian terhadap Israel. Itu adalah sikap anti-pendudukan. Saya punya
banyak teman Israel. Saya pernah mengajar di Israel dan memiliki beberapa
kontak di sana. Saya tentu sangat menentang pendudukan militer dalam bentuk
apa pun, baik oleh Israel di negara-negara Arab, Irak, atau Kuwait atau apa
pun,” katanya. “Saya
menentang segala jenis pendudukan.” Di Columbia
University, profesor yang terkenal kritis terhadap ragam kebijakan Amerika
Serikat dan Israel atas negara-negara Arab, serta membela kemerdekaan
Palestina itu mengajar sastra Inggris dan perbandingan sejak 1963.
Intelektual berani dan kritis berdarah Palestina itu bernama Edward Wadie
Said. Mentereng Berkat Kritik Orientalisme Said lahir
pada 1 November 1935 di Yerusalem, kota di Palestina yang akhirnya dirampas
paksa oleh Israel dan menjadi episentrum konflik tanpa akhir kedua negara
hingga hari ini. Ayahnya adalah pebisnis yang beberapa kali tinggal di
Amerika Serikat. Pada 1947, keluarganya terpaksa pindah ke Kairo, Mesir, untuk
menghindari konflik pembagian wilayah Palestina oleh PBB saat itu. Empat tahun
kemudian, ia pindah ke Amerika Serikat dan menghabiskan seluruh masa studinya
di sana: meraih gelar sarjana di Princeton University (1957), serta
selesaikan master dan doktoralnya di Harvard University (1960 & 1964). Pada 1963,
sebelum selesaikan doktoralnya, Said mulai mengajar sastra Inggris di
Columbia University dan dipromosikan sebagai profesor penuh pada 1969. Tak
sampai satu dekade, Said menghasil mahakarya yang menjadi salah satu buku
paling penting dalam studi ilmu sosial abad ke-20: Orientalism (1978). Di dalam
bukunya itu, Said menggugat cara pandang para sarjana dan seniman Barat yang
selama ratusan tahun meneliti dan menggambarkan dunia Timur lewat penafsiran dan
definisi mereka sendiri, bukan dari orang-orang yang hidup di Timur.
Singkatnya: memahami dunia Timur, namun menggunakan kacamata Barat. Diskursus itu
disebut “orientalisme”, dan Said mengkritiknya dengan sangat keras. Ia
menolak dirinya, cara pandangnya, dan identitasnya sebagai orang Timur
didefinisikan sesuka hati para sarjana Barat yang ia sebut sebagai
“orientalis”. “Orientalisme
merupakan suatu gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan
epistemologis antara 'Timur' dan [hampir selalu] 'Barat',” tulisnya. “Timur
adalah 'yang lain' (the other) bagi Eropa.” Said sadar
bahwa terminologi “orientalisme” kurang digandrungi oleh para pakar di saat
bukunya diterbitkan. Mereka lebih suka menyebutnya dengan “kajian ketimuran”
atau “kajian wilayah". “Baik karena
istilah tersebut terlalu kabur dan umum, maupun karena istilah itu memiliki
konotasi dengan sikap eksekutif penjajah yang congkak dari kolonialisme Eropa
abad XIX dan awal abad XX,” tulis Said. Menurutnya,
orientalisme sudah kadung kuat dan menjadi salah satu titik kunci hegemoni
bangsa Eropa saat menjajah bangsa-bangsa di wilayah Timur. “Sedemikian
otoritatifnya posisi orientalisme dalam dunia pemikiran saat itu hingga
membuat saya yakin bahwa tak ada seorang pun yang bisa menulis, berpikir,
atau bertindak terhadap dunia Timur tanpa mempertimbangkan batas-batas
pemikiran dan tindakan yang telah digariskan oleh orientalisme,” katanya. Bagi para
akademisi yang memiliki fokus studi di ranah pemikiran kolonialisme dan
pascakolonial, dua buku Said, Orientalism dan Culture and Imperialism (1993),
menjadi bacaan wajib. Walau sebetulnya, pemikir asal Aljazair Malek Bennabi
sudah lebih dahulu mengkritik metodologi penelitian Barat dalam mengkaji
Timur, namun nama Said menjadi lebih terkenal. Bertemu Michel Foucault dan Kecewa Suatu hari
pada Januari 1979, satu tahun setelah karyanya itu terbit, di rumahnya di New
York, Said sedang mempersiapkan diri untuk mengisi kelas. Namun, tiba-tiba ia
mendapat sebuah telegram bahwa dirinya diundang untuk hadir di sebuah seminar
membahas perdamaian Timur Tengah oleh sebuah jurnal Prancis yang terkenal, Les
Temps modernes. Seminar itu diadakan pada 13 dan 14 Maret 1979. “Mohon
dibalas,” tutup telegram itu, yang ditulis oleh pasangan filsuf feminis dan
filsuf eksistensialis asal Prancis: Simone de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre. Saat tiba di
Paris, Said diberi kabar bahwa pertemuan akan diadakan di apartemen milik
Michel Foucault, salah satu filsuf penting abad ke-20 asal Prancis.
Sesampainya di lokasi, keadaan sudah ramai. Ada beberapa pemikir dan aktivis
dari negara-negara Arab seperti Ibrahim Dakkak, Nafez Nazzal, hingga mantan
kepala intelijen militer Israel, Yehoshafat Harkabi. Pada pertemuan
itu, mereka membahas banyak hal: arti perjanjian damai antara Mesir dan
Israel, perdamaian antara Israel dan dunia Arab pada umumnya, hingga
pertanyaan yang lebih mendasar ihwal masa depan kehidupan bersama antara
Israel dan negara-negara Arab di sekitarnya. Said dan para
aktivis negara-negara Arab merasa heran karena diskusi hari itu seperti
mengabaikan permasalahan yang dihadapi bangsa Palestina dan malah cenderung
bicara soal perluasan wilayah Israel. “Tentu saja
tak ada yang menyebut soal penjajahan dan pendudukan Israel, yang dalam
banyak hal sama dengan apa yang dilakukan Prancis di Aljazair,” kata Said. Ia
kecewa terhadap Foucault. Said menuliskan cerita itu dalam Diary: My
Encounter with Sartre (2000). Catatannya ini pernah diterjemahkan oleh sebuah
penerbit Yogyakarta pada 2019 lalu. Pada akhir
1980-an, filsuf Gilles Deleuze bercerita kepada Said, bahwa dirinya pernah
berteman dengan Foucault namun berbeda pandangan terkait konflik Palestina
dan Israel. “Foucault
mengekspresikan dukungan terhadap Israel, sedangkan Deleuze mendukung
Palestina,” kata Said. “..sampai aku akhirnya bisa paham mengapa ia
(Foucault) tampak sangat enggan berbicarakan politik Timur Tengah denganku.” Padahal, Said
sangat kagum dengan Foucault, terutama dengan konsep “arkeologi”-nya. Ia
bahkan pernah membuat artikel jurnal khusus membahas Foucault tujuh tahun
sebelum pertemuan itu. “Istilah yang
ia gunakan untuk merujuk pada riset level dasar dan studi arsip mental
kolektif, yakni sumber-sumber epistemologis yang memungkinkan kita untuk tahu
tentang apa yang diucapkan pada suatu periode tertentu dan di mana—dalam
ruang diskursus seperti apa—ia diucapkan,” tulis Said. Intelektual Tak Tunduk kepada Kekuasaan Pada 1993,
Said diminta untuk mengisi serangkaian kuliah umum di program The Reith
Lectures oleh BBC, dengan judul utama Representation of the Intellectual. Ia
membahas bagaimana seharusnya peran seorang intelektual di berbagai keadaan
di sekelilingnya. Belakangan, rangkaian kuliah umum itu dibukukan. Said sadar
bahwa pembahasan mengenai “intelektual” bukanlah hal baru. Ia menyinggung
bagaimana filsuf asal Prancis Julien Benda sudah lebih dulu pernah membahas
peran intelektual dalam bukunya yang terkenal The Treason of the Intellectuals (Pengkhianatan Kaum Cendikiawan)
pada 1928. Dalam kuliah
umumnya itu, Said menjelaskan tugas mendasar kaum intelektual adalah mencari
dan mencoba membicarakan kebenaran kepada kekuasaan. Kelompok intelektual itu
harus hadir mewakili semua orang dan semua isu yang kerap dilupakan atau
bahkan disembunyikan oleh kekuasaan. “Intelektual
harus mengitari, harus punya ruang untuk berdiri dan berkata balik kepada
otoritas, karena kepatuhan mati kepada otoritas dalam dunia sekarang
merupakan salah satu ancaman terbesar bagi kehidupan intelektual yang aktif
dan bermoral,” kata Said dalam kuliahnya. Bagi dia,
omong kosong jika ada kaum intelektual yang hanya ingin menulis, meneliti,
dan belajar untuk diri sendiri. Orang-orang seperti itu, kata Said, harusnya
tidak perlu dipercaya. Intelektual
harus mewakili emansipasi kelompok tertindas, memberikan pencerahan kepada
orang-orang kecil, bukan justru berjarak dan meminta dilayani. Kata Said,
kelompok intelektual macam itu tak ubahnya “dewa-dewa yang selalu gagal”. “Secara ideal
seorang intelektual mewakili emansipasi dan pencerahan. Ia tak pernah sebagai
dewa yang harus dilayani, berupa abstraksi atau tak berdarah dan berjarak,”
katanya. “Sebagai seorang inteletual, Anda adalah satu-satunya yang dapat
memilih antara menyampaikan secara aktif kebenaran dengan semampunya, dan
secara pasif mengizinkan seorang patron atau otoritas mengarahkan Anda. Bagi
intelektual sekuler, para dewa ini senantiasa gagal.” Rekam jejaknya
yang mentereng sebagai pengkritik keras orientalisme hingga media-media Barat
yang bias meliput soal Islam di negara-negara Arab, tak heran jika ia jeli
berbicara mengenai peran kaum intelektual. Tak heran pula jika ia dalam salah
satu pidatonya tahun 1999, pernah memuji sastrawan Pramoedya Ananta Toer
karena karya dan ucapannya yang berani melawan rezim tiran Orde Baru. Tentu saja,
peran kaum intelektual yang dimaksud oleh Said sangat jauh berbeda dengan
para akademisi di Indonesia saat ini yang kerap menjadi corong membela rezim
yang berkuasa. Para akademisi tumpul yang hanya bisa menyindir sesama
akademisi dan kaum intelektual yang turun ke jalan dan protes atas
kesewenang-wenangan. Padahal, dalam
lintasan sejarah, banyak contoh kaum intelektual yang ikut protes dan
menyuarakan kebenaran hingga turun ke jalan. Hari ini, 18
tahun lalu, Said meninggalkan dunia. Namun pemikirannya tentang pembelaan
orang-orang terjajah oleh para kaum intelektual akan selalu abadi. ● |
Sumber : https://tirto.id/edward-said-melempar-batu-ke-israel-dan-dewa-dewa-yang-gagal-gjN1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar