Membendung
Oligarki Azyumardi AzrA ; Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin
Khalifa University, Qatar |
KOMPAS, 16 September 2021
Meningkatnya
oligarki merupakan salah satu fenomena paling menonjol di tengah perkembangan
politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan oligarki sering
disebut banyak lembaga dan pengamat politik Indonesia sebagai salah satu
indikator utama kemunduran demokrasi Indonesia. Oligarki terus meningkat
dengan kian menguatnya koalisi politik gemuk fraksi-fraksi di DPR. Koalisi
besar pro-rezim; F-PDIP, F-PG, F-Nasdem, F-PKB, F-Gerindra, F-PPP, dan F-PAN,
dapat melakukan langkah politik apa pun. Dua fraksi sisanya: FPKS dan
F-Partai Demokrat, hampir tak berdaya membendung langkah oligarki politik. Meningkatnya
oligarki yang hampir tidak terbendung terlihat dalam sejumlah langkah politik
pejabat publik puncak dan elite politik di lingkungan eksekutif dan
legislatif. Mereka yang bisa disebut ”oligark” (oligarch) politik sering
mengambil keputusan menyangkut kepentingan publik dan hajat orang banyak di
dalam lingkaran mereka sendiri. Oligarki politik tidak melibatkan warga yang
diwakili masyarakat madani, asosiasi dan serikat profesi, ormas dan LSM. Kenyataan
ini jelas terlihat dalam proses legislasi di DPR sejak perubahan UU No
30/2002 KPK menjadi UU No 19/2019 tentang KPK; perubahan UU No 4/2009 tentang
Minerba menjadi UU No 3/2020 tentang Minerba; dan pengajuan RUU Omnisbus Law
sejak Oktober 2019 menjadi UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Perubahan dan
pengesahan semua UU itu sepenuhnya ditentukan oligarki eksekutif dan
legislatif. Publik tidak dilibatkan secara signifikan dalam perubahan dan
pembentukan UU tersebut. Dalam gugatan masyarakat sipil terhadap berbagai UU
tersebut, oligarki politik didukung lembaga yudikatif (MK dan MA). Fenomena
pertumbuhan oligarki politik di Indonesia dalam segi tertentu berbeda dengan
oligarki di beberapa negara lain. Menurut Oligarchy Countries (2021), daftar
negara oligarki mencakup: China, Rusia, Turki, Arab Saudi, Iran, Afrika
Selatan, Korea Utara, Venezuela, Ukraina, Zimbabwe, dan Amerika Serikat.
Oligarki di negara-negara ini terbentuk di antara oligar ekonomi-finansial,
yaitu orang sangat kaya (super rich) atau kaya (the rich) yang memiliki
jalinan persekongkolan kuat dengan oligarki politik. Oligarki finansial yang
berkolaborasi dengan oligarki politik malang melintang di Rusia sejak
1400—kini mencakup sekitar 200 super rich. Sementara di AS, oligar korporasi
besar dan super rich, sangat menentukan dalam pembuatan keputusan politik
dibandingkan dengan ratusan juta pemilih. Bagaimana
corak dan tipologi oligark dan oligarki di Indonesia? Baik di masa Presiden
Soekarno maupun era Presiden Soeharto agaknya praktik oligarki politik dan
oligarki finansial belum terlalu eksis atau meluas. Presiden Soekarno dalam
masa Demokrasi Terpimpin (1959-65) menjadi ’penguasa tunggal’; mengambil
semua keputusan praktis terpusat pada dirinya. Adapun Presiden Soeharto,
dengan demokrasi Pancasila, awalnya juga memusatkan kekuasaan pada dirinya;
mengambil keputusan tanpa melibatkan tiga partai politik, apalagi publik
luas. Walakin,
sejak masa Presiden Soeharto mulai berkembang gejala ”oligark finansial” yang
lazim disebut ”cukong”. Mereka adalah super rich dengan korporasi besar yang
dekat dengan Presiden Soeharto. Tetapi, berapa besar persisnya pengaruh
oligark terhadap kebijakan politik Presiden Soeharto masih harus diteliti;
tetapi bisa diasumsikan, pak Harto terlalu kuat untuk bisa dikendalikan para
oligar. Oligarki
politik yang memiliki jaringan dengan oligark finansial atau oligark
cukong—super rich di tingkat nasional, dan the rich di tingkat lokal tumbuh
pesat di masa reformasi. Alasannya; pertama, politik Indonesia dengan demokrasi
liberal terfragmentasi dalam banyak parpol. Karena tidak memiliki keuangan
memadai, elite parpol berusaha mendapat dukungan finansial dari super rich
atau the rich. Kedua, sejak Pemilu Legislatif 1999, Pilpres 2004, Pilkada
2005, dan seterusnya, biaya calon dalam kontestasi elected offices kian
mahal. Menurut Institut Otda (2021), biaya calon Pilkada/Pemilu 2019: caleg
lokal DPRD kabupaten/kota antara Rp 500 juta dan Rp 1 miliar; caleg DPRD
Provinsi Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar; caleg DPR RI sekitar Rp 1 miliar
sampai Rp 2 miliar; calon bupati/wali kota Rp 10 miliar sampai Rp 30 miliar;
calon gubernur Rp 30 miliar sampai Rp 100 miliar; dan calon presiden sekitar
Rp 5 triliun sampai Rp 20 triliun. Liberalisasi
politik dengan bermacam pemilu membuat posisi oligark cukong secara finansial
dan politik terus menguat. Oligark super kaya dan kaya juga kian banyak yang
menjadi politisi—membuat mereka sekaligus oligar politik. Sebaliknya, oligark
politik yang semula kere kemudian menjadi oligark kaya. Oligark politik dan
oligark cukong selalu menimbulkan dampak negatif terhadap demokrasi dan
penegakan hukum—kasus tergamblang adalah pelemahan KPK. Oligark selalu
berusaha agar proses legislasi dan penegakan hukum tidak merugikan mereka;
sebaliknya mesti menguntungkan dan menjadikan posisi mereka dalam oligarki
politik dan oligarki ekonomi-finansial tetap dan kian kuat. Demokrasi
dengan kedaulatan rakyat sebagai sistem dan praksis politik Indonesia, tidak
selaras dengan oligarki politik yang berkelindan dengan oligarki
ekonomi-finansial; dan karena itu, mesti dibendung. Oligarki bukan tidak bisa
dibendung. Oligarki politik bukan praktik umum; dari 195 negara di muka bumi,
hanya ada 11 negara oligarki seperti disebut di atas. Memang
ada skeptisime di kalangan ahli ilmu politik dan publik berdasarkan teori
’hukum besi oligarki’ (iron law of oligarchy). Menurut teori yang diajukan
sosiolog Jerman kelahiran Italia, Robert Michels, dalam bukunya, Political
Parties (1911): ”Kekuasaan oleh elite terbatas (oligarki) adalah hukum besi
yang tidak terelakkan dalam negara atau organisasi demokrasi sebagai bagian
keharusan taktis dan teknis”. Atas dasar kasus Partai Demokratik Sosial
Jerman, Michels berargumen partai politik atau serikat buruh yang dibangun
dengan cita dan cara demokrasi akhirnya dikuasai ’elite pemimpin’ (oligarki)
yang menguasai massa. Tetapi,
teori ’hukum besi oligarki’ telah dibantah banyak ahli ilmu politik lain,
seperti Seymour Martin Lipset (1956), yang mengungkapkan pengecualian semacam
organisasi serikat buruh. Pengecualian bisa dikembangkan sejak dari raison
d’etre pendirian organisasi atau institusi seperti negara sesuai dengan cita
dan prinsip demokrasi; proses pembentukan dan suksesi kepemimpinan melalui
kontrol dan keseimbangan; dan pengembangan kesejahteraan ekonomi-sosial
anggota atau warga. Saran
Lipset relevan dengan upaya membendung oligarki di Indonesia. Saran itu dapat
dikembangkan lebih lanjut dengan memodifikasi kerangka yang diajukan Zephyr
Teachout dan Kelly Nuxoll dalam Three Solutions to the Oligarchy Problem
(2013). Pertama; perlu perubahan UU Pemilu, khususnya menyangkut ’ambang
batas parlemen’; kedua, perlu peninjauan ulang mengenai pilkada dengan
kembali melakukan pemilihan melalui lembaga perwakilan; ketiga; perlu
pengaturan dan penegakan hukum tegas tentang pendanaan partai dan calon sejak
awal masa pencalonan dan kampanye pemilu. Selain
itu, berbagai pemangku kepentingan non-negara, seperti masyarakat sipil,
perlu memobilisasi kesadaran dan kewaspadaan warga terhadap bahaya oligarki.
Juga perlu membangun sikap asertif warga menolak setiap bentuk oligarki
politik dan oligarki ekonomi-finansial yang sangat merugikan negara-bangsa. ● Sumber
: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/16/membendung-oligarki/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar