DPR
Versus KPK
Eddy OS Hiariej ; Guru
Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS, 08 Mei 2017
Dalam satu
bulan terakhir ini, masyarakat dipertontonkan dengan sikap ugal-ugalan
anggota DPR yang melakukan perlawanan terbuka terhadap Komisi Pemberantasan
Korupsi yang tengah memproses kasus korupsi pengadaan KTP-el. Bak bola salju, kasus korupsi KTP-el
menendang ke segala penjuru dan mengena sejumlah anggota DPR, lengkap dari
semua fraksi tanpa terkecuali.
Paling tidak
ada dua sikap DPR yang memperlihatkan perlawanan terbuka terhadap KPK.
Pertama,
inisiatif pimpinan DPR yang tanpa risi dan malu menginisiasi nota keberatan
kepada Presiden Joko Widodo atas pencekalan yang dilakukan KPK terhadap Ketua
DPR Setya Novanto. Kedua, hak angket DPR yang telah disetujui dalam Rapat Paripurna
DPR pada 28 April 2017 yang antara lain meminta kepada KPK untuk membuka
rekaman pemeriksaan terhadap politisi Partai Hanura, Miryam S Haryani, dalam
perkara korupsi pengadaan KTP-el.
Tulisan
berikut mencoba mengulas sifat dan karakteristik kejahatan korupsi berikut
penegakannya. Pertama-tama perlu dipahami bahwa korupsi adalah kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime) yang memiliki sifat dan karakteristik sebagai
kejahatan internasional (international crime). Berdasarkan Background Paper
Declaratioan of 8 International Conference Against Corruption di Lima, Peru,
ada tujuh dampak korupsi yang melatarbelakangi internasionalisasi kejahatan
korupsi.
Pertama,
korupsi dianggap merusak demokrasi. Kedua, korupsi dianggap merusak aturan
hukum, teristimewa pembuatan undang-undang yang sarat dengan praktik
suap-menyuap dan dalam penegakan hukum. Ketiga, korupsi menghambat
pembangunan berkelanjutan. Dampak yang keempat dari korupsi adalah merusak
pasar.
Kelima,
korupsi merusak kualitas hidup, khususnya korupsi di sektor pendidikan dan
kesehatan. Keenam, korupsi dapat membahayakan keamanan manusia. Ketujuh,
korupsi melanggar hak asasi manusia (HAM). Celakanya, semua dampak korupsi
tersebut di atas sudah menahun dan pada tahap yang memprihatinkan di Indonesia.
Berdasarkan
berbagai dampak tersebut, korupsi dinyatakan sebagai kejahatan internasional
sebagaimana yang tertuang dalam United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006. Pada hakikatnya korupsi sebagai kejahatan internasional
merupakan bagian dari hukum pidana internasional substantif.
Menurut Bruce
Broomhall, ada lima karakteristik hukum pidana internasional. Pertama,
pertanggungjawaban individu. Kedua, pertanggungjawaban pidana individu
tersebut tidak tergantung dari jabatan yang melekat pada seseorang. Tegasnya,
tanggung jawab individu tidak mengenal relevansi jabatan resmi. Ketiga,
pertanggungjawaban individual tersebut tidak tergantung undang-undang
nasional suatu negara.
Keempat,
pertanggungjawaban dimaksud mengandung konsekuensi penegakan hukum melalui
mahkamah pidana internasional atau melalui pengadilan nasional yang
dilaksanakan dengan prinsip universal. Kelima, terdapat hubungan erat secara
historis, praktik, dan doktrin antara hal-hal yang dilarang dari
undang-undang dan landasan hukum internasional pasca-Perang Dunia Kedua.
Arogansi kekuasaan DPR
Kembali kepada
sikap perlawanan DPR terhadap KPK dalam mengusut tuntas perkara korupsi
KTP-el ada beberapa catatan. Pertama, inisiatif pimpinan DPR untuk mengajukan
nota keberatan kepada Presiden atas tindakan pencekalan terhadap Ketua DPR
Setya Novanto, memperlihatkan ketidakpahaman terhadap penegakan hukum
pemberantasan korupsi.
Sebagai
kejahatan luar biasa yang berdimensi internasional, proses pengusutan
terhadap saksi maupun pelaku tidak mengenal relevansi jabatan resmi.
Jangankan hanya ketua DPR, presiden pun jika dianggap terlibat dalam perkara
korupsi dapat dimintakan pencekalan oleh institusi penegak hukum yang sedang
menangani perkara tersebut. Pencekalan adalah tindakan yang wajar dalam suatu
proses perkara pidana. Bahkan, berdasarkan Pasal 50 UNCAC yang telah
diratifikasi, penyidik dapat melakukan penyadapan dan undercover operations
terhadap orang yang diduga terlibat dalam suatu perkara korupsi.
Kedua, hak
angket terhadap KPK yang telah diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR,
memperlihatkan arogansi kekuasaan telanjang yang mencoba melawan proses hukum
yang tengah dilakukan KPK. Padahal, pengusutan terhadap suatu kejahatan yang
berdimensi internasional, tidaklah tergantung dari undang-undang nasional
suatu negara. Hal ini didasarkan pada prinsip civitas maxima dalam hukum
pidana internasional.
Artinya, ada
sistem hukum universal yang dianut oleh semua bangsa di dunia dan harus
dihormati serta dilaksanakan (lihat M Cherif Bassiouni, 2003, halaman 31).
Terlebih, Indonesia adalah state party dalam UNCAC yang telah diratifikasi.
Ketiga, hak
angket terhadap KPK yang meminta rekaman pemeriksaan politisi Partai Hanura,
Miryam S Haryani, dalam perkara korupsi pengadaan KTP-el dibuka, menunjukkan
pembangkangan DPR terhadap undang-undang keterbukaan informasi. Berdasarkan
undang-undang a quo, informasi dalam proses hukum bersifat rahasia dan tidak
untuk dipublikasikan. Tegasnya, tindakan DPR secara kasatmata melanggar
undang-undang a quo.
Keempat, jika
KPK menganggap manuver politik DPR dengan menyetujui hak angket menghambat
dan menghalangi kinerja KPK dalam mengungkap perkara korupsi KTP-el, anggota
DPR dapat dijerat dengan obstruction of justice atau tindakan
menghalang-halangi proses penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam UNCAC,
obstruction of justice adalah mandatory offences yang harus ditegakkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kiranya KPK tidak perlu ragu untuk
menolak intervensi dari mana pun dan dalam bentuk apa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar