Menyelamatkan
Indonesia
Fathorrahman Ghufron ; Dosen
Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga; A’wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
|
KOMPAS, 15 November
2016
Dalam
acara peluncuran buku Franz
Magnis-Suseno; Sosok dan Pemikirannya, untuk memperingati usianya yang
ke-80 pada 28 Oktober 2016, Romo Magnis melontarkan pandangan kritisnya
terkait tiga faktor yang dapat merongrong Pancasila dan kesatuan bangsa.
Pertama,
kekerasan yang menjadi pemicu utama terjadinya konflik sosial di kalangan
masyarakat. Mudahnya sekelompok orang yang menggunakan kekerasan sebagai
instrumen untuk menghadapi sebuah masalah, sesungguhnya dapat mewujud sebuah
kerentanan yang menyulut terjadinya benturan hiper-emosionalitas. Hal ini
tampak dari berbagai potret kehidupan masyarakat yang hanya karena sebuah
perkara kecil tetapi dampaknya menjadi besar.
Kedua,
neo-feodalisme merupakan cara tebar kuasa untuk menyalahgunakan kewenangan
agar memperoleh tujuan tertentu yang searas dengan kepentingan dirinya.
Sekelompok orang yang menamakan dirinya pejabat, priayi, dan penguasa lainnya
bertindak feodal untuk mengatur jalan kesewenang-wenangan agar bisa
memperoleh pendapatan yang lebih besar dengan cara koruptif.
Ketiga,
puritanisme-religius yang mengumbar semangat jihad dan disertai gema
kesyahidan di ruang publik. Seolah-olah kesucian hidup dan mati seseorang
berada di tangan kelompok puritan yang secara masif melakukan pemaksaan
ideologis atas nama ajaran agama.
Dari
ketiga faktor tersebut, yang menarik dikritisi dan dianalisis lebih lanjut
adalah aspek puritanisme-religius. Sebab, aspek ini kerap digunakan oleh
sekelompok umat beragama dengan aneka macam gerakan. Mulai gerakan akidah,
dakwah, hingga gerakan politik untuk melawan siapa pun—termasuk pemerintah—yang
dianggap tak sejalan dengan visi keagamaannya.
Dengan
mengacu pada paham keagamaan yang tekstual, normatif, dan positivistik, para
penganut puritanisme-religius menggerakkan berbagai nomenklatur keagamaan
yang rigid-absolut seraya menolak model pembacaan keagamaan yang kontekstual.
Bahkan, penganut puritanisme- religius tak segan melontarkan ujaran
stigmatik, seperti sesat, kafir, tagut, sebagai bentuk perlawanan kepada
siapa pun yang dianggap merusak ajaran agama.
Ruang
gerak puritanisme-religius
Penjelasan
di atas dapat dicermati dalam buku Selamatkan
Islam dari Muslim Puritan karya Khaled Abou Fadl. Bahwa ciri berpikir dan
cara pandang kaum puritan yang menonjol dalam hal keyakinan adalah menganut
paham absolutisme yang tak kenal kompromi. Tak heran jika dalam
perkembangannya, kaum puritan selalu berupaya keras merevitalisasi dan
mereaktualisasi peran agama dalam kehidupan, mengharuskan penerapan perintah
agama baik dalam urusan privat maupun publik, dan ingin memperjuangkan
tegaknya negara yang akan mengatur segala aspek kehidupan manusia berdasarkan
hukum Tuhan.
Bahkan,
untuk mendorong terwujudnya cita-cita tersebut, penganut puritanisme-religius
memasuki berbagai dimensi sosial, baik yang berhubungan dengan politik,
ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Pola ini berlangsung rapi dan masif.
Sesekali ”berselingkuh” dengan arus kepentingan komprador politik agar bisa
masuk wilayah-wilayah tertentu, yang memungkinkan mereka memperlebar sayap
indoktrinasinya. Terlebih lagi jika negara diterpa oleh fenomena krisis, baik
krisis ekonomi, politik, keadilan, dan semacamnya.
Hal
ini bisa dicermati pada resonansi ajarannya yang berkali-kali menyatakan
bahwa sistem kenegaraan Indonesia yang mengacu pada Pancasila dianggap gagal
memakmurkan bangsa. Bahkan, model demokrasi yang dijadikan landasan kehidupan
berbangsa dituduh sebagai biang kehancuran dan karena itu mereka menawarkan
sistem yang dianggap lebih baik, seperti sistem khilafah. Seakan-akan, bagi
mereka, segala sesuatu yang jika bertitik tolak dari agama, semua urusan akan
menjadi beres.
Padahal,
agama yang menyebar ke berbagai penjuru, termasuk Indonesia, tidak pernah
lepas dari pergulatan sejarah sosial yang melingkupi. Meskipun sumber utama
agama adalah kitab suci, ihwal pemahaman dan penafsiran tentang kitab suci
tidak pernah tunggal. Ada berbagai pendekatan dan metode bagaimana setiap
kelompok menguraikan pemahaman dan penafsirannya.
Lalu,
ketika ada sekelompok umat yang menghadirkan pemahaman dan penafsiran agama
yang kontekstual, cara berpikir semacam ini serta-merta dianggap berlawanan
dengan hukum Tuhan. Di sinilah persoalan yang mendasar yang sering kali
kontroversial. Anehnya, kelompok penganut puritanisme-religius selalu tak mau
tahu tentang realitas sosial yang ada bahwa Indonesia adalah negara yang
heterogen, yang tidak bisa dikendalikan berdasarkan panduan agama tertentu.
Memahami
identitas keindonesiaan
Dalam
buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan
dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Buya Syafii Maarif menjelaskan
bahwa Indonesia adalah titik temu semua agama. Setiap pemeluknya memiliki hak
yang sama untuk mengekspresikan basis keyakinannya, baik di ruang privat
maupun ruang publik. Karena itu, tidak sepatutnya jika Indonesia hanya
diperebutkan sebagai ajang unjuk kekuatan ihwal kebenaran tunggal yang
diasosiasikan kepada ajaran agama tertentu.
Ketika
para pendahulu kita telah meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara,
sejatinya setiap kelompok, baik berlatar belakang keagamaan, kesukuan, maupun
emosionalitas grup lainnya, mengabsorpsi dirinya ke dalam bingkai
keindonesiaan yang menyeluruh.
Konsekuensinya,
ketika negara ini sudah merancang berbagai aturan main kehidupan berbangsa
yang mengacu kepada UUD 1945 sebagai basis konstitusinya, Pancasila sebagai
dasar ideologinya, dan demokrasi sebagai sistem kepemerintahannya, siapa pun
harus tunduk di bawah aturan-aturan tersebut. Sebab, semua rumusan aturan
main tersebut sudah menjadi sunatullah yang tidak bisa digantikan oleh model
apa pun, termasuk model ajaran agama tertentu.
Adapun
tugas kita sebagai bangsa Indonesia adalah bagaimana mengisi kemerdekaan ini
dengan cara memperkuat identitas keindonesiaan yang positif- konstruktif
melalui kiprah kita di berbagai lini kehidupan. Tidak sepatutnya jika di
antara kita membuat aneka macam pembangkangan dan pemberontakan hanya karena
ajaran sosial ataupun agama yang kita peluk menandaskan sistem nilai yang
berbeda. Justru kita perlu memperkenalkan dan mengekspor cara pandang
keindonesiaan yang moderat dalam konstruksi pemahaman keagamaan yang arif dan
inklusif.
Dengan demikian, gerakan
puritanisme-religius yang selama ini banyak diimpor dari negara-negara Timur
Tengah yang sebenarnya sedang mengalami kegagalan dan alienasi dalam
percaturan global tidak perlu lagi dikoarkan di Indonesia. Sebab, melalui
Pancasila sebagai etika kebangsaan, insya Allah negara ini akan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar