Catatan
Muram dari Amerika Serikat
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar
Departemen Politik FISIP Unair;
Direktur Center for Statecraft
and Citizenship Studies Unair
|
JAWA POS, 15 November
2016
Dari Iowa City, Amerika Serikat
(AS), 9 November 2016, saya menyaksikan awan gelap menyelimuti mentalitas
orang-orang yang berlalu-lalang pada pagi hari di tengah sinar matahari yang
baru saja terbit dan angin dingin yang menyapa. Saat itu rombongan kami yang
terdiri atas tiga perempuan –menggunakan hijab– dan kawan saya seorang
laki-laki –mengenakan sarung– tengah menikmati sarapan pagi ketika seorang
laki-laki kulit putih tiba-tiba datang dengan simpatik berkata, ”Saya sangat
menyesal dan meminta maaf atas hasil pemilihan presiden tadi malam.”
Keprihatinan tersebut muncul
dari kampanye presiden terpilih Donald Trump yang cenderung memprovokasi
kebencian terhadap kaum berbagai identitas, salah satunya muslim. Kemuraman
sepertinya melanda berbagai kota di negara bagian AS setelah kekalahan Hillary
Clinton dalam pertarungan memperebutkan kursi presiden AS yang
ditunggu-tunggu warga sejagat.
Bagi sebagian besar masyarakat
AS, mereka seperti tidak lagi mengenal negara yang mereka cintai dan tinggali
untuk saat ini serta ketakutan atas masa depan –setidaknya dalam jangka waktu
empat tahun ke depan– tengah melanda.
Pertanyaan yang membuncah di
hati mereka saat ini adalah bagaimana mungkin AS yang dikenal warganya
sebagai negara yang dengan institusi demokrasi yang terlembagakan dan
jejaring ikatan sosialnya mampu membangun kehidupan bernegara yang
berkarakter multikultural, melindungi civil right tiap warga negara dari
berbagai latar belakang sosial, tiba-tiba memilih seseorang seperti Trump
yang mengampanyekan kebencian atas kaum imigran, membelah negerinya atas kaum
pemilik AS dan kaum pendatang, serta menjanjikan kebesaran AS yang berdiri di
atas ketertutupan dan pembatasan sosial dan ekonomi dalam hubungannya dengan
negara-negara lain.
Tentu saja kenyataan pahit itu
tidak jatuh begitu saja dari atas langit. Kekecewaan bercampur kecemasan yang
saat ini melanda kaum imigran yang berjuang menyambung hidupnya dari
komunitas muslim, Latin, Afrika, Arab, dan masyarakat secara umum yang bangga
atas warisan kebebasan sipil negaranya memiliki riwayat panjang dan mencapai
daya dorongnya semenjak krisis sosial ekonomi yang berlangsung pada 2008.
Sebelum menjelaskan pokok
persoalan sosial dari realitas pahit di atas, mari kita membaca sejenak peta
kekalahan Clinton kemarin. Kita akan menyaksikan kekalahannya berlangsung di
beberapa basis sosial dari Partai Demokrat di negara bagian seperti Wisconsin
dan Michigan. Serta di beberapa wilayah battleground negara-negara bagian
yang menjadi perebutan keduanya dan pada Pemilu 2012 memilih Presiden Obama
seperti Florida, Pennsylvania, dan Ohio, juga dimenangi Trump.
Suara Kelas Pekerja Kulit Putih
Ada apakah gerangan yang dapat
kita pelajari dari kekalahan kubu Demokrat di wilayah-wilayah strategis
tersebut? Mengapa Clinton gagal mempertahankan supremasi politik Demokrat
dalam pilpres kali ini?
Satu kegusaran yang muncul
sekitar minggu-minggu terakhir sebelum pemilihan presiden (namun tidak banyak
dibicarakan secara terbuka) adalah kecenderungan kalangan kelas pekerja kulit
putih untuk beralih dari Clinton kepada Trump. Demokrat yang selama ini
telanjur dianggap sebagai partai yang mengusung visi egalitarianisme AS dan
rumah kelas pekerja dan kaum marginal lainnya tidak berhasil mempertahankan
benteng-benteng politiknya.
Seperti diutarakan jurnalis
majalah dwimingguan The New Yorker George Packer pada edisi 31 Oktober 2016
di kolom panjangnya yang berjudul How the Democrats Lost the White Working
Class, penyandingan dua istilah menjadi satu, yakni kelas pekerja dan kulit
putih, tidak memiliki makna netral, tapi politis. Kaum kulit putih selama ini
dianggap sebagai kalangan yang istimewa.
Namun, turbulensi kehidupan
sosial yang melanda AS seusai krisis ekonomi telah mengubah gambaran tentang
kelas pekerja dari kekuatan sosial yang produktif menjadi kelompok tertinggal
dan mengalami pemiskinan sosial. Proses pemiskinan sosial skala masif dari
kelompok pekerja kulit putih yang membuat mereka setara dengan kaum-kaum
lainnya seperti komunitas masyarakat kulit hitam dan kaum imigran lain
terjebak dalam persoalan kriminalitas, narkoba, gizi buruk, dan berbagai
masalah sosial lainnya.
Krisis sosial di AS yang
berlangsung sejak 2008 dan merambat sampai puncaknya pada 2010 menjadi
keadaan yang begitu menyakitkan. Bukan saja bagi warga di pedesaan dan
wilayah slum AS, tapi juga bagi kalangan kelas pekerja kulit putih tidak
terdidik di sana. Semenjak 2008 banyak warga AS yang kehilangan tempat
tinggal, pekerjaan, dan sandaran pengaman hidup akibat krisis sosial.
Sementara di sisi lain mereka
menyaksikan 1 persen dari orang-orang yang sangat kaya dan memiliki kuasa
menikmati distribusi kesejahteraan yang berlimpah. Selain itu, distribusi
kemakmuran dari lebih kurang 20 persen kelas menengah terbagi di antara
kelompok beragam. Baik dari kalangan warga AS maupun imigran berpendidikan
tinggi yang mencari kemakmuran ala American Dream.
Dalam keadaan seperti itu,
kemiskinan sosial memang menjadi problem yang dihadapi secara merata. Meski
demikian, bagi kalangan kelas pekerja kulit putih (tak terdidik) yang selama
ini merasa dirinya menjadi pemilik sah AS, kenyataan pemiskinan sosial
tersebut tak tertahankan.
Dalam realitas sosial politik
sehari-hari, mereka merasa tersisih dan tidak bisa mengakses diskusi-diskusi
dalam ruang publik kalangan terdidik yang membutuhkan political correctness
terkait isu-isu kesetaraan, pluralisme, dan keadilan sosial. Sementara itu,
ketika menoleh kepada partai politik, mereka menyaksikan para politikus tidak
lebih menjadi bagian dari established oligarchy yang paling mendapat untung
dari keadaan seperti ini.
Tidak mengherankan jika proses
pemiskinan sosial membawa orang pada orientasi beragama yang fanatik,
kebencian terhadap yang berbeda, dan mudah dimanipulasi tokoh-tokoh yang
membakar emosi mereka dan mengalihkannya dari persoalan yang sebenarnya,
yaitu keadilan sosial ekonomi. Benarlah titah Rasulillah Muhammad SAW bahwa
kemiskinan cenderung pada kekufuran. Kondisi kemiskinan menghasilkan
sekelompok besar masyarakat yang tertutup kesadaran nalar dan hatinya dari
hikmah dan kebenaran.
Dalam kondisi seperti ini,
Pilpres AS 2016 menjadi momen pemberontakan dari orang-orang kalap yang
digiring kampanye khas populisme kanan yang mengambinghitamkan persoalan
keterpurukan ekonomi pada kebencian atas rasial dan identitas kultural.
Problem struktur ekonomi politik dibelokkan menjadi persoalan pengambilan
jatah kemakmuran penduduk kulit putih AS oleh kaum imigran.
Dalam kondisi demikian, dari AS
kita tengah menyaksikan sebuah masyarakat yang terbelah dan mudah-mudahan
mereka dapat segera bangkit serta memperbaiki keadaan. Momen politik di AS
kali ini sepertinya dapat menjadi cermin ”kaca benggala” bagi kita semua.
Sebab, situasi sosial yang tengah mereka hadapi kali ini tidak asing bagi
kondisi politik di Indonesia saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar