Menuju
Konten Penyiaran Berdaulat
Yuliandre Darwis ; Ketua
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat;
Dosen Komunikasi FISIP
Universitas Andalas
|
KOMPAS, 10 November
2016
Pembenahan
terhadap dunia penyiaran, khususnya televisi, mesti dilakukan dari hulu
hingga ke hilir. Mulai dari aspek regulasi, kebijakan, infrastruktur, sumber
daya manusia, konten, hingga dampak siaran televisi merupakan wacana
strategis yang menjadi perhatian publik dan pemerintah. Tulisan ini mencoba
mengurai lebih dalam mengenai kualitas isi siaran televisi.
Sesungguhnya
publik sejak lama berharap kualitas isi siaran televisinegeri ini dapat
meningkat dari waktu ke waktu. Artinya, program siaran televisi diharapkan
tidak saja mengikuti hasil perhitungan jumlah penonton (rating) sebagairujukan
tayangan mereka.
Pengaruh
rating yang kuat, yang memberi warna pada program siaran televisi, menjadi
kegelisahan kita bersama. Bahkan, persoalan rating mendapat catatan khusus
Presiden Joko Widodo. Jika diresapi, pidato kenegaraan Presiden Jokowi pada
HUT Ke-70 RI, 14 Agustus 2015, merupakan pidato bersejarah pada dunia media
dan penyiaran sekaligus sebagai titik balik perubahan paradigma ataupun
pembenahan atas wajah penyiaran nasional.
Media
penyiaran diminta tak hanya mengejar rating dan keuntungan belaka. Industri
media juga jangan hanya mengedepankan komersialisasi dan mengabaikan kualitas
isi siaran.
Sesungguhnya
pidato Jokowi tersebut seharusnya menjadi momentum memperkuat kesadaran
reflektif-kritis kita semua. Effendi Gazali, peneliti komunikasi politik,
dalam sebuah tulisannya di sebuah koran nasional (27/9) bertajuk ”Bergeming
Setelah Pidato ’Rating’” mengatakan, Jokowi telah membuat sejarah. Baru
pertama kali kata ”rating” disebut khusus dalam pidato kenegaraan. Bahkan,
itu pada pidato kenegaraan pertamanya di depan MPR.
Dalam
kesempatan itu, Jokowi antara lain menyatakan, ”Lebih- lebih, saat ini ada
kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku
dan menyuarakan kepentingan. Keadaan ini menjadi makin kurang produktif
ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk
meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif. Masyarakat mudah
terjebak pada ’histeria publik’ dalam merespons suatu persoalan, khususnya
menyangkut isu-isu yang berdimensi sensasional.”
Tidak
saja mengapresiasi perhatian khusus Presiden Jokowi menanggapi rating,
Effendi juga mengingatkan kembali kepada publik persoalan utama rating.
Pertama, apakah rating diukur dengan benar. Ini persoalan validitas dan
reliabilitas. Konsistenkah rating di Indonesia dievaluasi atau lebih tepatnya
diaudit? Persoalan kedua keberadaan rating menyangkut bagaimana
menggunakannya. Apakah seluruh selera pasar harus dipenuhi?
Menariknya,
pada bagian akhir tulisan, Effendi membuat tulisan reflektif. Kini, justru
Presiden Jokowi yang melantangkannya. Fakta memang memperlihatkan hasil
rating cenderung berjalan berlawanan dengan proses revolusi mental. Setelah
lebih dari dua bulan pidato berlalu, apakah DPR, Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Komisi Penyiaran Indonesia, serta masyarakat sipil telah tepat
mengelola momentum ini. Atau memilih bergeming seperti beberapa dekade
terakhir?
Lembaga
yang berdaulat
Membenahi
dunia penyiaran nasional, termasuk dari sisi perbaikan kualitas isi siaran
televisi, menjadi tugas bersama komponen bangsa. Tak terkecuali dijalankan
regulator penyiaran, seperti KPI. Sesuai amanat UU No 32/2002 tentang
Penyiaran, peran KPI tidak ringan. Pada Pasal 7 UU Penyiaran, KPI sebagai
lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran.
Makna penyiaran mempunyai dimensi luas; menyangkut soal perizinan,
infrastruktur, SDM, dan konten siaran.
Perbaikan
terhadap konten siaran dilakukan KPI dengan sejumlah pendekatan. Melakukan
fungsi pengawasan secara optimal, memberi sanksi kepada lembaga penyiaran
yang melanggar peraturan, dan dalam konteks pengukuran kualitas siaran KPI
melakukan kebijakan survei.
KPI
melansir hasil survei tentang Indeks Kualitas Program Siaran Televisi sejak 2015
hingga saat ini. Survei KPI bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Komunikasi
Indonesia dengan melibatkan 12 perguruan tinggi di 12 kota di Indonesia.
Hasil survei menunjukkan, kualitas program siaran televisi belum sesuai
dengan harapan publik, khususnya infotainment dan sinetron, yang ironinya
banyak diminati publik berdasarkan rating.
Hasil
survei KPI tahun 2016 menunjukkan, sinetron dan infotainment masih jauh dari
kualitas, yakni di bawah angka 4 standar kualitas siaran. Pada periode I
tahun 2016, hasil survei KPI menunjukkan kategori sinetron/ film mendapat
nilai 2,94 dan periode II pada tahun yang sama memperoleh nilai2,70. Lalu,
infotainment pada periode I tahun 2016 hasil survei KPI memperoleh nilai 2,52
dan periode II pada tahun yang sama memperoleh angka 2,64. Ini artinya,
sinetron dan infotainment di Indonesia perlu pembenahan.
Ibarat tubuh, mempunyai wajah bersih dan
cantik/ganteng adalah keinginan banyak orang agar enak dipandang. Demikian
pula memoles layar kaca, bukan hanya kuantitas, melainkan perbaikan kualitas
isi siaran televisi adalah harapan bersama. Kita ingin menjadi masyarakat dan
bangsa beradab dengan sajian program siaran bermutu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar