Sistem Profesor untuk Sekolah Baru
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 02 Mei
2016
Inilah jenis sekolah
yang tumbuh pesat di Amerika Serikat: charter
school. Bukan negeri. Bukan pula swasta.
Pendiri sekolah jenis
ini umumnya guru. Yang punya jiwa keguruan 24 karat. Yang prihatin terhadap
mutu pendidikan.
Maksudnya: pendidikan
di sekolah negeri. Terutama di lingkungan tempat tinggalnya.
Misalnya Tyler Bastian
ini. Awalnya dia guru SMA. Untuk mata pelajaran pembentukan karakter. Sesuai
dengan prodi saat kuliah dulu.
Bastian prihatin
dengan karakter remaja di lingkungannya. Begitu banyak yang drop out.
Alasannya macam-macam. Intinya: sekolah tidak menarik bagi mereka.
Bastian lantas
mengajak beberapa guru bergabung. Mendirikan charter school. Mereka menyusun
pengurus. Bastian ketuanya.
Sejak 15 tahun lalu
sebagian negara bagian memang mengizinkan berdirinya jenis sekolah baru ini.
Bastian mau itu.
Langkah kedua: Bastian
menyusun charter. Tebalnya 200 halaman. Mirip anggaran dasar: sekolah seperti
apa yang diinginkan. Dan seperti apa kurikulumnya.
Berikutnya: Bastian
menyusun program. Bagaimana mengusahakan bangunan, peralatan, mencari guru,
mencari murid, dan mencari sumber dana.
Semua dokumen itu
diajukan ke pemerintah negara bagian. Setingkat pemda provinsi di sini.
”Setahun saya
mempersiapkan semua itu,” ujar Bastian saat saya mengunjungi sekolahnya.
”Tahun berikutnya sudah mendapat persetujuan.” Tahun ketiga sekolah dimulai.
Persetujuan itu
penting: untuk mendapatkan biaya dari pemerintah. Besarnya Rp 70 juta (USD
5.000) per siswa per tahun. Memang itu tidak cukup. Tapi lumayan. Lebih dari
70 persen biaya sekolah. Menurut Bastian, di sekolahnya, per siswa
menghabiskan USD 7.000/tahun.
Dia harus mencari
sumbangan untuk menutup kekurangannya. Dia tidak boleh mencukup-cukupkan
biaya dari pemerintah itu. Dia harus memenuhi komitmen mutu pendidikan sesuai
dengan charter yang sudah dia buat.
Sekolah milik Bastian
ini berada sekitar 20 km dari pusat Kota Salt Lake City, Utah. Namanya: Roots Charter High School. Bangunannya
masih sewa. Bekas gedung kesehatan.
”Saya beri nama Roots
agar siswa belajar mengenai akar semua masalah kehidupan,” ujar Bastian.
Memasuki ruang kelas
sekolah ini, saya tidak kaget. Inilah ruang kelas SMA di Amerika: siswanya
boleh pakai kaus, sandal, topi, dan celana pendek. Saya lihat seorang siswi
membawa anjing ke kelas.
Duduknya pun boleh
sesukanya: duduk manis, selonjor, kaki di atas kursi, dan sebagainya. Susunan
kursi juga tidak harus rapi berderet.
Boleh beberapa kursi
menggerombol memisah dari kursi lain. Tidak ada meja. Hanya kursi. Yang ada
tempat buku atau laptopnya. Umumnya murid sibuk dengan laptop masing-masing.
Gurunya pun tidak di
depan kelas. Keliling mendatangi murid yang memerlukan supervisi. Murid lain
boleh berdiri di dekat guru. Ikut mendengarkan. Atau tidak.
Hari itu, 18 April
lalu, saya melongok ke tiga kelas: matematika, sejarah, dan kimia. Semua
mirip adanya: guru bersikap seperti teman murid. Pakaiannya pun semaunya.
Bastian juga menyewa lahan berjarak sekitar
100 meter dari sekolah. Untuk praktikum. Saya juga mengunjunginya. Untuk
melihat kekhasan sekolah ini.
Seorang siswi dengan
celana jins sedang memaku papan. Untuk bedeng tanaman sayuran. Tujuh
siswa/siswi berada di kandang kambing.
Mereka mempraktikkan
cara menyayangi anak kambing: merangkulnya di pangkuan, mengelus bagian yang
disuka dan memeluknya. Menurut ilmu menyayangi kambing, bagian leher bawahlah
yang harus dielus.
Tentu kandang kambing
ini mengingatkan akan masa remaja saya: menjadi penggembala kambing. Saya
sudah biasa menggendong anak kambing, membantu kelahiran, dan memandikan
kambing. Tapi tidak secara ilmiah begini.
Segerombol siswa lagi
memperhatikan temannya memandikan sapi. Seorang guru memberi contoh sesuai
dengan ilmu memandikan sapi.
Dulu pun saya biasa
membantu memandikan kerbau. Tapi, menungganginya dulu sepanjang jalan menuju
sungai. Sambil meniup seruling.
Bastian adalah orang
pertama yang mendirikan charter school berbasis pertanian dan peternakan.
Relevan dengan situasi lingkungan sekolah. Siswa ternyata suka pelajaran di
luar kelas. Ada unsur kegiatan fisik dan luar ruang.
Charter school memang dimaksudkan sebagai koreksi. Terutama
terhadap rendahnya mutu sekolah negeri. Pelopornya seorang profesor dari
Massachusetts. Namanya Ray Budde. Ketua persatuan guru AS.
Profesor itu pula yang
mengajukan reformasi pendidikan pada tahun 1974. Sekolah negeri dia anggap
terlalu kaku. Karena bukan berdasar inisiatif masyarakat. Tapi, baru tahun
1974 ada satu negara bagian, Minnesota, yang menerima ide charter school Prof Budde.
Sejak itu charter school menggelinding dengan
kecepatan Star Wars. Kini sudah 43 negara bagian yang menerapkan. Jumlah
charter school sudah mencapai 5.000 sekolah. Terbukti pula, kualitas
pendidikannya lebih baik.
Tidak sembarang guru
bisa mengajar di charter school.
Harus yang bersertifikat. Yang benar-benar terpanggil jiwa keguruannya.
Bastian punya delapan guru untuk Roots
High School. Tiap guru gajinya USD 54.000 per tahun. Sekitar Rp 700 juta.
Keunggulan charter
school adalah ini: tidak ada keseragaman. Ada yang mengutamakan matematika.
Ada yang berbasis teknologi. Rekayasa mesin. Olahraga. Bebas. Tergantung
bunyi charter yang dibuat.
Bastian puas dengan
perjuangannya. Dia bekerja mulai jam 6 pagi sampai 6 sore. Mengajar dan
menyiapkan keperluan sekolah. Dengan semangat.
Ketika saya
memperhatikan anjing besar yang keluar masuk kelas, Bastian berhenti. ”Ini
anjing sekolah,” katanya.
”Kalau ada siswa/siswi
yang lagi suntuk, saya minta keluar untuk main-main dengan anjing ini.” Emosi
siswa bisa reda.
Sebenarnya Bastian
ingin bisa punya siswa sampai 300 orang. Tidak hanya 150 seperti sekarang.
Tapi, dia belum bisa cari sumbangan lebih banyak. ”Sulit cari sumbangan.
Orang Amerika itu kaya, tapi jiwanya rakus,” ungkapnya.
Bastian terpanggil
mengurusi anak orang miskin sejak umur 19 tahun. Ketika dia jadi misionaris
gereja Mormon di Honduras. Begitu miskin negara itu.
Dia sudah mendirikan
sekolah di sana. Tiap tahun Bastian mengajak enam orang anaknya liburan di
Honduras. Agar tahu bagaimana bisa membantu orang miskin.
Bahwa Bastian Mormon,
memang begitulah umumnya orang Utah. Pihak-pihak yang rapat dengan saya di
Utah semua aktivis Mormon. Misalnya yang ahli teknologi torium itu. Atau yang
ahli ekonomi itu. Di sela-sela rapat saya menemui Tyler Bastian. Eh, Mormon
juga.
Mayoritas penduduk
Utah memang penganut Mormon: aliran Kristen yang membolehkan istri lebih dari
satu, melarang makan babi, dan mengharamkan minuman keras.
Tentu saya juga
mengunjungi Temple Square di Salt Lake City. Pusat gereja Mormon dunia. Yang
umatnya kini sudah mencapai 15 juta. Antara lain karena Mormon melarang
umatnya ikut KB.
Kembali ke lamanya
perjuangan Prof Budde melahirkan charter school tadi, saya jadi merenung: di
AS sekalipun memperjuangkan pembaharuan memakan waktu. Untung Prof Budde
tidak gampang menyerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar