Kamis, 21 Januari 2016

Kembali ke GBHN-kah Kita?

Kembali ke GBHN-kah Kita?

Deddy S Bratakusumah  ;   Analis dan Praktisi Pemerintahan
                                                    DETIKNEWS, 14 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejatinya, konstitusi sebelum diamandemen, mengamanatkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi acuan bagi presiden selaku mandataris MPR (karena dipilih oleh MPR) dalam mewujudkan cita-cita bangsa bernegara. Upaya mencapai tujuan bangsa dilakukan melalui pembangunan. Karena pembangunan dapat diartikan sebagai peningkatan kualitas dan derajat kehidupan rakyat Indonesia. Oleh karenanya bentuk operasional dari GBHN ini pada saat itu dituangkan dalam Rencana Pembangunan Nasional, antara lain; Pembangunan Semesta Berencana pada masa Soekarno, Repelita pada masa Suharto, dan Propenas pada masa Awal Reformasi.

Dengan adanya rencana pembangunan, para penyelenggara negara mempunyai pegangan, rambu-rambu dan sasaran serta target yang harus dicapainya dalam kurun waktu tertentu. Repelita misalnya memiliki rentang waktu 5 tahun. Dengan acuan rencana ini pula harapan rakyat dan kenyataan yang dilakukan pemerintah dapat dengan mudah diukur.

Bahkan pengukuran kinerja pemerintahan, dalam hal ini presiden selaku mandataris MPR, didasarkan atas kesungguhan dan keberhasilan presiden dalam menerjemahkan dan melaksanakan GBHN tersebut. Presiden pada saat itu harus menjalankan ketetapan-ketetapan yang dihasilkan oleh MPR, termasuk GBHN. Contoh yang paling aktual adalah fenomena ini adalah ditolaknya pertanggungjawaban presiden Habibie oleh MPR, karena dinilai gagal menjalankan GBHN. Karenanya Habibie tidak dipilih lagi menjadi presiden.

Selama beberapa dekade, GBHN telah menjelma menjadi suatu dokumen yang sakti bahkan sakral, berdosa bila dilanggar. Para pendiri negeri ini menginginkan agar GBHN menjadi semacam "Kebijakan Strategis Bangsa" (strategic intents). Nampaknya para pendiri bangsa ini, ingin menegaskan bahwa "Kebijakan Strategis Bangsa" bersifat dinamis, seiring dengan berlalunya waktu. GBHN meskipun dibentuk untuk 25 tahunan namun tidak tertutup kemungkinan untuk selalu dievaluasi, dianalisa, diubah bahkan diganti setiap Sidang MPR lima tahunan.

Hapusnya GBHN

Pada masa reformasi, keberadaan GBHN telah dihapuskan melalui amandemen UUD 1945. Menurut konstitusi hasil amandemen ini, kewenangan MPR menyusun GBHN telah dihilangkan. MPR, yang anggotanya terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD, hanya bertugas untuk mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden serta wakil presiden terpilih, yang dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu MPR dapat memberhentikan presiden serta wakil presiden dalam masa jabatannya apabila yang bersangkutan melanggar hukum dan berkhianat terhadap bangsa dan negara, itu pun setelah diputuskan bersalah oleh MK.

Ketiadaan GBHN merupakan konsekuensi logis dari pemilihan presiden secara langsung. Sebab salah satu aspek penilaian terhadap calon presiden, mestinya, adalah melalui rencana atau program yang ditawarkannya. Program-program itu (selama ini dikenal sebagai "visi-misi" Capres) merupakan interpretasi Capres dalam upaya mencapai cita-cita bangsa yang secara eksplisit tersurat didalam pembukaan konstitusi.

Andaikata Capres yang bersangkutan dapat memenangi pemilihan umum, maka tawaran tersebut harus dapat diwujudkannya pada masa jabatannya. Apabila tidak, maka yang bersangkutan akan dianggap gagal. Namun hukumannya secara politis dia tidak akan dipilih lagi oleh rakyat untuk jabatan berikutnya, tidak dilengserkan di tengah jalan. Begitulah sanksi politis dalam sistem pemilihan langsung.

Di samping itu, ketiadaan GBHN merupakan perwujudan dari sistem pembangunan ekonomi yang dianut setelah masa reformasi. Jujur saja, setelah reformasi, kita "ingin" (meski malu-malu) menerapkan sistem "neo-liberalisme". Dalam sistem ini "negara" tidak perlu turut serta dalam merencanakan perekonomian secara terpusat. Bahkan di beberapa negara yang murni menganut "neo-lib", tidak ada dokumen perencanaan pembangunan nasional.

Bila Kembali ke GBHN

Kegalauan karena ketiadaan GBHN sebenarnya telah mencuat sejak diberlakukannya pemilihan presiden secara langsung, galau karena dikhawatirkan tiadanya kesinambungan pembangunan. Kegalauan ini sebenarnya telah dijawab dengan lahirnya Rencana Pembanguan Jangka Panjang (RPJP), untuk pertama kalinya RPJP 2005-2025 dituangkan dalam UU No 17/2007. Sementara ini RPJP dianggap sebagai pengganti GBHN. Meskipun secara yuridis formal, penyusunan RPJP ini menyalahi kaidah ilmu sistem ketatanegaraan yang sudah tertuang dalam Amandemen UUD 45 di mana sistem yang dianut Indonesia adalah presidensial murni.

Wacana menghidupkan kembali GBHN secara gamblang disampaikan oleh Megawati dalam pidato politiknya di hadapan peserta Rakernas PDIP 2016. Gagasan ini merupakan puncak dari kegalauan setelah sepuluh tahun tanpa GBHN. Agar penerapan kembali GBHN memiliki legitimasi, perlu dilakukan beberapa perubahan pada peraturan perundangan kita.

Sebelum melakukan berbagai perubahan, kita harus sejenak berpikir, mazab pembangunan ekonomi apa yang akan kita anut? Perenungan ini sekaligus untuk mengeliminir ambiguitas UUD 45, di mana di pembukaan menganut "negara kesejahteraan" (Pancasila) sementara di batang tubuh hasil amandemen menganut "neolib".

Dengan mengamandemen kembali UUD 1945, konsekuensinya akan mengubah seluruh sistem politik dan ketatanegaraan, termasuk kedudukan MPR dan pemilihan presiden. Namun dengan hanya mengubah beberapa undang-undang terkait perencanaan, yakni UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), dan UU 17/2007 tentang RPJP, kita akan tetap mendapatkan ketidakharmonisan filosofi dalam pembangunan ekonomi, yang mengakibatkan karut marut perencanaan dan penganggaran pembangunan.     Jadi, masalah pembangunan ada pada "filosofinya", bukan masalah ada atau tidak adanya GBHN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar