Sekali
Lagi,
Tentang
Angkatan Perang Negara Kepulauan
Chappy Hakim ; Ketua Umum DPP HNSI
|
SINAR
HARAPAN, 02 Oktober 2014
Menjadi
menarik untuk membahas ulang berbagai aspek kehidupan di negeri ini, setelah
dilontarkannya isu "poros maritim" oleh presiden terpilih Jokowi
beberapa waktu lalu. Salah satu yang akan menjadi bahasan utama dipastikan
adalah yang berkait dengan pertahanan dan keamanan negara. Ini sebagai sisi
lain bagian penting dari penentu kebijakan nasional, di samping masalah
kesejahteraan rakyat.
Sistem
pertahanan satu negara akan dipengaruhi bentuk dan letaknya. Secara
universal, dalam perkembangannya dipastikan akan berorientasi pada kemajuan
teknologi dan cenderung total defense sifatnya. Indonesia, di waktu lalu
mengenal Sishankamrata (Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta).
Dari
namanya saja (penggunaan kata semesta) sudah menggambarkan refleksi usaha yang
total defense tersebut. Dalam perkembangannya, konon, karena sudah telanjur
ditentukan bahwa keamanan menjadi miliknya Polri yang sudah keluar dari ABRI,
TNI “hanya” memperoleh jatah pertahanan saja maka Sishankamrata telah berubah
menjadi Sishanrata (Sistem Pertahanan Rakyat Semesta). Gambaran tentang total
defense di sini terlihat agak memudar karena kehilangan unsur “kam” atau
“keamanan”-nya.
Kembali
ke Sishankamrata yang dianut puluhan tahun itu, pada kenyataannya hanya
menghasilkan satu Angkatan Perang (dikenal sebagai ABRI), menjadi garda depan
penjaga “stabilitas nasional” yang dalam terjemahan sederhananya adalah
mengamankan kekuasaan satu rezim pemerintahan. Dalam perjalanan yang seperti
itu, tidak bisa dielakkan bagi sang Angkatan Perang bersama Kepolisian yang
berwujud ABRI untuk berada di garis paling depan dalam jajaran kegiatan
“politik” sehari-hari. Politik yang niscaya akan terfokus hanya kepada
aktivitas mengejar dan mempertahankan “kekuasaan” belaka. Satu kegiatan yang
sangat jauh dari domainnya sebuah Angkatan Perang.
Hal
tersebut juga terlihat dari peran kekuatan laut dan lebih-lebih kekuatan
udara yang sangat tidak proporsional dalam konteks sistem pertahanan sebuah
negara yang berbentuk kepulauan. Kekuatan Angkatan Laut dan Angkatan Udara
terlihat hanya merupakan sekadar pelengkap semata. Demikian pula dalam kurun
waktu yang lebih dari setengah abad, sejauh ini perwira Angkatan Laut hanya
berkesempatan dua kali menjabat sebagai panglima, sedangkan Angkatan Udara
hanya satu kali.
Itulah
masa yang telah dilalui bersama. Masa di mana Angkatan Udara dan Angkatan
Laut dipandang sebagai tidak cukup penting. Sudah waktunya, dan harus dimulai
dari garis awal, antara lain pada sistem pendidikan dasar bagi kader-kader
Perwira Angkatan Perang Indonesia. Seyogianya semua itu harus berorientasi
kepada bagaimana menghasilkan perwira yang profesional di bidangnya dalam
arti sesungguhnya.
Sampai
saat ini, realita menunjukkan betapa kita lebih banyak menghasilkan para
“perwira militer yang businessman” dan “perwira militer yang politikus”,
dibanding “perwira militer yang profesional”.
Profesional
dalam arti perwira berjiwa patriot yang militan dan memiliki visi dengan
orientasi utamanya kepada pertahanan dan keamanan negara, bukan semata kepada
kekuasaan, kedudukan di luar organisasi Angkatan Perang, dan/atau bidang
politik praktis. Satu hal yang sangat serius untuk direnungkan bersama.
Kedaulatan Negara
Kini, di
era Reformasi dan era pasca-Reformasi seharusnya merupakan saat yang bagus
untuk membenahi Angkatan Perang Indonesia dalam satu wujud yang tepat berada
dalam garis orbit Angkatan Perang Negara Republik Indonesia.
Angkatan
Perang sebagai alat negara yang bertugas menjaga kedaulatan dan kehormatan
bangsa harus segera menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Sekarang
sudah saatnya untuk merumuskan ulang satu Angkatan Perang negara kepulauan
yang terletak pada posisi sangat strategis di sepanjang garis khatulistiwa.
Di
samping rumusan normatif dari tugas menjaga kedaulatan negara, selalu ada
pertimbangan aktual yang dapat dirumuskan dalam konteks menjabarkan
tugas-tugas dari satu Angkatan Perang.
Dalam
format sederhana kedaulatan negara dikesehariannya dapat dilihat, antara lain
bila patok-patok sepanjang perbatasan negara di daratan Papua, Kalimantan,
dan tempat-tempat lain tidak dapat digeser seenaknya oleh pihak lain.
Kekayaan laut negeri ini dapat terjaga dengan baik dari kegiatan pencurian
besar-besaran yang sangat leluasa. Nelayan-nelayan kita dapat mencari ikan
dengan nyaman tanpa khawatir akan ditangkap aparat penjaga keamanan laut
negera tetangga. Wilayah udara kedaulatan kita, walau hanya sebagian, tidak
boleh berada di bawah otoritas penerbangan negeri jiran.
Wilayah
udara kedaulatan kita aman dari penerbangan gelap yang begitu sering melintas
tanpa izin. Itu semua sebenarnya hanyalah beberapa hal dari aspek kedaulatan
negara yang relatif sangat sering kita jumpai terjadi sepanjang tahun.
Demikian
pula tidak terdengar masalah-masalah tersebut dapat ditangani dengan solusi
yang memuaskan. Satu tantangan besar bagi Angkatan Perang Republik Indonesia.
“Critical Border”
Kedaulatan negara dalam konteks tertentu
kerap juga sangat berhubungan dengan kerawanan yang terjadi dikawasan
perbatasan negara. Puluhan tahun Angkatan Perang kita larut dalam berpolitik.
Jadi,
kawasan perbatasan seolah belum tersentuh dalam cengkeraman yang ketat
penjagaan oleh tentaranya. Sipadan dan Ligitan, adalah merupakan satu dari
contoh kelalaian menjaga dan memelihara daerah perbatasan. Bila ditinjau dari
perjalanan sejarah dunia, ternyata penyebab perang terbanyak adalah perang
yang dimulai dari sengketa perbatasan (border
dispute).
Itu
sebabnya hakikat sistem pertahanan negara terkadang dapat diartikan sebagai
membangun pagar di sepanjang perbatasan. Realita menjelaskan kepada kita,
tidaklah mungkin satu negara memandang perlu atau dapat mampu memagari
seluruh kawasan perbatasannya dengan pagar di samping memang tidak akan
efisien. Itu sebabnya, orang akan memilih hanya daerah perbatasan yang kritis
diusahakan untuk dipagari.
Dengan
demikian, dikenallah beberapa pagar di kawasan perbatasan kritis seperti
Tembok Tiongkok (The Great Wall)
yang membendung kawasan perbatasan kristis Tiongkok dari ancaman serangan
musuh yang berasal dari utara.
Tembok
Berlin yang berfungsi sepanjang era Perang Dingin memisahkan kawasan
perbatasan kritis di daerah penuh ancaman antara blok Barat dan Timur. SDI (Strategic Defense Inisiative)-nya
Ronald Reagan, berupa “pagar imajiner” di daerah perbatasan kritis yang
membentengi negara-negara blok Barat terhadap kemungkinan serangan ICBM
(Intercontinental Balistic Missile) Blok Timur.
Semua
itu adalah contoh dari bagaimana konsep pagar di sepanjang daerah perbatasan
yang kritis telah menjadi prioritas atau bagian utama dari satu sistem
pertahanan.
Bagaimana
dengan Indonesia? Secara garis besar, dapat dilihat Indonesia memiliki dua
kawasan perbatasan kritis, yaitu di Selat Malaka dan di daerah perbatasan
selatan timur yang menghadap Benua Australia.
Selat
Malaka merupakan kawasan perairan yang berbatasan dengan banyak negara
tetangga, di samping merupakan jalur lintas dari demikian banyak armada laut
dunia. Selat Malaka kesibukannya enam kali lipat dari Terusan Suez. Dalam
sehari Selat Malaka dilewati tidak kurang dari 3.000 kapal niaga.
Nah, di
samping Indonesia adalah merupakan negara yang berbentuk kepulauan terbesar
di permukaan bumi ini, ternyata sangat jelas memiliki perbatasan kritis yang
didominasi kawasan yang berujud perairan.
Dengan
demikian, bila berbicara tentang sistem pertahanan yang berkait dengan
membangun satu postur Angkatan Perang, yang sangat masuk akal adalah
membangun Angkatan Perang yang berorientasi pada kekuatan laut atau kekuatan
maritim yang andal.
Kekuatan
laut yang dapat memberikan jaminan keamanan dan kekuatan menjaga kedaulatan
negara pada tingkat siap tempur (combat
rediness) yang memadai. Kekuatan laut,
tidak akan banyak manfaatnya, bila tidak didukung satu kekuatan yang mampu
memberikan perlindungan dari udara, air
superiority atau air supremacy.
Kiranya,
keseluruhan uraian ini telah mengantar kita semua pada pemikiran yang logis
dan masuk akal. Dalam konteks penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, seyogianya kita harus memiliki satu Angkatan
Perang dengan kekuatan laut dan udara yang prima, satu Angkatan Perang dari
satu negara yang berujud perairan, satu Angkatan Perang negara maritim,
Angkatan Perang negara kepulauan.
Angkatan
Perang yang berinduk, tidak hanya kepada bentuk dan letak strategisnya,
tetapi juga pada pertimbangan kemajuan teknologi dan berorientasi senantiasa
kepada total defense atau semesta.
Harapan
bagi pembangunan satu Angkatan Perang dengan konsep yang berdasarkan bentuk
negara kepulauan terbesar di permukaan bumi ini, telah muncul kembali setelah
didengungkannya poros maritim oleh presiden terpilih Jokowi.
Semoga juga
paralel dengan itu, peningkatan profesionalisme Angkatan Perang sebagai garda
depan penjaga kedaulatan negara dapat pula berjalan seiring. Satu Angkatan
Perang yang berorientasi kepada tugas-tugas penjaga kedaulatan negara yang
sekali lagi wujudnya adalah berbentuk kepulauan. Sudah waktunya kebijakan di
bidang pertahanan dan keamanan negeri ini tidak lagi menempatkan Angkatan
Perangnya sekadar penjaga satu rezim pemerintahan yang sedang berkuasa.
Semoga saja istilah "maritim" dan istilah "negara kepulauan"
tidak terpasung di dalam "sangkar"-nya sebagai "jargon
kosong" belaka, seperti yang selalu muncul dalam upacara-upacara seperti
Sail Bunaken, Sail Komodo, Sail Raja Empat, dan entah sail-sail apalagi yang
akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar