Visi
Kesehatan Capres Perlu Terobosan
Hasbullah
Thabrany ; Chair,
Center for Health Economics and Policy Studies UI
|
KOMPAS,
19 Juni 2014
JIKA
semua berjalan lancar, pada pertengahan Juli 2014 sudah bisa dipastikan siapa
presiden baru. Pertanyaannya, apakah ada hal baru dalam sektor kesehatan yang
akan diusung oleh presiden baru? Apakah ada terobosan baru? Dari visi-misi
kedua calon presiden, tampaknya kesehatan masih menjadi isu marjinal.
Poros
Joko Widodo-Jusuf Kalla menjanjikan konsep ”Indonesia Sehat” yang belum
terjabarkan dengan baik isi dan mekanisme Indonesia Sehat tersebut. Di era
Presiden Habibie, Prof Moeloek selaku menteri kesehatan meluncurkan program
Indonesia Sehat 2010. Apakah sama? Apa yang sama dan yang berbeda? Poros
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mencantumkan lebih banyak keinginan, tetapi tak
ada yang baru. Visi Prabowo menjamin penduduk miskin via BPJS Kesehatan,
membangun klinik di desa, dan membangun RS modern.
Struktur peraturan banyak
Dari
segi sistem kesehatan, struktur sistem kesehatan Indonesia sesungguhnya sudah
solid diatur dengan beberapa UU. Secara umum, sistem kesehatan mencakup dua
kelompok upaya, yaitu upaya kesehatan perorangan (UKP) dan upaya kesehatan
masyarakat (UKM).
Di
bidang UKP telah ada pengaturan UU Praktik Kedokteran, UU Sistem Jaminan
Sosial Nasional, UU Kesehatan, UU Rumah Sakit, dan UU BPJS. Di bidang UKM,
peraturan penting yang terkait adalah UU Kesehatan dan UU Otonomi Daerah.
Dari segi pendanaan, sudah ada UU Keuangan Negara, UU Perimbangan Keuangan,
UU Pajak, UU Retribusi Daerah, dan UU APBN yang tiap tahun disusun dan
diubah.
Apa
artinya? Fleksibilitas presiden terpilih kelak melakukan perubahan sistem
jadi sangat terbatas. Ide-ide yang dilontarkan para calon yang tidak sejalan
dengan UU yang ada akan sangat sulit dilaksanakan sebagai program 100 hari.
Presiden akan mengangkat sumpah untuk melaksanakan UUD dan UU yang ada.
Ide-ide brilian capres tidak bisa begitu saja dilaksanakan karena presiden
tidak boleh melanggar suatu UU.
Sebagai
contoh, meski masih populer untuk diomongkan dalam pidato atau debat capres
untuk menyediakan layanan kesehatan gratis, ide seperti itu akan sulit
dijalankan karena tidak ada satu pun UU yang mengarah pada model layanan
kesehatan gratis. Di sisi lain, banyak
kelompok rakyat menuntut layanan kesehatan gratis atau perubahan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Suka atau tidak suka, dalam lima bulan ini begitu
banyak keluhan disampaikan oleh PNS dan pensiunan PNS bahwa layanan JKN lebih
buruk daripada layanan Askes di masa lalu. Sebagian penduduk yang selama ini
sakit kronis dan tidak mampu bayar, menikmati JKN. Di banyak RS pemerintah,
antrean pasien peserta JKN begitu banyak, mulai dari dini hari.
Dengan
kondisi seperti itu, adakah peluang capres menjanjikan program unggulan atau
terobosan? Setiap peraturan perundangan selalu saja memberikan peluang
inovasi dalam meningkatkan kinerja sebuah UU. Banyak hal yang diatur dalam UU
tersebut masih belum dijalankan. Presiden baru dan timnya harus mencari aspek
mana yang mempunyai daya ungkit perolehan suara, tetapi tidak bertentangan
dengan UU yang ada.
Apakah
tidak mungkin presiden yang baru mengubah UU yang ada? Mungkinkah presiden
mengajukan konsep baru dalam sistem kesehatan? Mungkin saja, tetapi proses
perubahan itu perlu waktu lama dan tidak menjamin konsep baru akan diterima.
Tidak
ada jaminan konsep baru lebih baik dan bisa diterima semua anggota DPR.
Diperlukan 1-3 tahun untuk perubahan suatu UU dan diperlukan 1-3 tahun lagi
untuk implementasi UU baru jika disetujui. Jadi, sulitlah buat presiden baru
untuk mengubah tatanan sistem kesehatan sebagai program 100 hari.
Kurang dosis
Seberapa
baik sistem kesehatan Indonesia kini? Tidak sulit menilainya dari kacamata
awam. Dalam UKP, yang umumnya dipahami sebagai layanan dokter di klinik atau
RS, jelas sekali kualitas layanan medis masih jauh dari harapan. Keluhan
layanan medis menghiasi berbagai berita dan surat pembaca surat kabar
nasional dan lokal.
Rakyat
juga dengan mudah dapat mengukur bagus tidaknya kualitas layanan kesehatan
dengan maraknya pejabat dan petinggi, bahkan para dokter, yang berobat ke
luar negeri. Berita kematian pejabat di RS Singapura merupakan fakta pejabat
tersebut tidak percaya terhadap kualitas layanan RS di Indonesia. Betulkah
layanan kesehatan di RS di luar negeri lebih baik? Biayanya?
Kualitas
layanan yang baik memang membutuhkan biaya yang lebih besar. Namun, biaya
yang lebih besar tidak menjamin kualitas layanan lebih baik. Banyak berita
kita peroleh bahwa berobat di negeri jiran lebih baik dan biayanya lebih
murah. Itu adalah ukuran layanan perorangan, bukan ukuran sistem kesehatan.
Kualitas layanan yang lebih baik di RS di negeri jiran, suka atau tidak suka,
berhubungan dengan lebih besarnya belanja kesehatan di negeri itu, baik untuk
UKP maupun UKM. Belanja kesehatan sangat dipengaruhi oleh kemauan politik
pemerintah. Di sinilah presiden bisa menawarkan perbaikan layanan UKM dan UKP
di Indonesia.
Dalam
UKP, seorang pasien yang sakit akan sembuh jika dia mengonsumsi obat dalam
dosis cukup. Dalam sebuah sistem kesehatan, dosis obat sistem adalah belanja
kesehatan suatu negara.
Data
Bank Dunia menunjukkan, belanja kesehatan per kapita Indonesia pada 2012
hanya 108 dollar AS. Malaysia menghabiskan 410 dollar AS. Singapura
menghabiskan 2.426 dollar AS dan Thailand 215 dollar AS.
Tahun
2011, belanja publik Pemerintah Indonesia untuk kesehatan hanya 0,93 persen
produk domestik bruto (PDB), terendah di negara menengah. Pemerintah Tiongkok
menghabiskan 2,89 persen PDB untuk kesehatan. India yang lebih miskin
daripada Indonesia menghabiskan 1,2 persen PDB untuk kesehatan di tahun yang
sama. Pemerintah Malaysia menghabiskan 1,64 persen dan Pemerintah Thailand
menghabiskan 3,06 persen untuk kesehatan.
Kenaikan
belanja publik Indonesia 50 persen saja dalam lima tahun ke depan masih belum
akan mampu mendongkrak mutu layanan kesehatan yang baik. Secara garis besar,
masalah utama kesehatan adalah akses, distribusi, dan kualitas layanan yang
rendah karena semua terkait rendahnya pendanaan.
Apakah
capres kita berani menaikkan belanja publik dua kali lipat? Kita tunggu dalam
debat capres mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar