Jumat, 20 Juni 2014

Pemilu Bukan Tes Kepribadian

Pemilu Bukan Tes Kepribadian

Geger Riyanto  ;   Esais
TEMPO.CO,  20 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Homo non intelligendo fit omnia. Manusia, dalam ketidaktahuannya akan hidup, menjalani kehidupan. Pernyataan ini-dari filsuf Gianbattista Vico, bila Anda ingin mengetahuinya-tak punya momen yang lebih tepat lagi ketimbang saat ini. Lima tahun berikutnya atau bisa jadi seterusnya, siapa yang tahu, Anda akan diperintah oleh sosok yang Anda pilih sendiri dan, lucunya, tak pernah Anda kenal kecuali dari citra-citra menyeharinya.

Anda akan memilih nomor satu untuk alasan tegas. Tegas untuk? Untuk membagi-bagikan kursi pemerintahan dengan banyak partai yang, dalam pengalaman 10 tahun terakhir, menggembosi kebijakan yang merupakan jatah publik untuk kepentingan masing-masing? Anda akan memilih nomor dua untuk alasan merakyat. Merakyat untuk? Untuk memenangkan partai yang mengecer murah BUMN dan tak ada jaminan tak akan melakukan hal serupa ke depan bila leluasa memegang pemerintahan?

Tetapi apa boleh buat. Bukan hal-hal teknis dan membosankan barusan yang paling penting, bukan? Yang terpenting, sang calon yang akan menerima mandat kita punya keunggulan pribadi yang akan memuluskan kebijakan-kebijakan pro-rakyatnya. Wataknya, yang kita tangkap dari mesin pencitraan sang calon ataupun lawannya, adalah yang terpenting! Kerumitan-kerumitan urusan para intelektual akan beres dengan sendirinya sepanjang kita memperoleh pemimpin yang lulus tes kepribadian kita. Serahkan semua kepada sang pemimpin yang, kita yakin, lantaran karakter eksepsionalnya, komitmennya untuk rakyat tak akan terpatahkan.

Hanya, ada baiknya kita mengingat baik-baik apa yang terjadi lima belas dan sepuluh tahun silam. Siapa yang, pada waktu-waktu tersebut, akan meragukan komitmen kepemimpinan Megawati kepada rakyat? Siapa yang bisa menyangsikan kemampuan SBY-yang tampil begitu meyakinkan, cerdas, dan gagah-untuk menggodok kebijakan-kebijakan yang akan membongkar kemandekan Indonesia pasca-reformasi? Siapa yang kuasa menahan godaan untuk tak terpesona oleh tokoh-tokoh ini pada waktu-waktu itu?

Sayangnya, pribadi kuat, kalaupun sosok-sosok ini benar-benar memilikinya, tak benar-benar punya arti selepas pemilihan.

Mendistribusikan kekuasaan atau, dalam ungkapan populer dan kelirunya, menjadi boneka, adalah hal yang sebenarnya sama sekali wajar. Yang tidak wajar, kini, adalah ekspektasi muluk-muluk bahwa seluruh persoalan akan beres bertumpu pada ketangguhan pribadi satu pucuk kepala (yang terjebak di antara) birokrasi yang ruwet. Hal yang, sialnya, merupakan konsekuensi dari demokrasi atau sistem di mana semua bisa memilih pejabat kepala idolanya. Dan maksud dengan semua bisa memilih: termasuk-sebagian besar di antaranya-mereka yang tak punya waktu dan akses untuk menelaah sang idola selain dari impresi sekilasnya.

Barangkali ini pun sebuah masukan yang sia-sia. Tetapi, saya kira, kita dapat selalu mengambil faedah dari satu ungkapan yang sudah menjadi pelajaran di mana-mana. Ini bukan soal siapa yang bisa mengemban harapan naif kita. Ini soal siapa kandidat-dan rombongan kepentingan yang menumpangi gerbongnya tentu!-yang paling kurang keburukannya di antara dua pilihan buruk. Pada saat kita menjadi realistis, setidaknya kita tak perlu terlalu kecewa nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar