Militer
dan Demokrasi Kita
M
Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional Jakarta
|
KOMPAS,
14 Juni 2014
BELUM
lama ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan peringatan keras kepada
jajaran petinggi TNI-Polri terkait dengan keharusan netralitas mereka dalam
Pemilihan Umum Presiden 2014. Presiden, antara lain, mengatakan, jika perwira
tinggi TNI-Polri memang berniat mendukung salah satu calon, menjadi tim
sukses calon, ataupun ingin berpolitik, mereka harus mundur dari keanggotaan
TNI-Polri (Kompas, 3/6/2014).
Meski
bernada normatif, di tengah hiruk-pikuk proses Pilpres 2014, pernyataan
Presiden bernuansa spekulatif. Mengapa Presiden melontarkan secara
terbuka
peringatan keras netralitas TNI-Polri? Sekadar karena Presiden sensitif di
akhir masa kekuasaannya ataukah memang ada sesuatu yang lebih serius?
Apa yang
dilontarkan Presiden sesungguhnya menegaskan bahwa isu militer dan politik di
Indonesia belum sepenuhnya tuntas. Reformasi telah berjalan di rel yang benar
dengan menempatkan militer sebagai entitas yang berjarak dengan politik.
Proses
ke arah pemisahan militer dari politik praktis yang direncanakan secara
bertahap oleh para elite politik dan militer telah mengalami percepatan. Jika
sekadar dikaitkan dengan ditariknya posisi eksklusifnya dari politik melalui
pencabutan Dwi Fungsi, reformasi militer telah mengalami kemajuan yang
signifikan.
Jeda adaptasi
Secara
formal, TNI-Polri lembaga netral secara politik. Namun, sistem politik kita
sangat memberikan kelonggaran bagi anggota TNI-Polri untuk
berpolitik.
Mereka bisa mengundurkan diri dari institusi dan langsung dapat terjun ke
politik tanpa jeda adaptasi. Karena itu, seorang jenderal aktif yang hendak
pensiun lazim didekati partai politik.
Dalam
beberapa kasus, begitu pensiun langsung berpolitik. Niat berpolitik, karena
itu, bisa muncul dan subur ketika seorang
jenderal
aktif di TNI-Polri. Inilah yang bisa memicu mereka bermanuver politik sekaligus,
meski sering terlewatkan, jadi masalah krusial dalam isu hubungan
sipil-militer dewasa ini.
Karena
itu, perlu dipikirkan soal jeda adaptasi. Kerangka pikirnya, organisasi
militer punya kultur berbeda dengan sipil. Untuk masuk dunia perpolitikan sipil,
pensiunan militer perlu waktu yang disepakati bersama, apakah tiga atau lima
tahun, dalam kerangka adaptasi. Selain secara psikologis menjawab
permasalahan, jeda adaptasi juga berfungsi mencegah politisasi anggota
militer sekaligus dalam kerangka kualifikasi demokrasi.
Permasalahan
ini berbeda dengan yang dijumpai di banyak negara lain. Kasus yang terjadi di
Mesir ataupun Thailand, misalnya, berbeda dengan Indonesia. Di kedua negara
ini, masalahnya tidak terkait dengan isu anggota militer aktif maupun pensiunan
mendukung atau menjadi anggota partai politik, tetapi murni kudeta politik.
Pemicunya klasik, eksperimentasi politik sipil gagal kemudian militer masuk.
Di Indonesia, eksperimen politik sipil masih berjalan dengan riuh rendah,
tetapi tidak gagal. Militer netral, tetapi pensiunan anggotanya gegap gempita
dalam gelimang politik.
Jadi,
apa yang kita hadapi dalam mengelola demokrasi memang berbeda dengan Mesir
dan Thailand. Sistem multipartai kita membutuhkan banyak sumber daya politik.
Politisi berlatar belakang militer sudah lazim adanya. Posisi mereka
sesungguhnya tidak istimewa, sama saja dengan politisi sipil.
Dalam
politik, kompetensilah yang menjadi ukuran. Namun, dalam analisis-analisis
politik, masih terkesan bahwa mereka istimewa dan biasanya dipilahkan secara
diametral secara kategoris militer dan
sipil.
Meski
tak mudah dan menuai resistensi, militer memang dapat mengambil alih
kekuasaan jika kondisi perpolitikan nasional kacau. Merujuk pengalaman pemilu
di Indonesia era Reformasi, termasuk penyelenggaraan dua kali pilpres
langsung, kita optimistis Pilpres 2014 dapat berjalan dengan baik.
Memang
banyak yang khawatir adanya dua pasang kandidat membuat gesekan politik di
level akar rumput bisa menguat. Merebaknya kampanye hitam bisa saja memicu
kekisruhan politik. Semua itu perlu diantisipasi oleh aparat keamanan atau
kepolisian yang bisa melibatkan TNI.
Stabilitas
politik dan keamanan yang diharapkan tetap terjaga sehingga dalam konteks ini
militer tidak punya alasan ambil alih keadaan. Permasalahan militer dan
politik di Indonesia bukan ambil alih kekuasaan, melainkan hal-hal lain yang
perlu disepakati bersama sehingga militer dan sipil memperkuat demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar