Membenahi
Jakarta dari Istana Negara
Firdaus
Cahyadi ; Pendiri
Kaukus Lingkungan Hidup Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Juni 2014
MACET dan banjir. Dua kata itu
yang menjadi persoalan Jakarta dari dulu hingga kini, siapa pun gubernurnya.
Hasilnya selalu sama, yaitu mereka gagal memecahkan dua persoalan
turun-temurun itu. Mengapa bisa demikian? Padahal jika dikaji secara lebih
jeli dan mendalam, banjir dan kemacetan Jakarta ini ialah buah dari kesalahan
paradigma pembangunan yang menempatkan Jakarta sebagai pusat pembangunan.
Lebih dari 50% perputaran uang ada di kota ini.
Paradigma pembangunan itu
mengharuskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, siapa pun gubernurnya, untuk
selalu memfasilitasi pertumbuhan kawasan komersial di kota ini. Padahal daya
dukung Kota Jakarta ada batasnya. Dipakainya paradigma pembangunan yang
menempatkan Kota Jakarta sebagai pusat pembangunan itulah kemudian yang
memicu alih fungsi secara besar-besaran ruang terbuka hijau dan daerah
resapan air menjadi mal dan kawasan komersial lainnya.
Bahkan keterbatasan ruang di
Jakarta untuk menampung pertumbuhan kawasan komersial kemudian disiasati
dengan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Padahal, reklamasi pantai untuk
memfasilitasi pertumbuhan kawasan komersial akan memperburuk daya dukung
ekologi Jakarta secara keseluruhan bukan hanya di sekitar kawasan reklamasi.
Alih fungsi lahan yang besar-besaran
ini, menurut Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD) Jakarta pada 2007,
pada akhirnya membuat setiap kali hujan turun di Jakarta hanya sekitar 26%
yang bisa terserap di dalam tanah Jakarta. Sebanyak 70%-an air hujan lainnya
menjadi air larian (run-off) yang
masuk ke sistem drainase kota untuk kemudian dialirkan ke sungai dan laut.
Celakanya, drainase di Jakarta juga dalam kondisi buruk sehingga air larian
itu tidak dapat tertampung. Namun, andaikan drainase kota dalam kondisi baik
pun, belum tentu bisa menampung 70%-an air hujan yang tidak terserap di dalam
tanah tersebut.
Hilangnya resapan
Seiring dengan pertumbuhan Kota
Jakarta, bertumbuh pula permintaan perumahan di kawasan sekitarnya, termasuk
Bogor. Daerah-daerah resapan air, baik itu ruang terbuka hijau ataupun situ,
di Bogor pun beralih fungsi menjadi kawasan perumahan. Seiring dengan
meningkatnya permintaan perumahan di Bogor itu meningkat pula permintaan akan
kawasan komersial lain di sekitar perumahan.
Akibatnya, semakin luas pula
daerah resapan air yang dialihfungsikan. Hilangnya daerah resapan air di
kawasan Bogor akibat maraknya pembangunan perumahan dan kawasan komersial itu
membuat Jakarta menjadi semakin rentan terhadap banjir. Kerentanan Jakarta
juga diperparah dengan makin masifnya alih fungsi daerah resapan air di
kawasan Puncak, Bogor, menjadi vila-vila dan kawasan wisata. Meningkatnya
alih fungsi daerah resapan air di kawasan Puncak juga sebenarnya juga tidak
bisa dipisahkan dari paradigma yang menjadikan Jakarta sebagai pusat
pembangunan di Indonesia.
Kepenatan orang-orang yang
bekerja di Jakarta mengharuskan mereka berekreasi. Kawa san Puncak ialah
salah satu kawasan terdekat dari Jakarta yang dapat digunakan untuk melepas
penat. Di satu sisi, pemusat pembangunan di Kota Jakarta memang mampu
menumbuhkan ekonomi di kawasan Puncak. Namun, seiring dengan perjalanan
waktu, semakin tak terkendali pula alih fungsi lahan di kawasan Puncak.
Paradigma pembangunan itu yang
juga menyebabkan kemacetan lalu lintas sulit terurai di Jakarta. Pemusatan
pembangunan di Jakarta mendorong jutaan orang dari daerah sekitar Jakarta,
seperti Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) masuk ke pusat kota.
Jumlah penduduk dari Bodetabek semakin meningkat dari tahun ke tahun. Karena
buruknya fasilitas transportasi massal, mereka pun menggunakan kendaraan
bermotor pribadi, mobil dan motor, untuk menuju Jakarta. Dari sinilah
kemacetan lalu lintas bermula.
Perbaikan sarana dan prasarana
transportasi massal memang sebuah keharusan. Namun, itu tidak akan berarti
banyak jika jumlah pengguna kendaraan menuju Jakarta terus meningkat. Seiring
dengan meningkatnya jumlah mereka, transportasi massal yang sudah baik pun
akan menjadi tidak nyaman karena harus berdesak-desakan di dalamnya. Contoh
nyata dari kondisi itu ialah tidak semakin nyamannya kondisi gerbong KRL
(kereta rel listrik) Jabodetabek, meskipun jumlah kereta dan fasilitas bagi
penumpang terus ditambah. Akibatnya, cepat atau lambat mereka akan kembali
menggunakan kendaraan bermotor pribadi menuju Jakarta.
Solusinya ialah mengubah
paradigma pembangunan. Pemerintah pusat memegang peranan terbesar dalam
mengubah paradigma pembangunan ini. Namun, alih-alih mengubah paradigma
pembangunan, pemerintah pusat justru sering kali mengeluarkan kebijakan yang
semakin memperparah kondisi di Jakarta. Salah satu contohnya ialah kebijakan
insentif pajak untuk mobil murah. Akibatnya, makin banyaklah jumlah kendaraan
di jalan raya Jakarta. Itu, selain memperparah kemacetan lalu lintas,
memperburuk kualitas udara di Jakarta.
Peran presiden
Dalam konteks inilah perlu
terobosan baru untuk memperbaiki Kota Jakarta. Salah satunya ialah
memperbaiki Kota Jakarta dari Istana Ne gara. Artinya, presiden Indonesia
yang memiliki peran besar dalam memperbaiki Jakarta, bukan hanya Gubernur DKI
Jakarta. Terkait dengan itulah, mungkin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo
(Jokowi) dengan sadar ikut mencalonkan diri menjadi calon presiden (capres)
2014.
Warga Jakarta tentu merasa
kehilangan. Bahkan sebagian besar tentu tidak rela melepas Jokowi menuju
Istana Negara. Namun, bila melihat persoalan Kota Jakarta secara lebih jeli,
warga Jakarta justru akan dengan ikhlas merelakan Jokowi menjadi presiden
Indonesia. Jika berhasil duduk di kursi kepresidenan itulah, Jokowi dapat
mengambil peran yang besar dalam membenahi Jakarta, dengan cara segera
mengubah paradigma pembangunan yang terpusat di Jakarta.
Jika terpilih menjadi presiden,
Jokowi harus segera membagi kue pembangunan ke luar Jakarta dan menghentikan
untuk mengeluarkan kebijakan yang makin memperparah kondisi di Jakarta
seperti kebijakan mobil murah oleh pemerintah pusat sebelumnya. Mau dan
beranikah Jokowi membenahi Jakarta dari dalam Istana Negara? Kita tunggu
saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar