Selasa, 01 Oktober 2013

Program BLSM, Tepat Sasaran

Program BLSM, Tepat Sasaran
Mesker Md  ;  Pemerhati Masalah Sosial
SUARA KARYA, 30 September 2013


Pembahasan mengenai Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) membangkitkan alam bawa sadar yang memutar kembali memori semasa kecil lebih dari 50 tahun lalu. Ketika itu, kehidupan sebagian besar masyarakat di sebuah desa 'terpencil' yang terletak di belahan timur Kabupaten Kupang, NTT hidup dalam belaian 'kemiskinan'.

Makanan sehari-hari adalah pisang, ubi kayu atau jagung. Nasi hanya bisa dinikmati di waktu panen sampai beberapa bulan kemudian, itu pun sangat terbatas. Selain areal sawah masih sempit, seratus persen bergantung alam alias sawah tadah hujan. Itu pun hasil panennya, kurang dari 500 kilogram padi kering panen setiap hektarnya. Dan, hanya satu kali panen dalam satu tahun.

Tapi, bagi masyarakat di era sebelum tahun 1970-an, hal itu sudah dianggap biasa. Mungkin karena teknologi informasi belum secanggih sekarang. Radio kecil (satu band) sudah menjadi barang mewah, apalagi pesawat televisi. Bahkan, sepeda kayuh pun tergolong barang mewah.

Bersekolah dengan sepasang baju dan celana sampai benar-benar sobek baru diganti dan tanpa alas kaki, merupakan hal biasa. Ayah (bapak) melukiskan kondisi itu sebagai perjuangan yang belum selesai walau Indonesia sudah merdeka. Terngiang pesan Ayah, "Suatu saat nanti, hidup akan lebih baik dan kalianlah yang akan menikmatinya."

Memori masa kecil itu terbang seketika saat seorang pengamat di salah satu RRI di daratan Papua dengan suara lantang mengatakan, kebijakan memberikan kompensasi penaikan harga BBM kepada masyarakat miskin berupa BLSM merupakan 'bencana kebijakan'. Bahkan, pada hari-hari berikutnya, ada yang memberikan julukan BLSM sebagai "Bantuan Langsung Selalu Masalah". Ada juga ejekan, seperti "Bantuan Langsung Selama Miskin".

Secara umum, para pengamat dan para partisipan acara Aspirasi Merah Putih, RRI yang menamakan diri "Parlemen Udara" bisa menerima kebijakan pemberian BLSM kepada masyarakat miskin. Karena, walau hanya empat bulan, BLSM tersebut paling tidak bisa meredam kegaualan masyarakat akibat penaikan harga BBM yang diikuti kenaikan harga bahan pangan yang sampai saat ini masih berlangsung.

Masalahnya, tercatat dua masalah penting yang perlu dicermati. Pertama, data Rumah Tangga Sasaran (RTS) atau Rumah Tangga Miskin (RTM) dinilai sebagai data yang asal-asalan, kalau tidak mau dikategorikan sebagai amburadul. Kedua, bagaimana nasib RTS atau RTM yang tidak menerima BLSM. Dibiarkan begitu saja?

Pembayaran BLSM salah sasaran pun selalu muncul. Di Kabupaten Kepulauan Yapen di Papua Barat, misalnya, tercatat lebih dari 12.000 RTS atau RTM. Tapi, yang menerima BLSM hanya 9.295 RTS, sisanya sekitar 3.000 RTS tidak menerima. Banyak RTS/RTM yang tidak menerima BLSM tersebut, terjadi hampir di semua daerah.

Hampir di semua kabupaten/kota dipastikan ada RTS atau RTM yang tidak menerima BLSM. Akibatnya, masyarakat yang tidak menerima pun protes sehingga tidak sedikit aparat desa/kelurahan yang 'ngumpat' (sembunyi) agar tida 'digebuki' ibu-ibu atau masyarakat yang protes. Untuk meredam protes tersebut, ada aparat desa/kelurahan yang nekad melakukan pungutan yang kemudian dibagikan kepada RTS/RTM yang tidak menerima BLSM. Tindakan ini jelas pelanggaran, tapi hanya itu yang bisa dilakukan.

Di sisi lain, untuk meredam protes tersebut, Kementerian Dalam Negeri melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri No 541/3130/JS/2013 memberikan kewenangan kepada bupati/walikota sampai ke tingkat kepala desa/kepala kelurahan, bahkan sampai tingkat RT/RW, membentuk Posko Pengaduan untuk kemudian dilakukan musyawarah dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat.

Hanya saja, musyawarah tersebut sebatas membahas bagaimana 'menarik kembali' atau 'membatalkan' RTS/RTM yang 'tidak pantas' menerima tapi menerima BLSM untuk kemudian dialihkan kepada RTS/RTM yang seharusnya menerima BLSM. RTS atau RTM mana yang menerima 'pelimpahan' BLSM itulah yang dibahas dan diputuskan dalam musyawarah desa/kelurahan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat tadi.

Itulah tugas pokok Posko Pengaduan dan Musyawarah Desa/Kelurahan yang diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No 541 tersebut. Bahkan, dalam instruksi itu ditegaskan bahwa Pemda Kabupaten/Kota sampai tingkat paling bawah tidak memiliki kewenangan untuk mencetak Kartu Jaminan Sosial (KJS) baru yang merupakan "Kartu Pengenal" penerima BLSM yang disalurkan melalui PT Pos Indonesia.

Hal inilah yang mendorong seorang pengamat di daratan Papua mengklaim BLSM sebagai 'bencana kebijakan'. Alasannya, Instruksi Mendagri melarang pengadaan KJS baru oleh daerah. Berarti dana BLSM yang disediakan hanya sebatas RTS/RTM pemegang KJS (Kartu Jaminan Sosial). Sebagaimana diketahui, pemerintah memutuskan untuk memberikan BLSM kepada 15,5 juta RTS/RTM dengan dana Rp 9,3 triliun, yakni Rp 150.000/RTS/RTM setiap bulan selama 4 bulan. Atau, Rp 600.000/RTS/RTM.
Pertanyaannya, bagaimana nasib RTS/RTM yang tidak menerima BLSM. Adakah harapan mereka diakomodasi pemerintah dalam pembayaran BLSM periode berikutnya?

Dikhawatiran, bila RTS/RTM yang tidak menerima BLSM berdasarkan KJS ter-sebut tidak mendapat perhatian pemerintah alias dibiarkan begitu saja, kemungkinan akan memicu 'konflik sosial tertutup' merupakan suatu keniscayaan. Indikasinya mulai muncul dengan ejekan pemerintah 'pilih kasih' dalam membantu masyarakat miskin melalui BLSM. Bahkan, muncul pula perasaan sebagai 'warga yang dipinggirkan' atau 'bukan lagi warga negara' akibat tidak mendapat BLSM.

Kecemburuan sosial tertutup tersebut tak berbeda dengan 'api dalam sekam' atau 'bom waktu' yang akan menebar bahaya suatu saat. Karena itu, pemerintah seyogianya memperhatikan tata cara pendataan yang tepat dengan melibatkan aparat terbawah yang tahu persis kondisi kehidupan masyarakatnya sehari-hari. 

Semoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar