Selasa, 02 Juli 2013

Tak Lelah Memberantas Korupsi

Tak Lelah Memberantas Korupsi
Khaerudin ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, akhir Januari lalu, publik pun terkejut. Selama ini politisi PKS hampir sepi dari pemberitaan korupsi. Namun, sekali terjerat korupsi, langsung presidennya, pucuk pimpinan partai.

Selama ini PKS dikenal sebagai partai Islam dengan jargon bersih dan peduli. Di daerah, jika ada anggota DPRD menjadi tersangka korupsi, biasanya hanya anggota Fraksi PKS yang tak terjerat. Demikian pula di DPR. Selama ini meski ada politisinya yang bolak-balik bersaksi di pengadilan tindak pidana korupsi, tak satu pun dari mereka yang menjadi tersangka. Karena itu, publik punlangsung mencibir dengan tekanan pada kemunafikan politisi, apa pun latar belakang partainya, begitu Luthfi ditangkap.

Luthfi bukan hanya orang nomor satu di PKS, melainkan juga anggota DPR. DPR adalah lembaga terhormat yang antara lain menjalankan fungsi-fungsi pengawasan dan pembuat undang-undang di negeri ini. Penangkapannya makin memupus harapan masa depan Indonesia yang bersih dari korupsi.

Penangkapan politisi oleh KPK seakan cerita yang tak pernah berujung. Bahkan, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, sempat berujar, penangkapan Luthfi seperti arisan nasib buruk bagi partai politik. Kemarin Partai Demokrat, sekarang PKS, besok entah politisi dari partai mana.

Lalu bagaimana memprediksi ujung cerita kelam tentang korupsi ini? Ada ungkapan Perancis l'histoire se répète alias sejarah selalu berulang. Majalah  Historia edisi kedua tahun 2012 mencatat pengalaman Mochtar Lubis yang menuturkan pengalamannya saat menulis buku tentang Indonesia sebelum dan selama revolusi. Mochtar mengenang pertemuannya dengan pemimpin-pemimpin republik yang kala itu penuh kesederhanaan. Mochtar mengatakan dengan tegas keyakinannya bahwa tak mungkin pemimpin Indonesia bisa jadi korup. Kala itu Mochtar ditantang seorang wartawan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa para pemimpin revolusi Indonesia itu bakal korup ketika sudah berkuasa. Mochtar akhirnya mencabut ucapannya sendiri seperti tertulis dalam buku Catatan Subversif saat dia ikut menjadi korban dalam upayanya melawan korupsi.

Jika sekarang KPK menetapkan anggota kabinet aktif sebagai tersangka korupsi seperti saat menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng dalam kasus Hambalang, di masa lalu pun kejadian serupa pernah terjadi. Jaksa Agung Soeprapto pernah menangkap Mr Djody Gondokusumo, Menteri Kehakiman Kabinet Ali Sastroamidjojo I, karena diduga menerima suap dari perpanjangan visa seorang warga negara Hongkong pada Agustus 1955.

Bulan Maret 1957, Kepala Staf TNI Angkatan Darat yang juga Penguasa Perang Darurat Pusat Abdul Haris Nasution menahan sejumlah politisi, anggota konstituante, anggota parlemen, komisaris polisi, jaksa, dan pengusaha. Pada masa itu Penguasa Perang Darurat, seperti ditulis oleh majalah Historia, juga memberlakukan apa yang sekarang disebut pembuktian terbalik. Mereka yang ditahan karena korupsi di masa itu diperintahkan membuat daftar harta kekayaan yang mereka miliki.

Dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, dalam ”Akar Historis Korupsi di Indonesia” (Korupsi Mengorupsi Indonesia, 2009) menulis, ketika ditunjuk menjadi penasihat dalam upaya pemberantasan korupsi di masa awal pemerintahan Soeharto, mantan Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta menyatakan bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Menurut Sri Margana, istilah membudaya memberi pemahaman bahwa perilaku korupsi telah masuk dalam struktur kesadaran masyarakat sebagai proses wajar dan tak terbantahkan. Penganut teori determinasi kultural percaya bahwa praktik korupsi yang meluas di Indonesia terjadi karena didukung oleh kebudayaan dari etnis tertentu dalam hal ini Jawa sebagai suku bangsa mayoritas. Meski pendapat ini punya landasan antropologi, tentunya masih harus diuji. Sebab, faktanya koruptor bukan berasal dari satu etnis saja.

Jika melacak sejarah, Sri menyebut feodalisme dan kolonialisme yang melahirkan birokrasi patrimonial disebut sebagai salah satu akarnya. Interaksi penguasa kolonial dan penguasa lokal penerus tradisi patrimonialisme pada masa VOC hingga Hindia Belanda menggambarkan betapa yang sekarang disebut korupsi masih dianggap kelaziman dan bukan pelanggaran hukum. Saat itu sistem yang ada tak jelas menyebut pemasukan pribadi dengan pendapatan negara. Sistem itu sebenarnya tak hanya dikenal di Jawa, tetapi juga umum di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara.

Bagaimana korupsi menjelma di masa kini? Verena Blechinger dalam Fighting Corruption in Developing Countries (2005) menulis, baik di negara industri yang demokratis maupun di negara berkembang, partai politik selalu dilihat sebagai pusat masalah dari korupsi. Wacana tentang korupsi dan strategi pemberantasannya telah mengidentifikasi partai politik sebagai aktor utama yang sering menyalahgunakan kekuasaannya dalam sistem politik untuk memeras, menerima suap, dan menempatkan para politisinya pada jabatan menguntungkan di sektor publik.

Kasus Luthfi memberi gambaran tesis Blechinger. Posisi Luthfi sebagai Presiden PKS saat itu dianggap bisa memperdagangkan pengaruh dalam pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Hal itu terkait dengan posisi Menteri Pertanian Suswono yang merupakan kader PKS.

Lalu mengapa korupsi masih juga sulit diberantas meski Indonesia menganut sistem demokrasi modern yang memastikan semuanya berjalan dengan prinsip akuntabilitas dan transparan? Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, menyebut satu faktor utama, yakni lembaga penegak hukum yang ada tak bebas dari virus korupsi. ”Kalau diingat, salah satu alasan dibentuknya KPK adalah lembaga penegak hukum yang ada tidak bersih dari korupsi, termasuk pengadilan, sehingga dibentuk juga pengadilan tindak pidana korupsi,” katanya.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, tak ada yang berubah dari akar korupsi di Indonesia, penumpukan kekuasaan di satu institusi kekuasaan. Jika di masa Orde Baru kekuasaan bertumpuk pada eksekutif, saat ini kekuasaan cenderung bertumpuk di legislatif. Tak ayal jika tak menjadi pelakunya, politikus menjadi ancaman terbesar pemberantasan korupsi.

Partai politik yang seharusnya berperan membuat ketentuan hukum lewat politikusnya di DPR justru menjadi masalah. Seperti di masa lalu, politisi justru memburu rente dari posisinya sebagai legislator. Pada saat yang sama lembaga pemberantas korupsi seperti KPK terus-menerus dilemahkan oleh politisi.

KPK kerap menghadapi ancaman, mulai dari pemangkasan wewenang istimewanya seperti penyadapan hingga pembubaran lembaga ini lewat salah kaprah status ad hoc. Ini mirip dengan apa yang terjadi di masa lalu. Lembaga seperti Panitia Retooling Aparatur Negara, Operasi Budhi, Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara di era Soekarno, atau Tim Pemberantasan Korupsi serta Operasi Tertib di masa Soeharto pada akhirnya tak mampu menjadikan republik ini bersih dari korupsi.

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, sangat ironis ketika KPK gencar memberantas korupsi, ada wakil rakyat yang berusaha mempereteli kewenangannya. KPK sebagai lembaga yang punya kewenangan khusus masih sangat dibutuhkan saat korupsi di Indonesia sangat sistemis dan sulit diberantas.

”Undang-undang itu merupakan penormaan moral. Korupsi merupakan tindakan kumuh amoral yang semakin memiskinkan rakyat dan meruntuhkan marwah negara di dunia internasional dan di hadapan rakyat. KPK sedang melakukan pencegahan dan pemberantasan sistemis bersama masyarakat sipil. Karena itu, aneh jika ada

Sebenarnya, lanjut Bambang, saat ini ada yang bisa dilakukan untuk memotong mata rantai korupsi, baik yang bersumber dari eksekutif maupun legislatif. Calon presiden yang akan bertarung di Pemilu 2014 bisa menjadi contoh untuk memberantas korupsi. Salah satunya dengan berani mendeklarasikan hasil kekayaan dan bagaimana cara memperolehnya. ”Setelah itu calon presiden ini bisa berjanji jika ditemukan harta kekayaan yang tak dilaporkannya, negara boleh merampas. Pasti apa yang dilakukan presiden ini akan diikuti semua bawahannya,” katanya.

Kita masih menyimpan harapan pada KPK yang lahir di era reformasi. Dengan kewenangan ekstra, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di satu atap, hingga tak adanya ketentuan penghentian penyidikan, membuat KPK dapat diandalkan. Rakyat pun selalu memberi dukungan saat KPK terus menangkap politisi dan pejabat korup. Tak boleh lelah memberantas korupsi. Rakyat pun tidak boleh lupa bahwa sejarah korupsi terus berulang di negeri ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar