|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Lebih baik terlambat daripada tidak
sama sekali. Ungkapan berbau kritik bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, yang sebenarnya sangat terlambat dalam menaikkan harga bahan bakar
minyak. Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi yang dilakukan 21 Juni lalu
itu seharusnya sudah dilakukan beberapa bulan lebih awal sebelum kondisi makro-ekonomi
negeri telanjur kritis.
Pemerintah sebenarnya dalam
beberapa kesempatan sudah diingatkan untuk segera mengambil langkah
menyelamatkan dan menyehatkan ekonomi. Peringatan paling keras bahwa pemerintah
tak becus dalam menjaga kondisi makro-ekonomi datang dari lembaga pemeringkat
Standard & Poor’s, yang merevisi proyeksi ekonomi Indonesia dari positif
menjadi stabil.
Dalam pernyataannya pada awal Mei
lalu itu, S&P dari kantornya di Singapura menegaskan, revisi ini berkaitan
dengan kebijakan subsidi pemerintah, termasuk subsidi bahan bakar minyak.
Beruntung peringkat utang Indonesia BB+ masih dipertahankan.
Pemerintah Indonesia dikatakan
telah menyia-nyiakan momentum reformasi ekonomi. Potensi memperbaiki peringkat
utang Indonesia untuk 12 bulan ke depan lewat begitu saja. Proyeksi produk
domestik bruto (PDB) per kapita mencapai 3.800 dollar AS (sekitar Rp 37 juta)
tahun 2013 dinilai relatif rendah jika dikaitkan dengan kategori peringkat
utang saat ini.
Peringkat utang Indonesia dapat
dinaikkan apabila pemerintah menyelesaikan reformasi, seperti merasionalisasi
nilai subsidi, termasuk subsidi BBM yang sekitar Rp 300 triliun, mengurangi
ancaman fiskal dan eksternal secara berkelanjutan, perbaikan neraca,
pengurangan beban utang luar negeri, serta melakukan reformasi struktural
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sejauh ini yang terjadi, pemerintah
sepertinya tersihir pada hasil riset McKinsey Global Institute yang mengatakan
saat ini perekonomian Indonesia merupakan nomor 16 terbesar di dunia. Juga ada
45 juta warga kelas konsumsi di Indonesia yang diyakini menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkisar 6,5 persen. Hasil riset yang sering
diulang-ulang para menteri kabinet dalam berbagai kesempatan ini juga
menyebutkan, 53 persen penduduk di perkotaan menyumbang 74 persen PDB.
Riset McKinsey sebenarnya
membanggakan, tetapi juga sarat pesan. Misalnya disebutkan bahwa ekonomi
Indonesia akan menjadi nomor tujuh dunia tahun 2030. Juga bakal ada 135 juta
warga masyarakat konsumsi di negeri ini.
Ditekankan pula bahwa kini 71
persen populasi di perkotaan akan menghasilkan 86 persen dari PDB Indonesia.
Besaran PDB Indonesia tahun 2012 atas dasar harga berlaku sebesar Rp 8.241,9
triliun.
Sarat pesan karena pemerintah harus
membenahi banyak pekerjaan yang belum meyakinkan. Semisal, dengan banyaknya
masyarakat kelas menengah yang konsumtif, pemerintah seharusnya meningkatkan
produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan yang begitu besar. Pemerintah
juga perlu mendorong investasi dalam negeri apakah itu investasi langsung atau
portofolio di bursa saham. Infrastruktur juga perlu dibenahi. Beban biaya
tinggi yang menekan daya saing harus dipangkas.
Namun, semua tugas ini praktis
jalan di tempat, bahkan mundur. Perekonomian Indonesia saat ini ibarat sebuah
rumah dengan fondasi di atas tanah berpasir. Begitu datang banjir, pasir
tergerus dan rumahnya pun goyang dan berpotensi runtuh. Tidak banyak manfaat
yang bisa diambil dengan kehadiran kelas menengah yang begitu besar.
Para pemain di bursa saham,
misalnya, mengeluh bahwa pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi ini tak
mendorong jumlah investor ritel. Jumlah investor ritel hanya 360.000 orang.
Padahal di India sudah 50 juta investor. Jumlah rekening reksa dana di sana
sudah 170 juta, sedangkan di Indonesia hanya 450.000 rekening. Jumlah
perusahaan yang masuk Bursa Efek Indonesia juga hanya 463 emiten.
Contoh paling rapuh dari
perekonomian negara ini adalah impor bahan pangan yang terus meningkat dari
waktu ke waktu. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara agraris dan sebagian
besar penduduk mengonsumsi beras serta berbagai komoditas biji-bijian lainnya.
Namun, negara ternyata tidak juga bisa memenuhi kebutuhan pangan dari sebagian
besar penduduknya. Hanya bisa mengimpor yang menghabiskan devisa.
Produksi
pangan rapuh
Catatan yang ada menyebutkan bahwa
pada tahun 2008/2009, negeri ini cukup hebat karena tak mengimpor beras. Namun,
dalam tiga-empat tahun berikut dilakukan impor satu juta ton beras dari Vietnam
dan Thailand. Jelas ada yang keliru dengan pemerintahan.
Demikian pula dalam produksi
kedelai. Produksi tahun 1992 bisa mencapai 1,9 juta ton. Akan tetapi, entah apa
kerja pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, sebab produksi pada
tahun 2013 hanya 800.000 ton. Alhasil, setiap tahun negara ini harus mengimpor
2 juta ton kedelai untuk bahan baku tahu-tempe dan industri berbasis kedelai.
Dalam produksi jagung, tahun lalu
Indonesia mengimpor 3 juta ton. Tahun 2012 mengimpor bawang putih 410.100 ton.
Impor bawang merah rata-rata 100.000 ton per tahun. Juga perlu mengimpor susu
75 persen dari kebutuhan dalam negeri dan perlu pula mengimpor 80.000 ton
setara daging.
Negeri agraris ini juga harus
mengimpor buah-buahan seiring dengan semakin meningkatnya daya beli kelas
menengah. Sesuatu yang tidak diantisipasi pemerintah. Juga perlu mengimpor
sayuran dan cabai. Apalagi gandum, sepenuhnya impor. Total impor pangan
Indonesia tahun 2012 sebesar Rp 81,5 triliun. Angka ini pasti terus meningkat
seiring produksi dalam negeri yang merosot, sementara kebutuhan meningkat
karena pertambahan penduduk.
Padahal, banyak potensi di dalam
negeri yang bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang selama
ini dari impor. Suatu yang nyata, produksi daging sapi bisa dipenuhi dengan
pengembangan peternakan skala luas di Provinsi Nusa Tenggara Timur/Nusa
Tenggara Barat. Kenyataannya, tak ada kesungguhan dari pemerintah dalam membuat
usaha ternak sapi sebagai sumber pendapatan masyarakat.
Demikian pula dalam produksi jagung
hibrida. Ada sekitar satu juta hektar lahan pertanian di NTT yang bisa dipakai
bagi budidaya jagung hibrida. Namun, pemerintah sepertinya masa bodoh, padahal
masyarakat siap. Bakal ada tambahan produksi 8 juta ton jagung hibrida per
tahun sekaligus mendorong pendapatan masyarakat setempat. Namun, pemerintah
lebih senang mengimpor, sebuah logika konyol karena lebih suka menghambur
devisa.
Daya
saing lemah
Banyak hal lain yang memperlihatkan
betapa perekonomian negeri ini rapuh. Semisal menyimak indeks daya saing global
yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia. Disebutkan, ketahanan infrastruktur
Indonesia kini berada di posisi ke-78 dari 144 negara di dunia. Jelas dan nyata
bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tak akan maksimal dengan posisi
infrastruktur yang minim.
Seharusnya, dengan infrastruktur
yang lebih memadai, pemerintah bisa mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 9-10
persen per tahun. Angka yang cukup meyakinkan dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi saat ini yang sekitar 6,3 persen.
Saat ini, karena keterbatasan
infrastruktur, pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 6,0-6,5 persen. Bank Dunia
mengingatkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia selanjutnya akan terhambat apabila
pemerintah tidak juga fokus memperbaiki infrastruktur.
Bank Dunia dalam evaluasi triwulan
I tahun 2013 menekankan lima hal yang berpotensi menjadi penghambat pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Perlambatan pertumbuhan investasi menjadi momok utama, juga
implikasi dari perlambatan penjualan riil dan pertumbuhan PDB nominal,
perkembangan neraca perdagangan dan transaksi berjalan, beban subsidi BBM yang
masih tetap tinggi, serta laju penurunan kemiskinan yang melambat.
Bank Dunia lantas mengingatkan
Pemerintah Indonesia untuk melakukan kebijakan yang tepat, yakni dengan
melakukan investasi pada infrastruktur publik dan mendorong daya saing
perdagangan. Reformasi subsidi BBM juga menjadi perhatian karena masih tetap
besar sekalipun harga BBM bersubsidi sudah dinaikkan.
Pesan Bank Dunia ini jelas.
Pembangunan infrastruktur yang baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga
9-10 persen. Sebagaimana asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen bisa
menciptakan minimal 250.000 lapangan kerja, maka sejauh ini pemerintah
mengabaikan penciptaan 2,25 juta sampai 2,5 juta lapangan kerja karena tak
membangun infrastruktur.
Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) pada 1 Januari 2016, jelas kewajiban pemerintah membangun infrastruktur
yang bisa mendorong daya saing produk dan kemampuan tenaga kerja Indonesia.
Tugas ini tentu saja lebih banyak menjadi beban pemerintah hasil Pemilu 2014.
Catatan Organisasi Produktivitas
Asia (APO) menyebutkan bahwa baru 4,3 persen pekerja Indonesia yang punya
keterampilan dari 1.000 pekerja yang ada. Jelas tenaga kerja Indonesia kalah
kelas dibandingkan dengan pekerja Filipina yang mencapai 8,3 persen, Malaysia
32,6 persen, dan Singapura 34,7 persen.
MEA akan membuat arus manusia dan
barang di dalam 10 negara anggota ASEAN bergulir bebas dan cepat. Hanya saja,
produksi dalam negeri yang lambat akibat kebijakan infrastruktur maupun
kebijakan fiskal dan moneter yang tidak kondusif mengancam Indonesia yang akan
hanya menjadi pasar. Terbukti, belakangan ini berbagai pusat pembelanjaan level
dunia seperti Galeries Lafayette dan Lotte mulai menyerbu Jakarta.
Dan belakangan ini, kebijakan
moneter dengan kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) naik, tentu
bakal menjadi beban bagi industri apabila suku bunga kredit ikut naik. Beban
suku bunga ini bakal kembali membebani industri manufaktur dalam menghasilkan
produk dengan daya saing yang memadai. Biaya modal akan meningkat.
Pemerintah sejauh ini menyadari
bahwa daya saing produk Indonesia tidak meyakinkan. Juga disadari hal ini
karena ongkos produksi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan produk
negara lain, terutama dalam biaya logistik. Asal paham saja, biaya logistik
produk Indonesia mencapai 14 persen dari biaya produksi. Sementara di negara
lain, ongkos produksi di bawah 10 persen. Bahkan, di Singapura, yang merupakan
sesama negara ASEAN, hanya sekitar 5 persen.
Sekalipun sangat terlambat,
kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM sedikit banyak membantu fondasi
ekonomi Indonesia agar lebih sehat. Namun, tetap saja kebijakan subsidi pada
BBM masih relatif tinggi dan bisa menjadi ajang mendorong spekulasi. Sejauh
ini, subsidi BBM dalam APBN Perubahan 2013 masih Rp 199,65 triliun. Memang
sedikit menurun dari subsidi Rp 251 triliun dalam APBN 2013.
Namun, seiring dengan produksi
minyak nasional yang hanya 840.000 barrel per hari, pemerintah masih tetap
mengimpor minyak mentah 290.000 barrel per hari. Dan perlu dicatat, meningkatnya
masyarakat kelas menengah yang signifikan membuat konsumsi BBM juga meningkat.
Konsekuensinya, kebutuhan impor minyak dan produk BBM diperkirakan terus
bertambah. Beban anggaran subsidi tetap bertambah.
Pada tahun 2013, volume BBM
bersubsidi dalam APBN Perubahan 2013 ditetapkan 48 juta kiloliter, meningkat
hampir 3 juta kiloliter dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun 2014,
konsumsi BBM diprediksi 51,04 juta-52,41 juta kiloliter.
Konsumsi BBM bersubsidi yang
meningkat terkait pertumbuhan ekonomi serta penjualan mobil dan sepeda motor.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia menyebutkan, angka penjualan
kendaraan meningkat. Tahun 2013, penjualan mobil diprediksi 1,1 juta unit dan
sepeda motor 7,1 juta unit. Padahal, setiap mobil rata-rata mengonsumsi 3 liter
BBM per hari dan sepeda motor 0,7 liter BBM per hari.
Sebuah beban yang seharusnya
membuat pemerintah lebih mendorong diversifikasi energi. Jika tidak, sebuah
hantaman lain bakal menggerogoti fondasi rumah yang rapuh tadi. Terus terang,
sejauh ini diversifikasi energi praktis tidak jalan. BBM masih mendominasi
bauran energi nasional sebesar 49,7 persen, sedangkan energi gas 20 persen,
batubara 24,5 persen, dan energi baru terbarukan 6 persen. Seharusnya, porsi
energi gas dan batubara yang lebih murah ditingkatkan. Juga penggunaan energi
panas bumi yang relatif berlimpah di negeri cincin api ini.
Melangkah menuju sebuah Indonesia
yang lebih baik, terutama dalam sisi perekonomian, tentu saja membutuhkan
sebuah pemerintahan dengan pemimpin yang cepat bertindak. Tak ada lagi
kata-kata ”lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”.
Dalam kondisi beberapa waktu ke
depan, kata ”terlambat” akan bermakna rumah perekonomian negara ini akan roboh
dan hanyut bersama banjir. Pemilu 2014 menjadi penentu apakah ekonomi Indonesia
akan berjaya sebagaimana disebutkan McKinsey atau akan dilibas habis oleh
negara lain, termasuk sesama negara ASEAN. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar