Selasa, 02 Juli 2013

Bangunan Rumah di Tanah Berpasir

Bangunan Rumah di Tanah Berpasir
Pieter P Gero ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ungkapan berbau kritik bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sebenarnya sangat terlambat dalam menaikkan harga bahan bakar minyak. Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi yang dilakukan 21 Juni lalu itu seharusnya sudah dilakukan beberapa bulan lebih awal sebelum kondisi makro-ekonomi negeri telanjur kritis.

Pemerintah sebenarnya dalam beberapa kesempatan sudah diingatkan untuk segera mengambil langkah menyelamatkan dan menyehatkan ekonomi. Peringatan paling keras bahwa pemerintah tak becus dalam menjaga kondisi makro-ekonomi datang dari lembaga pemeringkat Standard & Poor’s, yang merevisi proyeksi ekonomi Indonesia dari positif menjadi stabil.

Dalam pernyataannya pada awal Mei lalu itu, S&P dari kantornya di Singapura menegaskan, revisi ini berkaitan dengan kebijakan subsidi pemerintah, termasuk subsidi bahan bakar minyak. Beruntung peringkat utang Indonesia BB+ masih dipertahankan.

Pemerintah Indonesia dikatakan telah menyia-nyiakan momentum reformasi ekonomi. Potensi memperbaiki peringkat utang Indonesia untuk 12 bulan ke depan lewat begitu saja. Proyeksi produk domestik bruto (PDB) per kapita mencapai 3.800 dollar AS (sekitar Rp 37 juta) tahun 2013 dinilai relatif rendah jika dikaitkan dengan kategori peringkat utang saat ini.

Peringkat utang Indonesia dapat dinaikkan apabila pemerintah menyelesaikan reformasi, seperti merasionalisasi nilai subsidi, termasuk subsidi BBM yang sekitar Rp 300 triliun, mengurangi ancaman fiskal dan eksternal secara berkelanjutan, perbaikan neraca, pengurangan beban utang luar negeri, serta melakukan reformasi struktural mendorong pertumbuhan ekonomi.

Sejauh ini yang terjadi, pemerintah sepertinya tersihir pada hasil riset McKinsey Global Institute yang mengatakan saat ini perekonomian Indonesia merupakan nomor 16 terbesar di dunia. Juga ada 45 juta warga kelas konsumsi di Indonesia yang diyakini menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang berkisar 6,5 persen. Hasil riset yang sering diulang-ulang para menteri kabinet dalam berbagai kesempatan ini juga menyebutkan, 53 persen penduduk di perkotaan menyumbang 74 persen PDB.

Riset McKinsey sebenarnya membanggakan, tetapi juga sarat pesan. Misalnya disebutkan bahwa ekonomi Indonesia akan menjadi nomor tujuh dunia tahun 2030. Juga bakal ada 135 juta warga masyarakat konsumsi di negeri ini.

Ditekankan pula bahwa kini 71 persen populasi di perkotaan akan menghasilkan 86 persen dari PDB Indonesia. Besaran PDB Indonesia tahun 2012 atas dasar harga berlaku sebesar Rp 8.241,9 triliun.
Sarat pesan karena pemerintah harus membenahi banyak pekerjaan yang belum meyakinkan. Semisal, dengan banyaknya masyarakat kelas menengah yang konsumtif, pemerintah seharusnya meningkatkan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan yang begitu besar. Pemerintah juga perlu mendorong investasi dalam negeri apakah itu investasi langsung atau portofolio di bursa saham. Infrastruktur juga perlu dibenahi. Beban biaya tinggi yang menekan daya saing harus dipangkas.

Namun, semua tugas ini praktis jalan di tempat, bahkan mundur. Perekonomian Indonesia saat ini ibarat sebuah rumah dengan fondasi di atas tanah berpasir. Begitu datang banjir, pasir tergerus dan rumahnya pun goyang dan berpotensi runtuh. Tidak banyak manfaat yang bisa diambil dengan kehadiran kelas menengah yang begitu besar.

Para pemain di bursa saham, misalnya, mengeluh bahwa pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi ini tak mendorong jumlah investor ritel. Jumlah investor ritel hanya 360.000 orang. Padahal di India sudah 50 juta investor. Jumlah rekening reksa dana di sana sudah 170 juta, sedangkan di Indonesia hanya 450.000 rekening. Jumlah perusahaan yang masuk Bursa Efek Indonesia juga hanya 463 emiten.

Contoh paling rapuh dari perekonomian negara ini adalah impor bahan pangan yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara agraris dan sebagian besar penduduk mengonsumsi beras serta berbagai komoditas biji-bijian lainnya. Namun, negara ternyata tidak juga bisa memenuhi kebutuhan pangan dari sebagian besar penduduknya. Hanya bisa mengimpor yang menghabiskan devisa.

Produksi pangan rapuh

Catatan yang ada menyebutkan bahwa pada tahun 2008/2009, negeri ini cukup hebat karena tak mengimpor beras. Namun, dalam tiga-empat tahun berikut dilakukan impor satu juta ton beras dari Vietnam dan Thailand. Jelas ada yang keliru dengan pemerintahan.

Demikian pula dalam produksi kedelai. Produksi tahun 1992 bisa mencapai 1,9 juta ton. Akan tetapi, entah apa kerja pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, sebab produksi pada tahun 2013 hanya 800.000 ton. Alhasil, setiap tahun negara ini harus mengimpor 2 juta ton kedelai untuk bahan baku tahu-tempe dan industri berbasis kedelai.

Dalam produksi jagung, tahun lalu Indonesia mengimpor 3 juta ton. Tahun 2012 mengimpor bawang putih 410.100 ton. Impor bawang merah rata-rata 100.000 ton per tahun. Juga perlu mengimpor susu 75 persen dari kebutuhan dalam negeri dan perlu pula mengimpor 80.000 ton setara daging.

Negeri agraris ini juga harus mengimpor buah-buahan seiring dengan semakin meningkatnya daya beli kelas menengah. Sesuatu yang tidak diantisipasi pemerintah. Juga perlu mengimpor sayuran dan cabai. Apalagi gandum, sepenuhnya impor. Total impor pangan Indonesia tahun 2012 sebesar Rp 81,5 triliun. Angka ini pasti terus meningkat seiring produksi dalam negeri yang merosot, sementara kebutuhan meningkat karena pertambahan penduduk.

Padahal, banyak potensi di dalam negeri yang bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang selama ini dari impor. Suatu yang nyata, produksi daging sapi bisa dipenuhi dengan pengembangan peternakan skala luas di Provinsi Nusa Tenggara Timur/Nusa Tenggara Barat. Kenyataannya, tak ada kesungguhan dari pemerintah dalam membuat usaha ternak sapi sebagai sumber pendapatan masyarakat.

Demikian pula dalam produksi jagung hibrida. Ada sekitar satu juta hektar lahan pertanian di NTT yang bisa dipakai bagi budidaya jagung hibrida. Namun, pemerintah sepertinya masa bodoh, padahal masyarakat siap. Bakal ada tambahan produksi 8 juta ton jagung hibrida per tahun sekaligus mendorong pendapatan masyarakat setempat. Namun, pemerintah lebih senang mengimpor, sebuah logika konyol karena lebih suka menghambur devisa.

Daya saing lemah

Banyak hal lain yang memperlihatkan betapa perekonomian negeri ini rapuh. Semisal menyimak indeks daya saing global yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia. Disebutkan, ketahanan infrastruktur Indonesia kini berada di posisi ke-78 dari 144 negara di dunia. Jelas dan nyata bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tak akan maksimal dengan posisi infrastruktur yang minim.

Seharusnya, dengan infrastruktur yang lebih memadai, pemerintah bisa mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 9-10 persen per tahun. Angka yang cukup meyakinkan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi saat ini yang sekitar 6,3 persen.

Saat ini, karena keterbatasan infrastruktur, pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 6,0-6,5 persen. Bank Dunia mengingatkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia selanjutnya akan terhambat apabila pemerintah tidak juga fokus memperbaiki infrastruktur.

Bank Dunia dalam evaluasi triwulan I tahun 2013 menekankan lima hal yang berpotensi menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perlambatan pertumbuhan investasi menjadi momok utama, juga implikasi dari perlambatan penjualan riil dan pertumbuhan PDB nominal, perkembangan neraca perdagangan dan transaksi berjalan, beban subsidi BBM yang masih tetap tinggi, serta laju penurunan kemiskinan yang melambat.

Bank Dunia lantas mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk melakukan kebijakan yang tepat, yakni dengan melakukan investasi pada infrastruktur publik dan mendorong daya saing perdagangan. Reformasi subsidi BBM juga menjadi perhatian karena masih tetap besar sekalipun harga BBM bersubsidi sudah dinaikkan.
Pesan Bank Dunia ini jelas. Pembangunan infrastruktur yang baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 9-10 persen. Sebagaimana asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen bisa menciptakan minimal 250.000 lapangan kerja, maka sejauh ini pemerintah mengabaikan penciptaan 2,25 juta sampai 2,5 juta lapangan kerja karena tak membangun infrastruktur.

Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 1 Januari 2016, jelas kewajiban pemerintah membangun infrastruktur yang bisa mendorong daya saing produk dan kemampuan tenaga kerja Indonesia. Tugas ini tentu saja lebih banyak menjadi beban pemerintah hasil Pemilu 2014.

Catatan Organisasi Produktivitas Asia (APO) menyebutkan bahwa baru 4,3 persen pekerja Indonesia yang punya keterampilan dari 1.000 pekerja yang ada. Jelas tenaga kerja Indonesia kalah kelas dibandingkan dengan pekerja Filipina yang mencapai 8,3 persen, Malaysia 32,6 persen, dan Singapura 34,7 persen.
MEA akan membuat arus manusia dan barang di dalam 10 negara anggota ASEAN bergulir bebas dan cepat. Hanya saja, produksi dalam negeri yang lambat akibat kebijakan infrastruktur maupun kebijakan fiskal dan moneter yang tidak kondusif mengancam Indonesia yang akan hanya menjadi pasar. Terbukti, belakangan ini berbagai pusat pembelanjaan level dunia seperti Galeries Lafayette dan Lotte mulai menyerbu Jakarta.

Dan belakangan ini, kebijakan moneter dengan kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) naik, tentu bakal menjadi beban bagi industri apabila suku bunga kredit ikut naik. Beban suku bunga ini bakal kembali membebani industri manufaktur dalam menghasilkan produk dengan daya saing yang memadai. Biaya modal akan meningkat.

Pemerintah sejauh ini menyadari bahwa daya saing produk Indonesia tidak meyakinkan. Juga disadari hal ini karena ongkos produksi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan produk negara lain, terutama dalam biaya logistik. Asal paham saja, biaya logistik produk Indonesia mencapai 14 persen dari biaya produksi. Sementara di negara lain, ongkos produksi di bawah 10 persen. Bahkan, di Singapura, yang merupakan sesama negara ASEAN, hanya sekitar 5 persen.

Sekalipun sangat terlambat, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM sedikit banyak membantu fondasi ekonomi Indonesia agar lebih sehat. Namun, tetap saja kebijakan subsidi pada BBM masih relatif tinggi dan bisa menjadi ajang mendorong spekulasi. Sejauh ini, subsidi BBM dalam APBN Perubahan 2013 masih Rp 199,65 triliun. Memang sedikit menurun dari subsidi Rp 251 triliun dalam APBN 2013.

Namun, seiring dengan produksi minyak nasional yang hanya 840.000 barrel per hari, pemerintah masih tetap mengimpor minyak mentah 290.000 barrel per hari. Dan perlu dicatat, meningkatnya masyarakat kelas menengah yang signifikan membuat konsumsi BBM juga meningkat. Konsekuensinya, kebutuhan impor minyak dan produk BBM diperkirakan terus bertambah. Beban anggaran subsidi tetap bertambah.

Pada tahun 2013, volume BBM bersubsidi dalam APBN Perubahan 2013 ditetapkan 48 juta kiloliter, meningkat hampir 3 juta kiloliter dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun 2014, konsumsi BBM diprediksi 51,04 juta-52,41 juta kiloliter.

Konsumsi BBM bersubsidi yang meningkat terkait pertumbuhan ekonomi serta penjualan mobil dan sepeda motor. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia menyebutkan, angka penjualan kendaraan meningkat. Tahun 2013, penjualan mobil diprediksi 1,1 juta unit dan sepeda motor 7,1 juta unit. Padahal, setiap mobil rata-rata mengonsumsi 3 liter BBM per hari dan sepeda motor 0,7 liter BBM per hari.

Sebuah beban yang seharusnya membuat pemerintah lebih mendorong diversifikasi energi. Jika tidak, sebuah hantaman lain bakal menggerogoti fondasi rumah yang rapuh tadi. Terus terang, sejauh ini diversifikasi energi praktis tidak jalan. BBM masih mendominasi bauran energi nasional sebesar 49,7 persen, sedangkan energi gas 20 persen, batubara 24,5 persen, dan energi baru terbarukan 6 persen. Seharusnya, porsi energi gas dan batubara yang lebih murah ditingkatkan. Juga penggunaan energi panas bumi yang relatif berlimpah di negeri cincin api ini.

Melangkah menuju sebuah Indonesia yang lebih baik, terutama dalam sisi perekonomian, tentu saja membutuhkan sebuah pemerintahan dengan pemimpin yang cepat bertindak. Tak ada lagi kata-kata ”lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”.


Dalam kondisi beberapa waktu ke depan, kata ”terlambat” akan bermakna rumah perekonomian negara ini akan roboh dan hanyut bersama banjir. Pemilu 2014 menjadi penentu apakah ekonomi Indonesia akan berjaya sebagaimana disebutkan McKinsey atau akan dilibas habis oleh negara lain, termasuk sesama negara ASEAN. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar