|
SUARA
MERDEKA, 23 Juli 2013
"Masyarakat
mengharapkan penegakan hukum oleh polisi dilaksanakan sebelum aksi FPI
menyentuh sasaran"
SWEEPING yang dilakukan anggota Front Pembela Islam (FPI)
di lokalisasi Alas Karet (Alaska) Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal yang
berakhir bentrok dengan warga mengundang keprihatinan khalayak. Ketua Komisi
III DPR I Gede Pasek Suardika mengatakan aparat kepolisian harus tegas
mengatasi bentrokan anggota FPI dengan warga. Selama ini, menurut dia, polisi
masih bersikap lembek terhadap ormas tersebut (SM, 20/7/13).
Beberapa aksi sweeping
yang dilakukan oleh anggota FPI dan peristiwa Sukorejo, menurut Direktur
Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang Tedi Kholiludin, bukan tidak
mungkin makin menguatkan resistensi masyarakat terhadap ormas tersebut. Apalagi
terkait aksi mereka, telah jatuh korban jiwa. Melihat situasi seperti itu sudah
semestinya aparat bersikap tegas.
Benarkah selama ini sikap polisi lembek terhadap aksi sweeping yang dilakukan anggota FPI?
Bila konteks sikap lembek ini ditempatkan pada ranah penegakan hukum, sejatinya
tidak sepenuhnya benar. Polisi secara proporsional telah melakukan penegakan
hukum dan upaya tersebut harus dilihat dalam konteks lebih luas. Menurut Dr RM
Panggabean, penegakan hukum dalam arti luas meliputi upaya preemtif, preventif,
dan represif.
Tiga upaya itu pun sudah dilaksanakan oleh polisi dalam
menghadapi ulah anggota FPI. Dalam tataran tindakan preemtif ataupun preventif
(pencegahan), seperti disampaikan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronny Franky
Somphy, selama ini Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri telah
melakukan komunikasi dengan FPI supaya tidak lagi ada sweeping oleh ormas.
Beberapa aksi FPI bisa dicegah oleh polisi, meskipun
beberapa kegiatan bisa lolos dari pantauan polisi. Pada titik inilah, ketika
tidak terpantau kemudian FPI berbenturan dengan massa, terjadilah bentrok
seperti terjadi di Sukorejo Kendal. Pada sisi lain, terhadap kasus anarki oleh
FPI, polisi sudah menangani sesuai dengan prosedur hukum.
Yang menjadi ketidakpuasan publik terhadap proporsionalitas
polisi dalam menegakkan hukum terhadap aksi sweeping
FPI adalah adanya kecenderungan law
enforcement atau penegakan hukum secara represif dilakukan pascakejadian.
Akibatnya, polisi lebih berkesan sebagai ”pemadam kebakaran”, belum
memaksimalkan tindakan preemtif ataupun preventif.
”Show of Force”
Secara substansi, masyarakat mengharapkan penegakan hukum
oleh polisi sudah dilaksanakan sebelum aksi itu dilakukan menyentuh sasaran,
apalagi sampai terjadi tindakan kekerasan dan perusakan yang menyebabkan jatuhnya
korban jiwa. Tiap aksi anggota ormas tersebut sangat dimungkinkan bisa
termonitor oleh intelijen kepolisian. FPI acapkali melakukan show of force, arak-arakan, konvoi
dengan meneriakkan kalimat atau yel yang khas dan masyarakat sangat paham
dengan perilaku tersebut.
Apabila dalam kegiatan tadi sudah terlihat adanya
pelanggaran hukum, sekecil apa pun, polisi sudah seharusnya untuk berani
bertindak. Misalnya dari hal terkecil, peserta konvoi tidak menggunakan helm,
membawa benda atau senjata tajam dan sejenisnya merupakan benih terjadinya
pelanggaran hukum yang lebih besar. Dalam konteks inilah penegakan hukum secara
proporsional harus sudah dilakukan oleh anggota polisi.
Kejelian dan kepekaaan polisi dalam mengantisipasi keadaan
sangat dibutuhkan. Dalam situasi bulan Ramadan, yang identik dengan bulan suci,
polisi harus memprioritaskan pengawasan terhadap tempat-tempat hiburan malam,
tempat maksiat, perjudian dan sejenisnya. Polisi tidak perlu sendirian, namun
bersama dengan instansi lain seperti pemda yang juga berkepentingan untuk
menegakkan perda terkait ketertiban dalam bulan Ramadan.
Intensitas pengetatan dan pengawasan tempat-tempat tadi,
merupakan langkah strategis dan efektif bagi polisi untuk meredam kemunculan
keinginan dari ormas-ormas yang ingin melakukas penyisiran. Ini juga menjadi
konsekuensi dan tanggung jawab moral atas tugas yang dibebankan oleh negara
kepada Polri untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
Upaya penegakan hukum secara proporsional oleh polisi
terhadap pengelola hiburan malam, tempat-tempat maksiat yang nyata-nyata
melanggar hukum merupakan tindakan yang seharusnya dilakukan, tanpa harus
menunggu terjadinya ekses yang memunculkan asumsi polisi melakukan pembiaran.
Itulah pintu masuk dari ormas-ormas untuk melakukan tindakan menurut cara
mereka sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar