Rabu, 24 Juli 2013

Negara, Konflik, dan Empat Pilar Kebangsaan

Negara, Konflik, dan Empat Pilar Kebangsaan
Eko Harry Susanto  ;  Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Tarumanagara Jakarta, Fasilitator Komunikasi publik
SUARA KARYA, 23 Juli 2013


Keberingasan massa di berbagi penjuru tanah air semakin mewarnai konflik yang bernuansa perbedaan agama, keyakinan dan kepercayaan. Bahkan, potret buram kehidupan masyarakat majemuk itu seperti bersaing dengan upaya para elite dalam menyuarakan penegakan empat pilar kebangsaan yang bertumpu kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika sebagai pedoman masyarakat dalam negara yang beradab.

Namun di pihak lain, negara sebagai entitas yang paling bertanggungjawab terhadap keamanan dan ketenteraman masyarakat, seperti tidak berdaya mengatasi aneka konflik yang gampang muncul setiap saat. Karena itu tidak mengherankan jika berbagai kalangan menyebutkan bahwa pemerintah belum mampu melindungi masyarakat dari konflik dalam bingkai perbedaan agama dan keyakinan dasar yang muncul di berbagai lapisan masyarakat.

Walaupun secara faktual berbagai konflik, diwarnai oleh isu sensitif dalam belenggu perbedaan karakter dalam agama dan keyakinan, tetapi kita teramat jarang mendengar pengakuan dari pihak-pihak yang bertanggungjawab di pemerintah, mengakui bahwa pertikaian, perseteruan, penyerangan dan kerusuhan yang terjadi bermotif perbedaan dalam keyakinan pada ranah keagamaan. Justru yang kerap terdengar adalah, elite dalam kekuasaan negara mengkambinghitamkan emosi masyarakat semata sebagai pemicu konflik antar kelompok.

Menafikan substansi perbedaan keyakinan dalam agama sebagai pemicu konflik, merupakan gambaran kelemahan negara dalam membangun integrasi nasional yang merujuk kepada penguatan empat pilar kebangsaan yang mengunggulkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Padahal Rodney A Smola (2001) menggarisbawahi, bahwa kekuasaan yang mengabaikan fakta di sekelilingnya dan menutup hak masyarakat untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya dalam mengelola negara, akan menghancurkan kekuasaan pemerintah itu sendiri.

Karena itu, sudah selayaknya jika pemerintah transparan mengakui adanya konflik antar kelompok dalam nuanasa perbedaan agama dan keyakinan di berbagai berbagai wilayah nusantara. Dengan transparansi, pemerintah bisa membangun kesadaran masyarakat tentang perpecahan NKRI di depan mata. Bagaimanapun juga ketika para elite dalam poros-poros kekuasaan negara mereduksi fakta konflik, dengan mengeksplorasi pemicu yang seringkali hanya persolan sepele. Maka, masyarakat juga menafikan bahaya perbedaan agama dan keyakinan di sekelilingnya.

Namun mereduksi fakta konflik bernuansa perbedaan termasuk ketidakmampuan mengatasinya, bukan hanya persoalan kinerja aparatur pemerintah menghadapi keberingasan massa. Sebab ada kecenderungan berbagai entitas dalam tubuh pemerintah melakukan pembiaran terselubung terhadap aneka bentrokan yang bersifat sektarian. Sikap ini mudah ditebak, mengingat elite dalam kekuasaan memiliki ketergantungan terhadap kekuatan pihak-pihak yang bertikai untuk dijadikan pendukung dalam kompetisi politik lokal maupun nasional.

Pada konteks ini, sinyalemen Sidney Jones, dalam kuliah umum Hak Asasi Manusia di Kontras Jakarta, dalam satu kesempatan di Jakarta tahun 2011, menarik untuk dicermati. Secara esensial, dikemukakan, pegiat HAM kurang agresif untuk mendekati kalangan birokrat dan politikus dalam mewujudkan gagasan demokrasi yang mengusung kemajemukan.

Akibatnya, elite dalam pemerintahan lebih mengakomodasikan kekuatan komunitas berbasis nilai sektarian yang memiliki massa, dan mampu memberikan dukungan dalam persaingan politik, dibandingkan menjalankan roda pemerintahan untuk semua pihak tanpa diferensiasi agama dan keyakinan. Karena itu, tidak mengherankan jika kecenderungan perilaku sektarian tumbuh signifikan di lembaga-lembaga pemerintah. Jelas ini representasi dari kesepakatan para elite negara untuk "mematuhi" kehendak "pemilik massa" yang mempunyai kekuatan paksa mengontrol dari luar jalannya pemerintahan.

Melalui komunikasi verbal dan non verbal, tentu tidak sulit mengenali berkembangnya semangat perbedaan di institusi negara yang notabene harus bertanggungjawab terhadap utuhnya kebhinekaan. Bahkan tidak aneh, entitas negara yang seharusnya gencar menanamkan pentingnya empat pilar kebangsaan pada usia belia, terperangkap juga dalam perilaku epigon membangun perbedaan sejak dini secara terselubung.

Karena itu, tanpa bermaksud mengedepankan pola penyosialisasian model Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang sudah menghilang pada era reformasi, tetapi pembentukan karakter "pluralisme yang menjaga empat pilar kebangsaan" di lembaga-lembaga pemerintah, dalam bingkai "demokrasi" harus ditegakkan. Tujuannnya agar aparatur pemerintah tidak semakin jauh terperangkap dalam penafsiran ideal terhadap nilai dan keyakinan dasar yang bersifat sepihak sesuai dengan pemilik otoritas di institusinya.

Memang kemasan dalam membangun karakter, sikap dan perilaku birokrasi pemerintahan sangat ideal, karena diwarnai oleh jargon, moto, kata-kata mutiara yang menyejukkan dalam nada menghargai eksistensi kelompok yang berbeda agama, kepercayaan maupun keyakinan dasar. Namun, terlampau sulit mengimbangi kekuatan pesan-pesan bernada "pembeda" yang sudah mendominasi berbagai lapisan dalam tubuh birokrasi pemerintahan.

Dengan demikian, tidak aneh jika konflik, pertikaian, kerusuhan dan keberingasan massa yang terjadi di Tanah Air, masih saja diwarnai oleh isu perbedaan yang berpotensi memarginalkan empat pilar kebangsaan. Sebab, hakikatnya, dalam masyarakat paternalistik sebagaimana di Indonesia, massa sesungguhnya hanya meniru tindakan organ-organ kekuasaan negara yang memiliki pengaruh dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar