|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi
menangkap Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, akhir Januari
lalu, publik pun terkejut. Selama ini politisi PKS hampir sepi dari pemberitaan
korupsi. Namun, sekali terjerat korupsi, langsung presidennya, pucuk pimpinan
partai.
Selama ini PKS dikenal sebagai
partai Islam dengan jargon bersih dan peduli. Di daerah, jika ada anggota DPRD
menjadi tersangka korupsi, biasanya hanya anggota Fraksi PKS yang tak terjerat.
Demikian pula di DPR. Selama ini meski ada politisinya yang bolak-balik
bersaksi di pengadilan tindak pidana korupsi, tak satu pun dari mereka yang
menjadi tersangka. Karena itu, publik punlangsung mencibir dengan tekanan pada
kemunafikan politisi, apa pun latar belakang partainya, begitu Luthfi
ditangkap.
Luthfi bukan hanya orang nomor satu
di PKS, melainkan juga anggota DPR. DPR adalah lembaga terhormat
yang antara lain menjalankan fungsi-fungsi pengawasan dan pembuat
undang-undang di negeri ini. Penangkapannya makin memupus harapan masa depan
Indonesia yang bersih dari korupsi.
Penangkapan politisi oleh KPK
seakan cerita yang tak pernah berujung. Bahkan, anggota Dewan Pembina Partai
Demokrat, Ahmad Mubarok, sempat berujar, penangkapan Luthfi seperti arisan
nasib buruk bagi partai politik. Kemarin Partai Demokrat, sekarang PKS, besok
entah politisi dari partai mana.
Lalu bagaimana memprediksi ujung
cerita kelam tentang korupsi ini? Ada ungkapan Perancis l'histoire se répète alias sejarah
selalu berulang. Majalah Historia edisi
kedua tahun 2012 mencatat pengalaman Mochtar Lubis yang menuturkan
pengalamannya saat menulis buku tentang Indonesia sebelum dan selama revolusi.
Mochtar mengenang pertemuannya dengan pemimpin-pemimpin republik yang kala itu
penuh kesederhanaan. Mochtar mengatakan dengan tegas keyakinannya bahwa tak
mungkin pemimpin Indonesia bisa jadi korup. Kala itu Mochtar ditantang seorang
wartawan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa para pemimpin revolusi Indonesia
itu bakal korup ketika sudah berkuasa. Mochtar akhirnya mencabut ucapannya
sendiri seperti tertulis dalam buku Catatan
Subversif saat dia ikut menjadi korban dalam upayanya melawan korupsi.
Jika sekarang KPK menetapkan
anggota kabinet aktif sebagai tersangka korupsi seperti saat menetapkan
Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng dalam kasus
Hambalang, di masa lalu pun kejadian serupa pernah terjadi. Jaksa Agung
Soeprapto pernah menangkap Mr Djody Gondokusumo, Menteri Kehakiman Kabinet
Ali Sastroamidjojo I, karena diduga menerima suap dari perpanjangan visa
seorang warga negara Hongkong pada Agustus 1955.
Bulan Maret 1957, Kepala Staf TNI
Angkatan Darat yang juga Penguasa Perang Darurat Pusat Abdul Haris Nasution
menahan sejumlah politisi, anggota konstituante, anggota parlemen, komisaris
polisi, jaksa, dan pengusaha. Pada masa itu Penguasa Perang Darurat,
seperti ditulis oleh majalah Historia,
juga memberlakukan apa yang sekarang disebut pembuktian terbalik. Mereka yang
ditahan karena korupsi di masa itu diperintahkan membuat daftar harta kekayaan
yang mereka miliki.
Dosen Sejarah Universitas Gadjah
Mada, Sri Margana, dalam ”Akar Historis Korupsi di Indonesia” (Korupsi Mengorupsi Indonesia, 2009)
menulis, ketika ditunjuk menjadi penasihat dalam upaya pemberantasan korupsi di
masa awal pemerintahan Soeharto, mantan Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta
menyatakan bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Menurut Sri Margana,
istilah membudaya memberi pemahaman bahwa perilaku korupsi telah masuk dalam
struktur kesadaran masyarakat sebagai proses wajar dan tak terbantahkan.
Penganut teori determinasi kultural percaya bahwa praktik korupsi yang meluas
di Indonesia terjadi karena didukung oleh kebudayaan dari etnis tertentu dalam
hal ini Jawa sebagai suku bangsa mayoritas. Meski pendapat ini punya landasan
antropologi, tentunya masih harus diuji. Sebab, faktanya koruptor bukan berasal
dari satu etnis saja.
Jika melacak sejarah, Sri menyebut
feodalisme dan kolonialisme yang melahirkan birokrasi patrimonial disebut
sebagai salah satu akarnya. Interaksi penguasa kolonial dan penguasa lokal penerus tradisi patrimonialisme pada masa
VOC hingga Hindia Belanda menggambarkan betapa yang sekarang disebut korupsi
masih dianggap kelaziman dan bukan pelanggaran hukum. Saat itu sistem yang ada
tak jelas menyebut pemasukan pribadi dengan pendapatan negara. Sistem itu
sebenarnya tak hanya dikenal di Jawa, tetapi juga umum di Nusantara, bahkan di
Asia Tenggara.
Bagaimana korupsi menjelma di masa
kini? Verena Blechinger dalam Fighting
Corruption in Developing Countries (2005) menulis, baik di negara
industri yang demokratis maupun di negara berkembang, partai politik selalu
dilihat sebagai pusat masalah dari korupsi. Wacana tentang korupsi dan strategi
pemberantasannya telah mengidentifikasi partai politik sebagai aktor utama yang
sering menyalahgunakan kekuasaannya dalam sistem politik untuk memeras,
menerima suap, dan menempatkan para politisinya pada jabatan menguntungkan di
sektor publik.
Kasus Luthfi memberi gambaran tesis
Blechinger. Posisi Luthfi sebagai Presiden PKS saat itu dianggap bisa
memperdagangkan pengaruh dalam pengurusan kuota impor daging sapi di
Kementerian Pertanian. Hal itu terkait dengan posisi Menteri Pertanian Suswono
yang merupakan kader PKS.
Lalu mengapa korupsi masih juga
sulit diberantas meski Indonesia menganut sistem demokrasi modern yang
memastikan semuanya berjalan dengan prinsip akuntabilitas dan transparan?
Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch
(ICW), Febri Diansyah, menyebut satu faktor utama, yakni lembaga penegak hukum
yang ada tak bebas dari virus korupsi. ”Kalau diingat, salah satu alasan
dibentuknya KPK adalah lembaga penegak hukum yang ada tidak bersih dari
korupsi, termasuk pengadilan, sehingga dibentuk juga pengadilan tindak pidana
korupsi,” katanya.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto
mengatakan, tak ada yang berubah dari akar korupsi di Indonesia, penumpukan
kekuasaan di satu institusi kekuasaan. Jika di masa Orde Baru kekuasaan
bertumpuk pada eksekutif, saat ini kekuasaan cenderung bertumpuk di legislatif.
Tak ayal jika tak menjadi pelakunya, politikus menjadi ancaman terbesar
pemberantasan korupsi.
Partai politik yang seharusnya
berperan membuat ketentuan hukum lewat politikusnya di DPR justru menjadi
masalah. Seperti di masa lalu, politisi justru memburu rente dari posisinya sebagai legislator. Pada saat yang
sama lembaga pemberantas korupsi seperti KPK terus-menerus dilemahkan oleh
politisi.
KPK kerap menghadapi ancaman, mulai
dari pemangkasan wewenang istimewanya seperti penyadapan hingga pembubaran
lembaga ini lewat salah kaprah status ad hoc. Ini mirip dengan apa yang
terjadi di masa lalu. Lembaga seperti Panitia Retooling Aparatur Negara,
Operasi Budhi, Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara di era Soekarno, atau
Tim Pemberantasan Korupsi serta Operasi Tertib di masa Soeharto pada akhirnya
tak mampu menjadikan republik ini bersih dari korupsi.
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas
mengatakan, sangat ironis ketika KPK gencar memberantas korupsi, ada wakil
rakyat yang berusaha mempereteli kewenangannya. KPK sebagai lembaga yang punya
kewenangan khusus masih sangat dibutuhkan saat korupsi di Indonesia sangat
sistemis dan sulit diberantas.
”Undang-undang itu merupakan
penormaan moral. Korupsi merupakan tindakan kumuh amoral yang semakin
memiskinkan rakyat dan meruntuhkan marwah negara di dunia internasional
dan di hadapan rakyat. KPK sedang melakukan pencegahan dan pemberantasan
sistemis bersama masyarakat sipil. Karena
itu, aneh jika ada
Sebenarnya, lanjut Bambang, saat
ini ada yang bisa dilakukan untuk memotong mata rantai korupsi, baik yang
bersumber dari eksekutif maupun legislatif. Calon presiden yang akan bertarung
di Pemilu 2014 bisa menjadi contoh untuk memberantas korupsi. Salah satunya
dengan berani mendeklarasikan hasil kekayaan dan bagaimana cara memperolehnya.
”Setelah itu calon presiden ini bisa berjanji jika ditemukan harta
kekayaan yang tak dilaporkannya, negara boleh merampas. Pasti apa yang
dilakukan presiden ini akan diikuti semua bawahannya,” katanya.
Kita masih menyimpan harapan pada
KPK yang lahir di era reformasi. Dengan kewenangan ekstra, penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan di satu atap, hingga tak adanya ketentuan
penghentian penyidikan, membuat KPK dapat diandalkan. Rakyat pun selalu memberi
dukungan saat KPK terus menangkap politisi dan pejabat korup. Tak boleh lelah
memberantas korupsi. Rakyat pun tidak boleh lupa bahwa sejarah korupsi terus
berulang di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar