Selasa, 23 Juli 2013

Menggali Potensi Zakat

Menggali Potensi Zakat
Ahmad Rofiq  ;  Pengawas Baznas/ Laznas Provinsi Jateng, Guru Besar Hukum Islam IAIN Walisongo, Sekretaris Umum MUI Jateng
SUARA MERDEKA, 22 Juli 2013


SEANDAINYA potensi zakat di Indonesia sebesar Rp 217,3 triliun, versi Baznas/ Laznas, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Islamic Development Bank (SM, 13/7/13), bisa dihimpun dengan baik dan didistribusikan secara adil dan merata guna memberdayakan ekonomi masyarakat kurang mampu maka 21,73 juta mustahik (orang yang berhak menerima zakat) dapat menggerakkan roda ekonominya dengan modal Rp 10 juta/ orang.

Modal Rp 10 juta/ orang bisa dianggap besar atau kecil, bergantung dari mana dan siapa yang mengelola. Bagi relawan dan pegiat LSM yang biasa mengelola kegiatan advokasi dan pemberdayaan masyarakat, nilai itu bisa dianggap cukup besar. Namun bagi pengelola ’’proyek’’ yang dibiayai APBN/ APBD, nilai itu dapat terlihat relatif kecil.

Data BPS 2010 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia 31,2 juta jiwa (13,33%) dari total populasi. Untuk mengurangi jumlah dan beban kehidupan mereka, pemerintah mengalokasikan dana (tahun jamak) secara berturut-turut tahun 2004 Rp 18 triliun, 2009 Rp 66,2 triliun, tahun 2010 Rp 80,1 triliun, dan tahun 2011 naik lagi hingga jadi Rp 86,1 triliun. Angka itu, menurut A Kasri dan Haryono (2011:4) masih belum sebanding dengan hasil pengurangan jumlah penduduk miskin.

Dibanding tahun 2004, penduduk miskin berkurang sekitar 5 juta orang, waktu itu penduduk miskin 36,1 juta orang (16,66%). Jadi total anggaran 2004-2010 untuk mengatasi kemiskinan sebesar Rp 343,3 triliun, atau rata-rata untuk mengentaskan per orang butuh Rp 67,6 juta.

Penyebutan angka tersebut tidak dengan pretensi tendensius apalagi negatif tetapi karena dana zakat dan pengelolanya lebih ke non-profit oriented, karena syariatnya memang untuk membuktikan kesalehan sosial, maka  betapa kita sebagai bagian besar bangsa ini, masih belum saleh secara sosial.
Muslim sudah seharusnya memiliki kepekaan sosial, sebagai misi sentral dari ibadah puasa Ramadan, agar dapat lebih me­nyempurnakan ibadah puasa dengan mengoptimalkan pembayaran zakat.

Gerakan Zakat

Jika dari potensi zakat Rp 217,3 triliun itu baru Rp 2,3 triliun yang tercatat di Baznas, berarti  itulah cermin angkaketidaksalehan sosial muslim Indonesia?  Apakah masih ada Rp 215 triliun yang tidak dibayarkan oleh orang-orang kaya (aghniya)? Itu masih perlu penelitian lanjutan.

Ataukah para muzaki  membayar zakat sekaligus mendistribusikan zakat secara langsung kepada mustahik? Belum ada data akurat tentang ini. Tidak bisa dimungkiri bahwa masih banyak orang kaya yang ingin membagi zakat lebih senang mendatangkan mustahik, yang antre panjang, bahkan di bawah terik matahari.
Memperlihatkan amal baik kepada orang lain atau media, memang tidak dilarang oleh agama,  sebagai amal yang baik. Tetapi jika membayar zakat dirahasiakan dan diserahkan melalui Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat, tentu lebih baik.

Jika Presiden SBY menyerahkan zakatnya melalui Baznas sebagai komitmen dukungan kepada satu-satunya amil yang legal sekaligus memberi contoh kepada masyarakat, diharapkan menjadi motivasi kuat bagi masyarakat, utamanya birokrat, untuk membayar zakat melalui amil.

Baznas/ Laznas atau BAZ/LAZ yang lain yang sudah eksis, diberi kesempatan terus bekerja, sambil menunggu peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Bagi yang baru dibentuk atau sudah berjalan namun tidak memiliki izin Baznas maka perlu mendapatkan izin.

Pasal 38 UU itu menyebutkan,’’ Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat berwenang’’. Apabila ada pihak yang ingin membentuk amil untuk menghimpun zakat, tanpa izin, diancam dengan hukuman kurungan paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta.

Akuntabilitas

Data bahwa Rp 2,3 triliun yang sudah terurus oleh Baznas menunjukkan secara kasat mata kepercayaan (trust) dan penghargaan (respect) masyarakat muzaki kepada BAZ/LAZ masih sangat rendah. Karena itu, lembaga Baznas/ Laznas yang diamanati oleh undang-undang menjadi operator dan regulator tunggal perzakatan Indonesia, harus bekerja lebih serius dan optimal.

Demikian juga Baznas/ Laznas provinsi menjadi kepanjangan tangan Baznas/ Laznas Pusat, dapat meningkatkan kinerjanya secara lebih terukur. Baznas/ Laznas kabupaten/kota yang boleh jadi ada yang lebih aktif, perlu diajak berkoordinasi secara lebih cepat. Garis komando yang diamanatkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 sebagai lembaga hierarkis sudah harus dimulai saat ini sembari menunggu kepastian berlaku­nya.

Hal itu mengingat bahwa beban pekerjaan Baznas/ Laznas kabupaten/ kota sebenarnya jika mereka melaporkan kepada bupati/ wali kota dan ketua DPRD setempat, tinggal menambah fotokopinya untuk dikirim ke Baznas/Laznas provinsi, dan selanjutnya Baznas/Laznas provinsi melaporkan ke Baznas Pusat.

Yang lebih penting lagi, sudah saatnya Baznas/ Laznas provinsi melengkapi lembaganya dengan teknologi informatika (IT) guna memudahkan para muzaki sekaligus lebih memudahkan pengontrolan. Allah a’lam bi al-shawab. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar