|
SUARA
MERDEKA, 22 Juli 2013
SEANDAINYA potensi
zakat di Indonesia sebesar Rp 217,3 triliun, versi Baznas/ Laznas, Institut
Pertanian Bogor (IPB), dan Islamic
Development Bank (SM, 13/7/13), bisa dihimpun dengan baik dan
didistribusikan secara adil dan merata guna memberdayakan ekonomi masyarakat
kurang mampu maka 21,73 juta mustahik (orang yang berhak menerima zakat) dapat
menggerakkan roda ekonominya dengan modal Rp 10 juta/ orang.
Modal Rp 10 juta/ orang bisa dianggap besar atau kecil,
bergantung dari mana dan siapa yang mengelola. Bagi relawan dan pegiat LSM yang
biasa mengelola kegiatan advokasi dan pemberdayaan masyarakat, nilai itu bisa
dianggap cukup besar. Namun bagi pengelola ’’proyek’’ yang dibiayai APBN/ APBD,
nilai itu dapat terlihat relatif kecil.
Data BPS 2010 menunjukkan jumlah penduduk miskin di
Indonesia 31,2 juta jiwa (13,33%) dari total populasi. Untuk mengurangi jumlah
dan beban kehidupan mereka, pemerintah mengalokasikan dana (tahun jamak) secara
berturut-turut tahun 2004 Rp 18 triliun, 2009 Rp 66,2 triliun, tahun 2010 Rp
80,1 triliun, dan tahun 2011 naik lagi hingga jadi Rp 86,1 triliun. Angka itu,
menurut A Kasri dan Haryono (2011:4) masih belum sebanding dengan hasil
pengurangan jumlah penduduk miskin.
Dibanding tahun 2004, penduduk miskin berkurang sekitar 5
juta orang, waktu itu penduduk miskin 36,1 juta orang (16,66%). Jadi total
anggaran 2004-2010 untuk mengatasi kemiskinan sebesar Rp 343,3 triliun, atau
rata-rata untuk mengentaskan per orang butuh Rp 67,6 juta.
Penyebutan angka tersebut tidak dengan pretensi tendensius
apalagi negatif tetapi karena dana zakat dan pengelolanya lebih ke non-profit
oriented, karena syariatnya memang untuk membuktikan kesalehan sosial,
maka betapa kita sebagai bagian besar bangsa ini, masih belum saleh
secara sosial.
Muslim sudah seharusnya memiliki kepekaan sosial, sebagai
misi sentral dari ibadah puasa Ramadan, agar dapat lebih menyempurnakan ibadah
puasa dengan mengoptimalkan pembayaran zakat.
Gerakan Zakat
Jika dari potensi zakat Rp 217,3 triliun itu baru Rp 2,3
triliun yang tercatat di Baznas, berarti itulah cermin
angkaketidaksalehan sosial muslim Indonesia? Apakah masih ada Rp 215
triliun yang tidak dibayarkan oleh orang-orang kaya (aghniya)? Itu masih perlu
penelitian lanjutan.
Ataukah para muzaki membayar zakat sekaligus
mendistribusikan zakat secara langsung kepada mustahik? Belum ada data akurat
tentang ini. Tidak bisa dimungkiri bahwa masih banyak orang kaya yang ingin
membagi zakat lebih senang mendatangkan mustahik, yang antre panjang, bahkan di
bawah terik matahari.
Memperlihatkan amal baik kepada orang lain atau media,
memang tidak dilarang oleh agama, sebagai amal yang baik. Tetapi jika
membayar zakat dirahasiakan dan diserahkan melalui Badan Amil Zakat (BAZ) yang
dibentuk pemerintah atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat,
tentu lebih baik.
Jika Presiden SBY menyerahkan zakatnya melalui Baznas
sebagai komitmen dukungan kepada satu-satunya amil yang legal sekaligus memberi
contoh kepada masyarakat, diharapkan menjadi motivasi kuat bagi masyarakat, utamanya
birokrat, untuk membayar zakat melalui amil.
Baznas/ Laznas atau BAZ/LAZ yang lain yang sudah eksis,
diberi kesempatan terus bekerja, sambil menunggu peraturan pemerintah yang
mengatur pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Bagi
yang baru dibentuk atau sudah berjalan namun tidak memiliki izin Baznas maka
perlu mendapatkan izin.
Pasal 38 UU itu menyebutkan,’’ Setiap orang dilarang dengan
sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian,
atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat berwenang’’. Apabila ada pihak yang
ingin membentuk amil untuk menghimpun zakat, tanpa izin, diancam dengan hukuman
kurungan paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta.
Akuntabilitas
Data bahwa Rp 2,3 triliun yang sudah terurus oleh Baznas
menunjukkan secara kasat mata kepercayaan (trust)
dan penghargaan (respect) masyarakat
muzaki kepada BAZ/LAZ masih sangat rendah. Karena itu, lembaga Baznas/ Laznas
yang diamanati oleh undang-undang menjadi operator dan regulator tunggal
perzakatan Indonesia, harus bekerja lebih serius dan optimal.
Demikian juga Baznas/ Laznas provinsi menjadi kepanjangan
tangan Baznas/ Laznas Pusat, dapat meningkatkan kinerjanya secara lebih terukur.
Baznas/ Laznas kabupaten/kota yang boleh jadi ada yang lebih aktif, perlu
diajak berkoordinasi secara lebih cepat. Garis komando yang diamanatkan dalam
UU Nomor 23 Tahun 2011 sebagai lembaga hierarkis sudah harus dimulai saat ini
sembari menunggu kepastian berlakunya.
Hal itu mengingat bahwa beban pekerjaan Baznas/ Laznas
kabupaten/ kota sebenarnya jika mereka melaporkan kepada bupati/ wali kota dan
ketua DPRD setempat, tinggal menambah fotokopinya untuk dikirim ke Baznas/Laznas
provinsi, dan selanjutnya Baznas/Laznas provinsi melaporkan ke Baznas Pusat.
Yang lebih penting lagi, sudah saatnya Baznas/ Laznas
provinsi melengkapi lembaganya dengan teknologi informatika (IT) guna
memudahkan para muzaki sekaligus lebih memudahkan pengontrolan. Allah a’lam bi al-shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar