|
SUARA
KARYA, 22 Juli 2013
Saat ini nilai tukar rupiah
mengalami tekanan yang luar biasa berat. Tekanan yang dimulai sejak awal 2012
itu nyatanya tak kunjung reda. Jangankan menguat, rupiah saat ini bahkan terus
bergerak jauh melampaui kisaran Rp 10.000 per dolar AS. Hal ini diperkirakan
terus berlanjut karena sama sekali tidak ada faktor positif yang bisa membuat
rupiah menguat.
Neraca perdagangan kita mengalami
defisit. Nilai ekspor jauh lebih rendah daripada impor. Tak ada eksportir yang
mau melepas dolarnya. Mereka bahkan cenderung terus menyimpannya untuk
mendapatkan keutungan yang jauh lebih besar. Dengan kata lain, kita mengalami
kekurangan likuiditas.
Selain itu, masih terjadi aksi
profit taking. Investor asing keluar dari pasar modal dengan membawa dana lebih
dari Rp 20 triliun, yang tentu saja mereka tukarkan dengan dolar. Ekspektasi
negatif sebelumnya telah terbangun ketika pemerintah begitu bertele-tele untuk
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Kemudian, harga BBM justru
dinaikkan pada waktu yang kurang pas, saat menjelang bulan Ramadhan di mana
permintaan terhadap barang pada bulan itu biasanya cukup tinggi. Terbukti,
harga bahan pokok saat ini di luar kendali. Maka, diperkirakan inflasi akan
jauh di bawah prediksi pemerintah sebesar 7,2 persen.
Semua faktor itu tentu membuat
nilai tukar kita makin tidak bernilai. Mana ada orang yang mau nemegang mata
uang yang inflasinya jauh lebih tinggi daripada bunganya? Sangat aneh jika ada
yang mengatakan rupiah di kisasan Rp 10.000 adalah rupiah dinilai
fundamentalnya atau dianggap telah mencapai keseimbangan baru.
Justru rupiah di kisaran Rp 10.000
akan mengganggu fundamental ekonomi kita, berdampak sangat negatif pada seluruh
aspek perekonomian kita. Pelemahan rupiah sudah keterlaluan. Dalam jangka waktu
hanya satu setengah tahun, rupiah terdepresiasi lebih dari Rp 1.000. Tak ada
satu pun negara di regional Asia yang mengalami hal itu, bahkan saat ekonomi
dunia memburuk sekalipun.
Bayangkan, dengan dolar yang
begitu mahal, impor barang kita pun makin tinggi nilai yang harus dibayarkan.
Belum lagi, utang valas swasta, meski mereka mendapat bunga rendah, akhirnya
malah habis-habisan karena ditekan dolar yang mahal. Apalagi, Bank Indonesia
(BI) juga telah menaikkan BI Rate dengan besaran cukup signifikan. Dunia usaha
pun bisa makin babak belur dan harus berhati-hati menyusul potensi akan
timbulnya kredit macet.
Di sisi pemerintah, dampak negatif
yang timbul akibat nilai tukar yang anjlok juga tak kalah besar. Impor BBM
harus dibayar jauh lebih mahal, demikian pula halnya dengan utang valas
pemerintah, akan makin membengkak.
Oleh karena itu, pemerintah
sebaiknya jangan berdiam diri. Jangan lagi mengandalkan BI melakukan intervensi
karena cadangan devisa kita sudah makin menipis. Jangan enggan melakukan
pengendalian devisa, dengan memberikan holding period. Bukannya hanya meminta
devisa ekspor masuk bank dalam negeri, namun tak mengatur kapan dan bagaimana
devisa itu bisa ke luar lagi.
Percayalah, tanpa pengendalian
devisa, rupiah kita akan makin rontok dan ekonomi kita tentu akan mendapatkan
imbasnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar