Rabu, 24 Juli 2013

Konvensi dan Lemahnya Kaderisasi

Konvensi dan Lemahnya Kaderisasi
Suhardi Suryadi  ;  Direktur Program Prisma Resource Centre-LP3ES
KOMPAS, 23 Juli 2013


Rencana konvensi Partai Demokrat menjaring calon presiden dan calon wakil presiden tidak terlepas dari kegalauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap tiadanya kader-kader Partai Demokrat yang layak dicalonkan sebagai kandidat Pemilu Presiden 2014.

Sebagian orang memandang positif rencana konvensi tersebut, karena akan menghasilkan pemimpin alternatif yang mumpuni membawa kemajuan bangsa Indonesia. Namun, sebagian pengamat melihat konvensi tidak lebih dari pergelaran politik untuk meningkatkan citra partai yang terpuruk akibat berbagai kasus korupsi beberapa kader Partai Demokrat.
Terlepas dari sikap pro-kontra, konsep penyelenggaraan konvensi itu agaknya dibangun secara terbuka. Elite Partai Demokrat seolah hendak memupuk citra bahwa ”pendekatan” konvensi itu sangat rasional, fair, dan tidak subyektif (akal-akalan); siapa pun bisa ikut berlaga sepanjang memenuhi kriteria yang ditentukan oleh ”komite independen”.
Penentuan capres-cawapres pun didasarkan pada pendapat masyarakat yang dijaring melalui survei beberapa lembaga, bukan oleh pimpinan Partai Demokrat. Hal ini berbeda dengan konvensi Partai Golkar pada 2004 yang mekanismenya agak tertutup.
Kegagalan partai
Konvensi sesungguhnya merupakan cermin kegagalan fungsi partai politik melakukan proses perekrutan dan pendidikan kader sebagai pemimpin bangsa. Ini terjadi pada semua partai dan hanya Presiden SBY yang jujur mengakui.
Dalam kehidupan partai politik dewasa ini, proses perekrutan dan kaderisasi bersifat organik dalam struktur partai yang dicirikan oleh pelapisan berbagai organisasi onderbouw atau organisasi massa yang semakin tidak diperlukan.
Proses kaderisasi yang dikembangkan partai-partai modern-pragmatik-profesional saat ini lebih banyak mengandalkan ”pemasaran dan iklan politik” sebagaimana dituntut oleh political images and image building. Kontak berhadapan muka (face to face) dengan rakyat berubah menjadi lebih mediated contacts melalui alat-alat komunikasi modern dalam arti seluas-luasnya.
Dalam keseharian, rakyat (pemilih) kurang diemong dan dijaga kedekatannya. Oleh karena itu wajar kalau rakyat tidak mengenal kader (pengurus) partai, sekalipun di tingkat kecamatan. Jadi, konvensi adalah salah satu upaya untuk menyelamatkan pamor partai agar tidak semakin meredup. Ada kesan konvensi juga menjadi wahana untuk ”membajak” kader partai lain.
Pola penjaringan secara terbuka seperti itu jelas membuka peluang bagi individu tertentu dari luar partai yang dahaga kekuasaan untuk ikut ”bertarung”. Hal demikian berbeda dengan model konvensi di Amerika Serikat.
Semua calon yang berkompetisi berasal dari lingkungan dan internal partai serta merupakan figur yang tangguh dalam pemikiran (visi), stamina, dan juga sumber daya keuangan. Mereka dipilih berdasarkan kapabilitas, kapasitas, dan integritas.
Pada konvensi Partai Demokrat, capres-cawapres ditentukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga survei. Mekanisme penentuan capres-cawapres melalui survei adalah cara yang fair, logis, dan secara keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.
Di sisi lain, survei untuk konvensi menuntut metode yang tepat dan benar. Survei preferensi yang selama ini dipakai sebagai alat ukur, misalnya, tidak bisa dipergunakan karena hanya melihat elektabilitas berdasarkan popularitas.
Hal ini berbahaya karena konvensi hanya ”memilih” kandidat yang populer, tetapi tidak memiliki kapabilitas, kapasitas, dan integritas sebagai pemimpin. Kian berbahaya lagi manakala berbagai lembaga survei mengeluarkan hasil berbeda-beda. Jika demikian, konvensi tidak jauh berbeda dengan panggung hiburan Indonesia Idol; pemenangnya yang paling populer meski kualitas suara tidak terlalu bagus.
Pelembagaan konvensi
Rencana konvensi Partai Demokrat dalam penentuan capres-cawapres 2014 ─meski terdapat keterbatasan di sana-sini─ barangkali bisa dijadikan titik awal bagi semua partai politik di negeri ini sebagai medium seleksi pemimpin bangsa yang memiliki kapabilitas, kapasitas, dan integritas. Para calon yang mengikuti konvensi seharusnya berasal dari kalangan internal partai yang sudah ditempa, teruji, dan berhasil dalam kepemimpinannya.
Konvensi seyogianya tidak dijadikan ajang pelampiasan, pelarian, atau penyelamatan yang dilakukan saat terjadi krisis kepemimpinan dan meredupnya pamor partai. Sementara itu ketika situasi kembali ”normal”, penentuan capres-cawapres dibawa kembali ke mekanisme tradisional, yaitu kongres partai yang sebatas mengukuhkan ketua umum partai bersangkutan sebagai calon.

Konvensi adalah suatu keniscayaan dalam perkembangan masyarakat politik yang terbuka dan demokratis. Tanpa melembagakan konvensi sebagai mekanisme penentuan calon pemimpin bangsa, maka selamat tinggal kader partai yang potensial menjadi pemimpin masa depan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar