|
KOMPAS,
23 Juli 2013
Walaupun Komisi I DPR menolak melanjutkan pembahasan RUU
Komponen Cadangan, pemerintah terkesan tetap ngotot membahas draf ini.
Semangat itu setidaknya tergambar jelas dalam tulisan Budi
Susilo Soepandji bertajuk ”Bias RUU Komponen Cadangan” (Kompas, 9/7). Tulisan
ini akan merespons artikel tersebut, yang menganggap pengkritik RUU Komponen
Cadangan sebagai pihak yang berpandangan sempit.
Sebagai Ketua Pokja RUU Komponen Cadangan (Komcad)
(2005-2009), tentu sangat wajar jika Budi Susilo sangat menginginkan draf
tersebut dibahas parlemen. Namun, keinginan kuat pemerintah untuk mengegolkan
draf tersebut tak selaras dengan upaya yang dilakukan. Dalam rapat konsultasi
di DPR pada 11 Januari 2011 dan 26 Oktober 2011, sudah disepakati untuk menunda
pembahasan RUU Komcad sambil menunggu pembahasan RUU Keamanan Nasional.
Komisi I DPR pernah meminta penyempurnaan dokumen RUU
Komcad sebelum dilakukan pembahasan. Namun, hingga Rapat Kerja Komisi I DPR
dengan Kementerian Pertahanan pada 20 Mei silam, masih belum satu pun pasal
yang diperbaiki. Hasilnya pun tidak mengherankan dan masih sama. Komisi I tetap
menolak pembahasan RUU Komcad. Ngotot-nya pemerintah yang tetap memajukan
draf kontroversial tersebut jelas menimbulkan pertanyaan besar. Ada apa di
balik ini?
Diskriminatif dan gagal
Sungguh tidak bisa dimungkiri keberadaan RUU Komcad amanat
dari legislasi pendahulunya, UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara. RUU Komcad
satu dari pekerjaan rumah yang diwariskan UU yang mengatur sektor keamanan.
Sayangnya, sikap ngotot serupa yang ditunjukkan pemerintah tak tampak
pada pekerjaan rumah lain, seperti pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (Pasal
15 UU No 3/2002) atau revisi UU Peradilan Militer (Pasal 64 jo Pasal
74 UU No 34/2004 tentang TNI).
Sikap ”diskriminatif” pemerintah lainnya jelas terlihat di
dalam draf RUU Komcad. Dalam RUU ini, secara eksplisit, pemerintah hanya akan
membebankan ”wajib militer” pada tiga jenis profesi: pekerja, buruh, dan
pegawai negeri sipil, termasuk di dalamnya mantan prajurit TNI (Pasal 8 Ayat 1
dan 2). Padahal, masih ada banyak profesi di luar itu. Mengapa artis, anggota
DPR atau pengusaha, misalnya, tak dilabeli ”wajib” mengikuti program komponen
cadangan?
Di sisi lain, dalam artikelnya, Budi Susilo Soepandji
menyebutkan adanya pemahaman keliru yang melekatkan Komcad sebagai wajib
militer. Padahal, persepsi itu jika ditelaah lebih lanjut justru berasal dari
draf RUU Komcad itu sendiri. Setidaknya ada 27 pasal dari 44 pasal RUU Komcad
atau sekitar 61,2 persen klausul yang mengatur mengenai anggota komponen
cadangan manusia. Bandingkan dengan klausa yang mengatur penggunaan sumber daya
alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional untuk komponen
cadangan yang hanya 6 pasal (13,6 persen). Ini berarti draf RUU ini jelas
menitikberatkan pada pengaturan orang sebagai komponen cadangan daripada
mengatur secara umum apa, bagaimana, dan mengapa kita butuh Komcad.
Secara sederhana, setidaknya ada lima kegagalan pemerintah
dalam meyakinkan publik tentang urgensi Komcad melalui RUU ini. Pertama, RUU
ini jelas tidak menganut prinsip universalitas HAM yang menjamin adanya
perbedaan keyakinan yang dianut warga negara. Budi Susilo Soepandji dapat saja
berargumen bahwa RUU ini bersifat sukarela. Namun, hal tersebut otomatis
terbantahkan dengan ketiadaan mekanisme penolakan (conscientious objection)
yang dimiliki warga negara. Secara tersirat, dalam RUU ini negara memiliki daya
paksa yang diwujudkan dengan ancaman sanksi satu tahun penjara di samping tidak
ada penegasan yang menyatakan perekrutan sukarela.
Kedua, pemerintah tidak berhasil menunjukkan ancaman
strategis seperti apa yang dihadapi Indonesia dalam 20-25 tahun mendatang yang
membutuhkan personel komponen cadangan yang sangat banyak. Ketika tren
kehadiran manusia dalam perang lambat laun dikurangi dan diganti dengan kemajuan
teknologi, Indonesia malah lebih sibuk menyiapkan personel cadangan yang
banyak.
Ketiga, pemerintah tidak mampu memberikan penjelasan
memadai tentang alat ukur keberadaan Komcad. Alat ukur ini menjadi penting
untuk menilai sejauh mana kontribusi dan efektivitas keberadaan Komcad dalam
menanggulangi ancaman di masa mendatang. Yang ada justru tidak adanya batasan
dan aturan yang jelas mengenai Komcad.
Keempat, pemerintah gagal memberi jaminan yang terukur
mengenai keberadaan Komcad akan memperbesar dan memperkuat kekuatan serta
kemampuan TNI sebagai komponen utama pertahanan negara. Ketiadaan batasan umur
maksimal dan pendidikan dalam perekrutan justru semakin mengaburkan tingkat
efektivitas keberadaan Komcad sekaligus memberi ketidakpastian akan adanya penguatan
kualitas TNI.
Terakhir, yang justru berpotensi menabrak UU lain, RUU ini
justru membuka celah bagi sumber pendanaan selain negara untuk ikut membiayai
Komcad (Pasal 37). Padahal, Pasal 25 UU No 3/2002 dan Pasal 66 UU No 34/2004
sudah tegas menyebutkan, pembiayaan anggaran pertahanan dipenuhi APBN.
Jujur
Sudah semestinya beda pendapat dalam diskursus publik
diapresiasi pemerintah. Tidak ada dalam diskursus publik itu yang
sesat-menyesatkan. Pada prinsipnya, penuangan gagasan dan ide intelektual
adalah kekayaan demokrasi. Pandangan berbeda yang diungkapkan kelompok
masyarakat sipil terhadap sebuah isu seyogianya diterima sebagai masukan, bukan
malah menuduh pihak yang berpandangan berbeda itu menyesatkan. Biarlah rakyat
yang menilai mana pendapat yang lebih rasional dari ragam pandangan yang ada.
Ada baiknya pernyataan KSAD Jenderal Moeldoko tentang
pentingnya saling tukar informasi dengan jujur (Kompas, 9/7/2013) patut
dirintis dan direalisasikan. Mimpi untuk sederajat, saling pengertian, dan
saling percaya sipil-militer guna membangun sistem pertahanan negara yang
kokoh, seperti yang dituliskan Budi Susilo Soepandji, bukanlah sebuah
keniscayaan apalagi kemustahilan.
Membangun harmoni sipil- militer semestinya diletakkan
sebagai cita-cita mulia bersama. Untuk menuju ke arah itu, tentu membutuhkan
waktu serta kesadaran bersama, bukan cara instan, apalagi disertai pemaksaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar