Selasa, 02 Juli 2013

Impian Pertumbuhan dari Sorong

Impian Pertumbuhan dari Sorong
Nasrullah Nara ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Joseph Fatari (41) tersenyum kecut melihat kehebohan unjuk rasa kenaikan harga bahan bakar minyak di Pulau Jawa, terkait pengurangan subsidi dari negara. Sebagai nelayan yang tiap hari menjelajahi perairan Sorong, Papua Barat, Joseph sudah terbiasa membeli solar dengan harga Rp 10.000 per liter. Ada atau tidak adanya pengurangan subsidi, sebetulnya warga Sorong sudah tiap hari terzolimi harga BBM.
Bermukim jauh dari sentra produksi bahan pokok, Joseph Fatari dan warga Papua Barat umumnya juga babak belur dengan disparitas harga. Harga beras di kawasan itu mencapai 2-3 kali lipat dari yang berlaku di Jawa.

Bergeser sedikit ke wilayah yang lebih timur akan ditemukan kisah yang lebih pahit. Warga Pegunungan Tengah, Provinsi Papua, terpaksa membeli semen seharga Rp 1 juta per zak. Warga yang berstatus pegawai negeri sipil dengan gaji rata-rata Rp 2 juta-Rp 3 juta, niscaya harus memendam impiannya untuk membangun rumah permanen.

Semua ini berpangkal dari mahalnya ongkos transportasi antarpulau! Lalu, apa pula ”dosanya” bila warga harus lahir tidak sebagai penduduk Pulau Jawa? Mengapa harus memikul beban kesenjangan pembangunan?
Lupakan sejenak kisah sedih tersebut. Di tengah pasang-surut situasi keamanan dan kenyamanan hidup di tanah Papua, muncul seberkas sinar harapan akan membaiknya kehidupan masyarakat terkait alur distribusi barang dan jasa.

Dua tahun terakhir, pemerintah pusat dan Indonesia Port Corporation (IPC) terus membahas konsep Pendulum Nusantara. Sebuah konsep yang memandang Sorong sebagai bagian penting dari urat nadi perekonomian berbasis maritim. Kelak, Sorong yang terletak di bagian kepala burung cenderawasih menjadi titik ujung ayunan ”pendulum”, sebelum kemudian bandulnya berayun ke arah sebaliknya.

Pendulum Nusantara merupakan program bersama IPC dengan Pelindo I, Pelindo III, dan Pelindo IV untuk mengintegrasikan operasional sejumlah pelabuhan besar. Program itu bertujuan menurunkan biaya logistik di Indonesia. Pendulum Nusantara sekaligus mendukung Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.

Ada enam pelabuhan utama yang telah ditetapkan untuk program itu, yakni Belawan (Medan), Batam (Kepulauan Riau), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Sorong (Papua Barat). Agar efisien, koridor utama didesain melayani kapal besar berisi 3.000-3.500 peti kemas ukuran 20 kaki (twenty foot equivalent units/TEU). Muatannya dipasok oleh kapal pengumpan (feeder) berukuran lebih kecil, berisi peti kemas 500-1.500 TEU dari pelabuhan cabang.

Berdasarkan data dari Persatuan Pengusaha Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (Indonesia National Shipowners Association/INSA), biaya pelabuhan secara akumulatif, baik berbagai ongkos pelabuhan muat maupun ongkos pelabuhan tujuan, diperkirakan 27-36 persen. Sementara komponen biaya angkutan darat sekitar 9-16 persen.

Semua pihak terkait berharap, Pendulum Nusantara akan menekan biaya pengiriman kontainer. Untuk ukuran 20 kaki dari Jakarta ke Belawan, misalnya, diprediksi turun dari Rp 6 juta menjadi Rp 3 juta. Selain meningkatkan kapasitas dan efisiensi, sistem koridor juga memungkinkan terciptanya daya beli yang lebih besar.

Menurut rencana, di Sorong akan dibangun pelabuhan hub yang memenuhi spesifikasi tersebut. Pelabuhan Sorong yang ada selama ini hanya layak untuk kapal penumpang.

Pelabuhan baru direncanakan dibangun seluas 17 hektar di Pulau Teleme, Distrik Seget, Kabupaten Sorong. Pulau Teleme dinilai tepat sebagai lokasi pelabuhan baru, antara lain, karena panjang pantainya mencapai 3 kilometer.

Mengatasi kesenjangan

Bila dicermati lebih jauh, konsep ini mencoba mengatasi kesenjangan perekonomian di Tanah Air, termasuk di antaranya wilayah Papua. Sebab, dari dulu, Sorong merupakan salah satu urat nadi perekonomian Papua. Mengefisienkan mobilitas barang dan jasa, antara lain, kunci bergairahnya investasi di sebuah kawasan.
Harapannya, wilayah yang terbelakang yang dijadikan pusat pertumbuhan, maka dengan sendirinya segala daya upaya dikerahkan untuk menjadikan daerah tersebut strategis.

Selain merangsang investasi, hal itu juga menekan laju impor komoditas. Sebutlah jeruk dan daging sapi. Kita ingin produk domestik menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Bahwa belum ada produk yang layak diangkut dari Sorong, itu soal lain dan sesungguhnya menyentuh kewenangan Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, serta institusi terkait di tingkat pusat dan daerah. Yang penting adalah terlebih dulu menyediakan infrastruktur dan fasilitas pendukung.

Sayangnya, meski bolak-balik dibahas di tingkat kementerian dan kantor Wakil Presiden, konsep ini belum juga bisa terealisasi di lapangan. Konsep ini masih terus dikaji. Pertengahan Mei lalu, perkembangan terbaru yang dilakukan IPC adalah menggandeng Bank Dunia untuk melakukan kajian tentang pelabuhan penghubung yang berpotensi diikutsertakan dalam program Pendulum Nusantara. Hasil kajian akan menjadi patokan bagi BUMN pengelola pelabuhan untuk menentukan pelabuhan mana yang diprioritaskan pengembangannya.

Menurut Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia Port Corporation (IPC) RJ Lino, studi tentang pelabuhan penghubung ini penting untuk mendukung terlaksananya program Pendulum Nusantara. ”Dalam program Pendulum Nusantara, pelabuhan-pelabuhan utama memang sudah ditetapkan. Tapi, kalau pelabuhan penghubungnya tidak ada, ya tidak bisa jalan juga,” ujarnya.

Rencana menjadikan Sorong sebagai mata rantai logistik dan distribusi barang jasa tampaknya masih harus bergelimang dengan kendala klasik di negeri ini, yakni koordinasi. Kata ”koordinasi” memang amat mudah dan enak dipidatokan, tetapi rupanya tidak mudah dilakoni. Pembangunan Pelabuhan Sorong mundur dan molor tak lain karena faktor koordinasi.

Lino mengakui, pembangunan Pelabuhan Sorong awalnya ditargetkan mulai 2012. Tapi, karena belum adanya izin Kementerian Perhubungan, rencana pembangunan mundur. Praktis pengoperasian Pelabuhan Sorong juga akan mundur, menjadi tahun 2014, dari sebelumnya ditargetkan tahun ini.

Bahkan, menurut Direktur Jenderal Perhubungan Laut Capt Bobby R Mamahit, anggaran untuk Pendulum Nusantara belum tersedia. Kalau pembahasan makin serius, kira-kira APBN baru bisa cair tahun 2015. UU Pelayaran mengatur, APBN, antara lain, untuk memperdalam alur dan kolam pelabuhan. Lino menekankan soal perizinan. ”Kalau izin keluar, kami langsung proses membangun,” kata Lino.

Untuk mengatasi kendala itu, perlu keputusan presiden untuk mempercepat turunnya izin. Salah satu yang perlu direvisi dalam keputusan presiden itu adalah kewajiban tender menjadi penunjukan langsung.

Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono ikut memperjelas wacana Pendulum Nusantara dengan menekankan empat pekerjaan utama. Pertama, meningkatkan prasarana pelabuhan. Kedua, membeli kapal lebih besar supaya lebih efisien. Ketiga, membangun sistem teknologi informasi penghubung semua pelabuhan utama. Keempat, meningkatkan sumber daya manusia.

Ditambah lambannya pengambilan keputusan di pucuk pemerintahan, lengkaplah sudah faktor-faktor yang menjadikan Pendulum Nusantara masih sebatas wacana.

Rapat-rapat yang diadakan selama ini saatnya makin terukur. Alangkah eloknya bila pemerintahan SBY-Boediono yang tinggal setahun ini bisa meninggalkan hasil yang monumental dan strategis bagi negara maritim ini.

Rakyat dan tentunya pelaku usaha sudah jenuh mendengar dan mengalami kisah-kisah buram terkait infrastruktur di negeri ini. Perlu langkah revolusioner menyikapi daya saing global negeri maritim ini.

Sebuah negara, yang seharusnya logistiknya lebih dominan digerakkan melalui laut, justru lupa membenahi infrastruktur pelabuhan. Dalam survei soal daya saing global oleh Forum Ekonomi Dunia, kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia dinilai semakin kalah bersaing.

Tahun 2010-2011, Indonesia di peringkat ke-96. Setahun kemudian (2011-2012) merosot menjadi peringkat ke-103. Laporan termutakhir (2012-2013) bahkan menempatkan kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia pada peringkat ke-104 dari 144 negara.

Seminar Infrastructure Outlook 2013 yang diselenggarakan harian Kompas pada Januari 2013 mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama ini dibanggakan petinggi republik ini sebetulnya akan semakin baik apabila biaya logistik bisa diturunkan. Pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan transportasi tak boleh diulur-ulur.

Jangan sampai Pendulum Nusantara lebih berupa konsep di atas kertas, yang hanya memberi harapan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar