|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Joseph Fatari (41) tersenyum kecut
melihat kehebohan unjuk rasa kenaikan harga bahan bakar minyak di Pulau Jawa,
terkait pengurangan subsidi dari negara. Sebagai nelayan yang tiap hari
menjelajahi perairan Sorong, Papua Barat, Joseph sudah terbiasa membeli solar
dengan harga Rp 10.000 per liter. Ada atau tidak adanya pengurangan subsidi,
sebetulnya warga Sorong sudah tiap hari terzolimi harga BBM.
Bermukim jauh dari sentra produksi
bahan pokok, Joseph Fatari dan warga Papua Barat umumnya juga babak belur
dengan disparitas harga. Harga beras di kawasan itu mencapai 2-3 kali lipat
dari yang berlaku di Jawa.
Bergeser sedikit ke wilayah yang
lebih timur akan ditemukan kisah yang lebih pahit. Warga Pegunungan Tengah,
Provinsi Papua, terpaksa membeli semen seharga Rp 1 juta per zak. Warga yang
berstatus pegawai negeri sipil dengan gaji rata-rata Rp 2 juta-Rp 3 juta,
niscaya harus memendam impiannya untuk membangun rumah permanen.
Semua ini berpangkal dari mahalnya
ongkos transportasi antarpulau! Lalu, apa pula ”dosanya” bila warga harus lahir
tidak sebagai penduduk Pulau Jawa? Mengapa harus memikul beban kesenjangan
pembangunan?
Lupakan sejenak kisah sedih
tersebut. Di tengah pasang-surut situasi keamanan dan kenyamanan hidup di tanah
Papua, muncul seberkas sinar harapan akan membaiknya kehidupan masyarakat
terkait alur distribusi barang dan jasa.
Dua tahun terakhir, pemerintah
pusat dan Indonesia Port Corporation (IPC) terus membahas konsep Pendulum
Nusantara. Sebuah konsep yang memandang Sorong sebagai bagian penting dari urat
nadi perekonomian berbasis maritim. Kelak, Sorong yang terletak di bagian
kepala burung cenderawasih menjadi titik ujung ayunan ”pendulum”, sebelum
kemudian bandulnya berayun ke arah sebaliknya.
Pendulum Nusantara merupakan
program bersama IPC dengan Pelindo I, Pelindo III, dan Pelindo IV untuk
mengintegrasikan operasional sejumlah pelabuhan besar. Program itu bertujuan
menurunkan biaya logistik di Indonesia. Pendulum Nusantara sekaligus mendukung
Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Ada enam pelabuhan utama yang telah
ditetapkan untuk program itu, yakni Belawan (Medan), Batam (Kepulauan Riau),
Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), Makassar (Sulawesi Selatan),
dan Sorong (Papua Barat). Agar efisien, koridor utama didesain melayani kapal
besar berisi 3.000-3.500 peti kemas ukuran 20 kaki (twenty foot equivalent units/TEU). Muatannya dipasok oleh kapal
pengumpan (feeder) berukuran lebih
kecil, berisi peti kemas 500-1.500 TEU dari pelabuhan cabang.
Berdasarkan data dari Persatuan
Pengusaha Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (Indonesia National Shipowners Association/INSA), biaya pelabuhan
secara akumulatif, baik berbagai ongkos pelabuhan muat maupun ongkos pelabuhan
tujuan, diperkirakan 27-36 persen. Sementara komponen biaya angkutan darat
sekitar 9-16 persen.
Semua pihak terkait berharap, Pendulum
Nusantara akan menekan biaya pengiriman kontainer. Untuk ukuran 20 kaki dari
Jakarta ke Belawan, misalnya, diprediksi turun dari Rp 6 juta menjadi Rp 3
juta. Selain meningkatkan kapasitas dan efisiensi, sistem koridor juga
memungkinkan terciptanya daya beli yang lebih besar.
Menurut rencana, di Sorong akan
dibangun pelabuhan hub yang memenuhi spesifikasi tersebut. Pelabuhan Sorong
yang ada selama ini hanya layak untuk kapal penumpang.
Pelabuhan baru direncanakan
dibangun seluas 17 hektar di Pulau Teleme, Distrik Seget, Kabupaten Sorong.
Pulau Teleme dinilai tepat sebagai lokasi pelabuhan baru, antara lain, karena
panjang pantainya mencapai 3 kilometer.
Mengatasi kesenjangan
Bila dicermati lebih jauh, konsep
ini mencoba mengatasi kesenjangan perekonomian di Tanah Air, termasuk di
antaranya wilayah Papua. Sebab, dari dulu, Sorong merupakan salah satu urat
nadi perekonomian Papua. Mengefisienkan mobilitas barang dan jasa, antara lain,
kunci bergairahnya investasi di sebuah kawasan.
Harapannya, wilayah yang
terbelakang yang dijadikan pusat pertumbuhan, maka dengan sendirinya segala
daya upaya dikerahkan untuk menjadikan daerah tersebut strategis.
Selain merangsang investasi, hal
itu juga menekan laju impor komoditas. Sebutlah jeruk dan daging sapi. Kita ingin
produk domestik menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Bahwa belum ada produk yang layak
diangkut dari Sorong, itu soal lain dan sesungguhnya menyentuh kewenangan
Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, serta institusi terkait di
tingkat pusat dan daerah. Yang penting adalah terlebih dulu menyediakan
infrastruktur dan fasilitas pendukung.
Sayangnya, meski bolak-balik
dibahas di tingkat kementerian dan kantor Wakil Presiden, konsep ini belum juga
bisa terealisasi di lapangan. Konsep ini masih terus dikaji. Pertengahan Mei
lalu, perkembangan terbaru yang dilakukan IPC adalah menggandeng Bank Dunia
untuk melakukan kajian tentang pelabuhan penghubung yang berpotensi
diikutsertakan dalam program Pendulum Nusantara. Hasil kajian akan menjadi
patokan bagi BUMN pengelola pelabuhan untuk menentukan pelabuhan mana yang
diprioritaskan pengembangannya.
Menurut Direktur Utama PT Pelabuhan
Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia
Port Corporation (IPC) RJ Lino, studi tentang pelabuhan penghubung ini
penting untuk mendukung terlaksananya program Pendulum Nusantara. ”Dalam
program Pendulum Nusantara, pelabuhan-pelabuhan utama memang sudah ditetapkan.
Tapi, kalau pelabuhan penghubungnya tidak ada, ya tidak bisa jalan juga,”
ujarnya.
Rencana menjadikan Sorong sebagai
mata rantai logistik dan distribusi barang jasa tampaknya masih harus
bergelimang dengan kendala klasik di negeri ini, yakni koordinasi. Kata
”koordinasi” memang amat mudah dan enak dipidatokan, tetapi rupanya tidak mudah
dilakoni. Pembangunan Pelabuhan Sorong mundur dan molor tak lain karena faktor
koordinasi.
Lino mengakui, pembangunan
Pelabuhan Sorong awalnya ditargetkan mulai 2012. Tapi, karena belum adanya izin
Kementerian Perhubungan, rencana pembangunan mundur. Praktis pengoperasian
Pelabuhan Sorong juga akan mundur, menjadi tahun 2014, dari sebelumnya
ditargetkan tahun ini.
Bahkan, menurut Direktur Jenderal
Perhubungan Laut Capt Bobby R Mamahit, anggaran untuk Pendulum Nusantara belum
tersedia. Kalau pembahasan makin serius, kira-kira APBN baru bisa cair tahun
2015. UU Pelayaran mengatur, APBN, antara lain, untuk memperdalam alur dan
kolam pelabuhan. Lino menekankan soal perizinan. ”Kalau izin keluar, kami
langsung proses membangun,” kata Lino.
Untuk mengatasi kendala itu, perlu
keputusan presiden untuk mempercepat turunnya izin. Salah satu yang perlu
direvisi dalam keputusan presiden itu adalah kewajiban tender menjadi
penunjukan langsung.
Wakil Menteri Perhubungan Bambang
Susantono ikut memperjelas wacana Pendulum Nusantara dengan menekankan empat
pekerjaan utama. Pertama, meningkatkan prasarana pelabuhan. Kedua, membeli
kapal lebih besar supaya lebih efisien. Ketiga, membangun sistem teknologi
informasi penghubung semua pelabuhan utama. Keempat, meningkatkan sumber daya
manusia.
Ditambah lambannya pengambilan
keputusan di pucuk pemerintahan, lengkaplah sudah faktor-faktor yang menjadikan
Pendulum Nusantara masih sebatas wacana.
Rapat-rapat yang diadakan selama
ini saatnya makin terukur. Alangkah eloknya bila pemerintahan SBY-Boediono yang
tinggal setahun ini bisa meninggalkan hasil yang monumental dan strategis bagi
negara maritim ini.
Rakyat dan tentunya pelaku usaha
sudah jenuh mendengar dan mengalami kisah-kisah buram terkait infrastruktur di
negeri ini. Perlu langkah revolusioner menyikapi daya saing global negeri
maritim ini.
Sebuah negara, yang seharusnya
logistiknya lebih dominan digerakkan melalui laut, justru lupa membenahi
infrastruktur pelabuhan. Dalam survei soal daya saing global oleh Forum Ekonomi
Dunia, kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia dinilai semakin kalah
bersaing.
Tahun 2010-2011, Indonesia di
peringkat ke-96. Setahun kemudian (2011-2012) merosot menjadi peringkat ke-103.
Laporan termutakhir (2012-2013) bahkan menempatkan kualitas infrastruktur
pelabuhan Indonesia pada peringkat ke-104 dari 144 negara.
Seminar Infrastructure Outlook 2013 yang diselenggarakan
harian Kompas pada Januari 2013 mengingatkan bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang selama ini dibanggakan petinggi republik ini sebetulnya
akan semakin baik apabila biaya logistik bisa diturunkan. Pembangunan
infrastruktur yang berkaitan dengan transportasi tak boleh diulur-ulur.
Jangan sampai Pendulum Nusantara lebih berupa konsep di atas kertas, yang hanya
memberi harapan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar