Selasa, 02 Juli 2013

SBY dan Jejak di Atas Lumpur

SBY dan Jejak di Atas Lumpur
Brigitta Isworo Laksmi ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan berhenti berkuasa pada Oktober 2014. Selesai. Kepemimpinan SBY ramai diwarnai penghargaan dari sejumlah lembaga internasional dan negara asing. Presiden SBY menuai banyak pujian. Dalam bidang lingkungan terlebih lagi.

Presiden SBY mengesankan dunia sejak G-20 Leaders Summit di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat. Saat itu, 25 September 2009, SBY menyatakan, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon dari tingkat emisi jika tidak melakukan apa pun (business as usual/BAU) sebesar 26 persen atas upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan negara asing. Dengan itu, SBY dipandang punya komitmen kuat mengatasi problem perubahan iklim sekaligus menerapkan pembangunan berkelanjutan. Juni 2012, SBY semakin mengesankan dunia dengan konsep sustainable growth with equity.

Menjelang Konferensi Pembangunan Berkelanjutan Rio+20 di kantor Center for International Forestry Research (Cifor), SBY berorasi dengan tajuk ”Sustainable Growth with Equity” yang dibawakan Indonesia dalam Konferensi Rio+20 Juni tahun lalu. Indonesia juga dipuji atas kepeloporannya karena sukses membentuk Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security yang dilaporkan melibatkan banyak pemangku kepentingan dari masyarakat dan sektor bisnis.

September 2011, SBY juga mengesankan setidaknya Direktur Umum Cifor (saat itu) Frances Seymour serta Menteri Lingkungan dan Kerja Sama Luar Negeri Norwegia (waktu itu) Eric Solheim. Saat itu, SBY dalam pidatonya mengatakan, ”Saya tidak mau suatu saat nanti harus menjelaskan kepada cucu saya, Almira, bahwa kami, pada zaman kami, tidak menyelamatkan hutan dan orang-orang yang hidupnya bergantung pada hutan. Saya tidak mau menceritakan kisah menyedihkan tentang harimau, badak, dan orangutan yang punah seperti dinosaurus.”

Last but not least, proyek skema REDD+ Indonesia bersama Norwegia—yang menyediakan dana 1 miliar dollar AS—selalu dijadikan contoh pengelolaan kawasan hutan yang berkelanjutan. Namun, meski sudah dua tahun, sesuai jadwal persiapan, masih ada pekerjaan rumah pada REDD+. Lembaga REDD+ serta persoalan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) per 21 Juni 2013 belum selesai.

Moratorium yang ditetapkan dengan instruksi presiden dua tahunan, seiring proyek REDD+, terus dilakukan. Kebijakan satu peta dimulai. Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru direvisi enam bulan sekali di tengah berbagai kritik dan masukan. Banyak aktivis lingkungan skeptis bahwa setelah moratorium usai tidak akan hujan izin konsesi atau pertambangan.

Persoalan lahan dan kawasan hutan merupakan persoalan kronis yang berakar jauh hingga era pasca-penjajahan Belanda. Tak pernah diselesaikan tuntas. Pada era Orde Baru di bawah Soeharto, konsesi diberikan kepada kroni-kroni penguasa. Pada era pasca-Reformasi dengan berlakunya otonomi daerah, konsesi lahan dan izin pertambangan ditangani daerah dan pusat. Akibatnya, penerbitan izin menjadi semakin sulit dikontrol. Konflik horizontal antara dua kelompok masyarakat dan konflik vertikal antara masyarakat dan pengusaha atau aparat keamanan terjadi di sejumlah tempat. Data Huma tahun 2012, ada sekitar 170 kasus konflik terkait hak atas lahan dan kawasan hutan.

Timpang

Tekad SBY yang mendapat apresiasi tinggi dari dunia internasional tidak diimbangi regulasi yang kuat dan mendasar serta laku birokrasi yang profesional. Dasar regulasi semua urusan terkait perubahan iklim—langsung berhubungan dengan masalah emisi karbon—lemah. Peraturan berada di bawah level undang-undang, yaitu instruksi presiden atau peraturan presiden (perpres).

Mulai dari pembentukan Dewan Nasional Perubahan Iklim (Perpres Nomor 46 Tahun 2008) hingga Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang dibuat dalam bentuk Perpres No 61/2011. Persiapan REDD+ ditugaskan kepada Satuan Tugas (Satgas) REDD+ yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No 19/2010 dan dua kali diperpanjang tugasnya hingga akhir Juni 2013.

Lembaga REDD+ yang disiapkan Satgas dan para pihak terkait sebagai pelaksana proyek REDD+ serta Staf Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim Agus Purnomo akan berbentuk semacam Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan yang dibentuk berdasarkan Perpres No 54/2009.

Dengan semua peraturan di bawah undang-undang, keberlanjutannya pada era pasca-SBY patut dipertanyakan. Semua lembaga yang mengurus perkara perubahan iklim tersebut akan dengan mudah dibubarkan jika presiden mendatang tidak punya pandangan sama dengan SBY.

Di sisi lain, cetak biru pembangunan, Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), meski juga didasarkan pada Perpres No 32/2011, dikerjakan oleh kementerian/lembaga negara. Dalam MP3EI, seluruh bangunan infrastruktur yang menunjang percepatan industri ekstraktif, yang menghancurkan kawasan hutan dan mengubah bentang alam—misal pelabuhan gas alam di Blok Natuna D-Alpha yang bakal merusak jalur bertelurnya penyu sejauh 90 kilometer—dilakukan oleh kementerian/lembaga tingkat pusat. Dalam perhelatan internasional, jarang sekali MP3EI disajikan mendetail, amat berbeda dengan berbagai ”janji” menurunkan emisi dan melakukan pembangunan berkelanjutan.

Yang lebih berbahaya adalah meletakkan kedua hal itu dalam koordinasi dua kementerian koordinator yang berbeda kondisi awalinya. Perkara MP3EI berada di bawah Menteri Koordinator Perekonomian yang berorientasi pada ekonomi pertumbuhan. Sementara urusan perubahan iklim berada di bawah Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial yang lebih berorientasi pada konservasi dan kesejahteraan masyarakat akar rumput.

Dengan cara berpikir yang tidak holistik ini, seakan ada dua komandan dalam membangun, yang mengakibatkan sulitnya menjaga komitmen melakukan pembangunan berkelanjutan. Benarkah pemerintahignorant (abai)? Di ruang mana kedua menteri koordinator akan berkoordinasi? RAN-GRK di tingkat nasional dan daerah yang sudah dua tahun ini digarap, menurut pengamatan Indonesia Climate Action Network, tidak juga diimplementasikan penuh.

Tidak sinergisnya penanganan kedua persoalan besar tersebut masih diperparah dengan berbagai peraturan yang bertentangan. Saat ini, DPR sedang membahas RUU Pemberantasan Perusakan Hutan yang rawan kriminalisasi masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan atau di pinggir hutan.

Padahal, 16 Mei lalu, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan hutan adat dikembalikan dari hutan negara menjadi hutan hak adat—ini setidaknya meliputi 40 juta hektar lahan hutan (upaya menyelesaikan persoalan batas hutan oleh tim khusus sekarang baru selesai sekitar 19 persen). Kecepatan penyelesaian hak atas lahan tidak sebanding dengan kecepatan deforestasi yang sekitar 1,1 juta hektar per tahun dari versi aktivis lingkungan dan sekitar 450.000 hektar per tahun versi Kementerian Kehutanan.

Sementara peran Kementerian Lingkungan Hidup sebagai panglima penyelamat dan pengaman lingkungan sesuai mandat Undang-Undang No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kalah menonjol dibandingkan dengan kerja sebagai lembaga pemberi berbagai penghargaan.


Presiden SBY akan berhenti berkuasa pada Oktober 2014. Dengan sedikit catatan di atas, jejak SBY di bidang lingkungan ibarat jejak di atas lumpur. Amat sulit, nyaris mustahil, dihaluskan, diratakan, atau disamarkan. Akar persoalan secara keseluruhan adalah pada target kerja Presiden: untuk mendapatkan citra internasional yang membanggakan, tetapi di lapangan banyak masyarakat yang kehilangan hak untuk hidup, atau target kepemimpinan untuk membuat semua lapisan masyarakat hidup berdampingan dengan damai dan semua mendapatkan hak dasarnya? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar