|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Salah satu ciri negara maju adalah
seluruh penduduknya terjamin kebutuhan dasar hidup yang layak. Artinya cukup
sandang, pangan, rumah, pendidikan, dan terjamin kesehatannya.
Selangkah lagi Indonesia akan
mengawali jaminan bagi pelayanan kesehatan seluruh rakyat. Mulai 1 Januari 2014
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diberlakukan. Skema yang merupakan salah satu
amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(UU SJSN) itu akan menjamin pelayanan kesehatan paripurna, mulai dari mengobati
batuk pilek hingga cuci darah dan kemoterapi bagi rakyat Indonesia. Tentu saja
ada yang tidak dijamin, misalnya operasi plastik untuk tujuan kecantikan.
Selain jaminan kesehatan, UU SJSN
juga mengamanatkan jaminan bagi kecelakaan kerja, pensiun, hari tua, dan
kematian. Jaminan itu akan secara bertahap dilaksanakan. Rujukan sistem jaminan
sosial adalah negara-negara Eropa, seperti Jerman dan Perancis, selain juga
belajar dari negara tetangga yang sudah melaksanakan seperti Thailand dan
Filipina.
Sebagaimana negara-negara rujukan
biaya melaksanakan jaminan pelayanan kesehatan, yang secara generik disebut
asuransi sosial kesehatan, didapat dari iuran penduduk. Artinya semua orang
beriuran sesuai dengan kemampuan berupa persentase dari gaji. Adapun iuran
orang miskin dibayar pemerintah. Imbalannya adalah setiap orang mendapatkan perawatan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Jika kita menengok ke belakang,
sistem ini sebenarnya berurat akar pada bangsa Indonesia. Sistem gotong royong
lazim dilakukan kakek nenek kita jika ada anggota keluarga yang kesusahan.
Bedanya dalam sistem asuransi sosial kesehatan yang disebut JKN di Indonesia,
kegotongroyongan itu diformalkan lewat undang-undang, iuran ditarik setiap
bulan, dan dikelola suatu badan nirlaba. Badan ini tidak mengambil untung. Sisa
hasil usaha digunakan untuk meningkatkan fasilitas dan pelayanan.
Cikal bakal
Pentingnya asuransi sosial
kesehatan yang mencakup seluruh penduduk Indonesia didengungkan puluhan tahun
lalu. Namun, baru Maret 2001 dibentuk Kelompok Kerja SJSN yang bertugas
menyusun naskah akademik dan konsep RUU SJSN. Melalui proses panjang, akhirnya
UU SJSN ditandatangani presiden (saat itu) Megawati dan terbit pada 19 Oktober
2004.
Undang-undang ini sempat mati suri
walau telah dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Pemerintah memilih
membuat program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi penduduk miskin
dibanding segera melaksanakan UU SJSN. Tahun 2010, DPR mengajukan hak inisiatif
RUU Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). RUU ini dibahas tahun 2011 dan
terbit November 2011. Sejak saat itu persiapan asuransi sosial kesehatan
bergulir kembali dan berujung pada keputusan presiden untuk menerapkan JKN pada
tahun 2014.
Sejauh mana persiapan jaminan
kesehatan bagi seluruh rakyat itu?
Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron
Mukti yang menjadi Ketua Bidang Penyiapan BPJS Kesehatan, Jumat (21/6),
menyatakan, persiapan JKN sudah 80 persen selesai. Sisa 20 persen yang sedang
disiapkan, antara lain soal konsensus iuran non-Penerima Bantuan Iuran (PBI),
yakni iuran untuk pekerja formal dan nonformal. Persentase gaji sebagai iuran
untuk pekerja formal belum mencapai kesepakatan antara pemerintah, asosiasi
pengusaha, dan serikat pekerja. Masih ada tarik-menarik antara pengusaha dan
pekerja mengenai berapa persen dari gaji yang masing-masing harus mereka bayar.
Menurut Direktur Utama PT Askes
Fachmi Idris, dalam draf diusulkan persentase dari gaji untuk iuran adalah 5
persen. Dalam hal ini 3 persen akan dibayar pengusaha/pemberi kerja dan 2
persen dibayar pekerja. PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan, yakni badan
nirlaba pengelola dana JKN.
Premi PBI 2014 untuk 86,4 juta
warga miskin yang diusulkan pun masih bervariasi. Usulan Kementerian Keuangan
sebesar Rp 15.500 per orang per bulan dipermasalahkan banyak pihak, mulai dari
para dokter dan pengelola rumah sakit sebagai pemberi pelayanan kesehatan,
BPJS, hingga ahli ekonomi kesehatan.
Angka ini dianggap jauh dari nilai
keekonomian pelayanan kesehatan dan dikhawatirkan akan mengorbankan mutu
pelayanan. Kementerian Kesehatan mengusulkan Rp 22.000 per bulan, Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN) Rp 27.000 per bulan, dan Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia mengusulkan Rp 60.000 per orang per bulan.
Menurut Hasbullah Thabrany, ahli
ekonomi kesehatan dan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, belanja kesehatan Indonesia jauh di bawah Malaysia dan Thailand.
Bahkan, lebih kecil daripada Timor Leste dan Vietnam. Sebagai gambaran,
Pemerintah Thailand membayar iuran per orang per tahun 2.546 baht (Rp 720.518).
Jika pemerintah benar-benar mengalokasikan Rp 15.500 per orang per bulan untuk
PBI JKN, artinya dalam setahun hanya Rp 186.000 per penduduk miskin.
”Biaya kesehatan yang kecil membuat
produktivitas penduduk rendah,” kata Hasbullah. Kondisi kesehatan yang buruk
menurunkan produktivitas. Sebaliknya kesehatan yang baik membuat penduduk bisa
bekerja lebih maksimal. Pembayaran kepada pemberi pelayanan kesehatan sesuai
dengan nilai keekonomian juga menjadi kunci redistribusi fasilitas dan tenaga
kesehatan.
Thailand memulai cakupan semesta
jaminan kesehatan pada tahun 2002 saat pendapatan nasional bruto (GNI) per
kapita 1.870 dollar AS. Tahun 2007, GNI per kapita mereka melaju ke 5.990
dollar AS.
Tahun 2007, GNI per kapita
Indonesia 3.830 dollar AS. Tahun 2014, saat JKN diterapkan, tentu GNI per
kapita Indonesia jauh lebih besar daripada saat Thailand memulai cakupan
semesta jaminan kesehatan.
Menurut Hasbullah, alasan
pemerintah bahwa dana tidak cukup dinilai tidak tepat. Apalagi kini pemerintah
memiliki dana lebih besar akibat pengurangan subsidi BBM.
Hal lain, menurut Ali Ghufron,
pengalihan aset dari PT Askes menjadi badan nirlaba BPJS masih dalam proses.
Sejumlah peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan JKN masih dibahas dalam
kelompok kerja regulasi. Diharapkan sebelum akhir tahun semua sudah selesai.
Sarana dan tenaga
Hal penting yang harus disiapkan
tentunya fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan. Distribusi tenaga
kesehatan merupakan masalah selain pembiayaan kesehatan, terutama setelah era
reformasi dan desentralisasi. Dokter, perawat, dan bidan cenderung berkumpul di
kota-kota besar.
Berdasarkan data Kemenkes 2012,
sebanyak 25 persen dari 9.323 puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter.
Artinya sekitar 2.330 puskesmas tidak ada dokter. Hal itu terutama terjadi di
daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, serta pulau-pulau kecil terdepan dan
terluar.
Menurut Ali Ghufron, Kementerian
Kesehatan telah memetakan sarana kesehatan yang tersedia. Jumlah rumah sakit
(pemerintah dan swasta) yang pada tahun 2009 masih sekitar 1.700, kini
meningkat jadi 2.102 RS untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan sekunder
dan tersier. Jumlah puskesmas untuk memenuhi pelayanan kesehatan primer dari
sekitar 9.300 menjadi 9.520 unit.
Saat ini jumlah tenaga kesehatan
sekitar 88.000 dokter umum dan 24.000 dokter spesialis. Ali Ghufron mengakui,
penyebaran dokter spesialis masih menjadi masalah. Karena itu, pihaknya
memberikan beasiswa pendidikan dokter spesialis bagi sekitar 3.500 dokter umum.
Diharapkan sebagian besar sudah selesai menjalani pendidikan pada tahun 2014.
Mereka akan ditempatkan di daerah tertinggal dan perbatasan.
Hal lain yang sedang dihitung
adalah nilai kapitasi bagi pelayanan primer serta tarif layanan kesehatan dalam
kerangka Indonesia Case Based Group (INA CBG) untuk pelayanan sekunder dan
tersier. Tarif ini nantinya akan menerapkan regionalisasi, yakni terkait dengan
jarak dan perbedaan harga antarwilayah, faktor kemahalan, inflasi, dan
sebagainya.
Kapitasi adalah pembayaran di muka
bagi pemberi pelayanan kesehatan untuk menjamin kesehatan sejumlah populasi
orang. Adapun INA-CBG adalah aplikasi untuk pengajuan klaim oleh rumah sakit.
Dalam aplikasi ini, penyakit dikelompokkan berdasarkan ciri klinis dan biaya
yang sama. Tujuannya untuk meningkatkan mutu dan efektivitas pelayanan serta
mengendalikan biaya.
Sebagai awal, menurut Ali Ghufron,
target cakupan JKN tahun 2014 adalah 70 persen penduduk Indonesia. Secara
terpisah Fachmi menyatakan, target peserta minimal 121,6 juta. Itu merupakan
gabungan dari peserta Askes (PNS, pensiunan, veteran, dan perintis kemerdekaan),
peserta Jamkesmas (masyarakat miskin dan tidak mampu), masyarakat umum, pejabat
negara, peserta Jamsostek, serta TNI/Polri/PNS Hankam. Tahun 2019, seluruh
penduduk Indonesia yang berjumlah 257,5 juta tercakup.
Ali Ghufron mengakui, upaya menjamin
pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk tidak bisa langsung sempurna. ”Ada
proses, ada evaluasi untuk menyempurnakan. Jerman saja perlu 100 tahun untuk
mengimplementasikan secara sempurna undang-undang yang dibuat Von Bismarck pada
tahun 1883. Korea Selatan yang dianggap cepat juga perlu waktu 15-20 tahun,”
katanya.
Apa pun itu, dengan dukungan
masyarakat, diharapkan rakyat Indonesia bisa mendapatkan keadilan sosial lewat
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar