Selasa, 02 Juli 2013

Memenuhi Kebutuhan Dasar Rakyat

Memenuhi Kebutuhan Dasar Rakyat
Atika Walujani Moedjiono ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Salah satu ciri negara maju adalah seluruh penduduknya terjamin kebutuhan dasar hidup yang layak. Artinya cukup sandang, pangan, rumah, pendidikan, dan terjamin kesehatannya.

Selangkah lagi Indonesia akan mengawali jaminan bagi pelayanan kesehatan seluruh rakyat. Mulai 1 Januari 2014 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diberlakukan. Skema yang merupakan salah satu amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) itu akan menjamin pelayanan kesehatan paripurna, mulai dari mengobati batuk pilek hingga cuci darah dan kemoterapi bagi rakyat Indonesia. Tentu saja ada yang tidak dijamin, misalnya operasi plastik untuk tujuan kecantikan.

Selain jaminan kesehatan, UU SJSN juga mengamanatkan jaminan bagi kecelakaan kerja, pensiun, hari tua, dan kematian. Jaminan itu akan secara bertahap dilaksanakan. Rujukan sistem jaminan sosial adalah negara-negara Eropa, seperti Jerman dan Perancis, selain juga belajar dari negara tetangga yang sudah melaksanakan seperti Thailand dan Filipina.

Sebagaimana negara-negara rujukan biaya melaksanakan jaminan pelayanan kesehatan, yang secara generik disebut asuransi sosial kesehatan, didapat dari iuran penduduk. Artinya semua orang beriuran sesuai dengan kemampuan berupa persentase dari gaji. Adapun iuran orang miskin dibayar pemerintah. Imbalannya adalah setiap orang mendapatkan perawatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

Jika kita menengok ke belakang, sistem ini sebenarnya berurat akar pada bangsa Indonesia. Sistem gotong royong lazim dilakukan kakek nenek kita jika ada anggota keluarga yang kesusahan. Bedanya dalam sistem asuransi sosial kesehatan yang disebut JKN di Indonesia, kegotongroyongan itu diformalkan lewat undang-undang, iuran ditarik setiap bulan, dan dikelola suatu badan nirlaba. Badan ini tidak mengambil untung. Sisa hasil usaha digunakan untuk meningkatkan fasilitas dan pelayanan.

Cikal bakal

Pentingnya asuransi sosial kesehatan yang mencakup seluruh penduduk Indonesia didengungkan puluhan tahun lalu. Namun, baru Maret 2001 dibentuk Kelompok Kerja SJSN yang bertugas menyusun naskah akademik dan konsep RUU SJSN. Melalui proses panjang, akhirnya UU SJSN ditandatangani presiden (saat itu) Megawati dan terbit pada 19 Oktober 2004.

Undang-undang ini sempat mati suri walau telah dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Pemerintah memilih membuat program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi penduduk miskin dibanding segera melaksanakan UU SJSN. Tahun 2010, DPR mengajukan hak inisiatif RUU Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). RUU ini dibahas tahun 2011 dan terbit November 2011. Sejak saat itu persiapan asuransi sosial kesehatan bergulir kembali dan berujung pada keputusan presiden untuk menerapkan JKN pada tahun 2014.

Sejauh mana persiapan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat itu?
Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti yang menjadi Ketua Bidang Penyiapan BPJS Kesehatan, Jumat (21/6), menyatakan, persiapan JKN sudah 80 persen selesai. Sisa 20 persen yang sedang disiapkan, antara lain soal konsensus iuran non-Penerima Bantuan Iuran (PBI), yakni iuran untuk pekerja formal dan nonformal. Persentase gaji sebagai iuran untuk pekerja formal belum mencapai kesepakatan antara pemerintah, asosiasi pengusaha, dan serikat pekerja. Masih ada tarik-menarik antara pengusaha dan pekerja mengenai berapa persen dari gaji yang masing-masing harus mereka bayar.

Menurut Direktur Utama PT Askes Fachmi Idris, dalam draf diusulkan persentase dari gaji untuk iuran adalah 5 persen. Dalam hal ini 3 persen akan dibayar pengusaha/pemberi kerja dan 2 persen dibayar pekerja. PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan, yakni badan nirlaba pengelola dana JKN.
Premi PBI 2014 untuk 86,4 juta warga miskin yang diusulkan pun masih bervariasi. Usulan Kementerian Keuangan sebesar Rp 15.500 per orang per bulan dipermasalahkan banyak pihak, mulai dari para dokter dan pengelola rumah sakit sebagai pemberi pelayanan kesehatan, BPJS, hingga ahli ekonomi kesehatan. 
Angka ini dianggap jauh dari nilai keekonomian pelayanan kesehatan dan dikhawatirkan akan mengorbankan mutu pelayanan. Kementerian Kesehatan mengusulkan Rp 22.000 per bulan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Rp 27.000 per bulan, dan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia mengusulkan Rp 60.000 per orang per bulan.

Menurut Hasbullah Thabrany, ahli ekonomi kesehatan dan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, belanja kesehatan Indonesia jauh di bawah Malaysia dan Thailand. Bahkan, lebih kecil daripada Timor Leste dan Vietnam. Sebagai gambaran, Pemerintah Thailand membayar iuran per orang per tahun 2.546 baht (Rp 720.518). Jika pemerintah benar-benar mengalokasikan Rp 15.500 per orang per bulan untuk PBI JKN, artinya dalam setahun hanya Rp 186.000 per penduduk miskin.

”Biaya kesehatan yang kecil membuat produktivitas penduduk rendah,” kata Hasbullah. Kondisi kesehatan yang buruk menurunkan produktivitas. Sebaliknya kesehatan yang baik membuat penduduk bisa bekerja lebih maksimal. Pembayaran kepada pemberi pelayanan kesehatan sesuai dengan nilai keekonomian juga menjadi kunci redistribusi fasilitas dan tenaga kesehatan.

Thailand memulai cakupan semesta jaminan kesehatan pada tahun 2002 saat pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita 1.870 dollar AS. Tahun 2007, GNI per kapita mereka melaju ke 5.990 dollar AS.
Tahun 2007, GNI per kapita Indonesia 3.830 dollar AS. Tahun 2014, saat JKN diterapkan, tentu GNI per kapita Indonesia jauh lebih besar daripada saat Thailand memulai cakupan semesta jaminan kesehatan.

Menurut Hasbullah, alasan pemerintah bahwa dana tidak cukup dinilai tidak tepat. Apalagi kini pemerintah memiliki dana lebih besar akibat pengurangan subsidi BBM.
Hal lain, menurut Ali Ghufron, pengalihan aset dari PT Askes menjadi badan nirlaba BPJS masih dalam proses. Sejumlah peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan JKN masih dibahas dalam kelompok kerja regulasi. Diharapkan sebelum akhir tahun semua sudah selesai.

Sarana dan tenaga

Hal penting yang harus disiapkan tentunya fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan. Distribusi tenaga kesehatan merupakan masalah selain pembiayaan kesehatan, terutama setelah era reformasi dan desentralisasi. Dokter, perawat, dan bidan cenderung berkumpul di kota-kota besar.

Berdasarkan data Kemenkes 2012, sebanyak 25 persen dari 9.323 puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter. Artinya sekitar 2.330 puskesmas tidak ada dokter. Hal itu terutama terjadi di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, serta pulau-pulau kecil terdepan dan terluar.

Menurut Ali Ghufron, Kementerian Kesehatan telah memetakan sarana kesehatan yang tersedia. Jumlah rumah sakit (pemerintah dan swasta) yang pada tahun 2009 masih sekitar 1.700, kini meningkat jadi 2.102 RS untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan sekunder dan tersier. Jumlah puskesmas untuk memenuhi pelayanan kesehatan primer dari sekitar 9.300 menjadi 9.520 unit.

Saat ini jumlah tenaga kesehatan sekitar 88.000 dokter umum dan 24.000 dokter spesialis. Ali Ghufron mengakui, penyebaran dokter spesialis masih menjadi masalah. Karena itu, pihaknya memberikan beasiswa pendidikan dokter spesialis bagi sekitar 3.500 dokter umum. Diharapkan sebagian besar sudah selesai menjalani pendidikan pada tahun 2014. Mereka akan ditempatkan di daerah tertinggal dan perbatasan.

Hal lain yang sedang dihitung adalah nilai kapitasi bagi pelayanan primer serta tarif layanan kesehatan dalam kerangka Indonesia Case Based Group (INA CBG) untuk pelayanan sekunder dan tersier. Tarif ini nantinya akan menerapkan regionalisasi, yakni terkait dengan jarak dan perbedaan harga antarwilayah, faktor kemahalan, inflasi, dan sebagainya.

Kapitasi adalah pembayaran di muka bagi pemberi pelayanan kesehatan untuk menjamin kesehatan sejumlah populasi orang. Adapun INA-CBG adalah aplikasi untuk pengajuan klaim oleh rumah sakit. Dalam aplikasi ini, penyakit dikelompokkan berdasarkan ciri klinis dan biaya yang sama. Tujuannya untuk meningkatkan mutu dan efektivitas pelayanan serta mengendalikan biaya.

Sebagai awal, menurut Ali Ghufron, target cakupan JKN tahun 2014 adalah 70 persen penduduk Indonesia. Secara terpisah Fachmi menyatakan, target peserta minimal 121,6 juta. Itu merupakan gabungan dari peserta Askes (PNS, pensiunan, veteran, dan perintis kemerdekaan), peserta Jamkesmas (masyarakat miskin dan tidak mampu), masyarakat umum, pejabat negara, peserta Jamsostek, serta TNI/Polri/PNS Hankam. Tahun 2019, seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 257,5 juta tercakup.

Ali Ghufron mengakui, upaya menjamin pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk tidak bisa langsung sempurna. ”Ada proses, ada evaluasi untuk menyempurnakan. Jerman saja perlu 100 tahun untuk mengimplementasikan secara sempurna undang-undang yang dibuat Von Bismarck pada tahun 1883. Korea Selatan yang dianggap cepat juga perlu waktu 15-20 tahun,” katanya.

Apa pun itu, dengan dukungan masyarakat, diharapkan rakyat Indonesia bisa mendapatkan keadilan sosial lewat pelayanan kesehatan dan jaminan sosial lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar