Kamis, 23 Agustus 2012

Kearifan Lebaran


Kearifan Lebaran
Acep Hermawan ;  Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung
dan STAI Alazhary Cianjur
REPUBLIKA, 23 Agustus 2012


Ritual kembali ke fitrah, selain mendongkrak kedekatan hamba ke pada Tuhannya, juga mampu mendobrak sekat-sekat pengap status sosial kaya-miskin, atasan-bawahan, penguasa-rakyat, dan berbagai paradoksal status lain. Tentu saja ini bukan deskripsi antropologis, tapi kenyataan. Orang Indonesia ternyata begitu pandai menciptakan Lebaran bersamaan pada Hari Raya Idul Fitri.

Lebaran adalah metode khas bangsa Indonesia dalam mengejawantahkan saling bermaafan. Ini adalah modal pembangunan mentalitas manusia karena bagaimanapun dalam beban psikologis, meminta maaf dan memaafkan itu bukanlah semacam perkara gampang. Ada kesulitan psikis yang berlapis-lapis.

Apalagi, sebelumnya bangsa Indonesia juga mengenal budaya feodal yang mengajarkan bahwa yang meminta maaf itu (bawahan) pihak yang bersalah dan yang memaafkan itu adalah (atasan) pihak yang dizalimi.

Kesulitan-kesulitan budaya itulah yang pada hari Lebaran dihancurleburkan, dibersihkan, sehingga hati dan pikiran menjadi “lebar“. Dalam keadaan manusia yang hati dan pikirannya telah “lebar“ ini, hari yang dijalaninya menjadi indah penuh makna. Pada hari inilah manusia beriman dilarang bersedih atau terbebani oleh faktor-faktor seremoni. Inilah kesempatan setahun sekali untuk menghadirkan kearifan Lebaran.

Forum Sosial

Secara sosial, mereka juga lebih meningkat kepekaan sosialnya dengan memberi sedekah kepada orang yang memerlukan. Hidupnya lebih dapat memberi manfaat bagi sesama, menjadikan hidup dapat lebih tertata dan lebih dinikmati. Pada 1 Syawal, dalam suasana Idul Fitri, suasana “ulang tahun“ manusia beriman, Allah melarang hambaNya berpuasa. Jangan sampai ada orang yang kelaparan sehingga dapat mengurangi kegembiraan dan kebahagiaannya.

Idul Fitri mempunyai dampak sosial yang sangat luas. Kedekatan dan keakrabannya dengan Allah yang dicapai dengan ibadah puasa juga berimbas pada keakraban dengan sesamanya. Timbul kerinduan untuk dapat bertemu dengan orang tua walaupun harus menempuh perjalanan jauh yang melelahkan.

Sebagian yang orang tuanya telah meninggal, menziarahi kubur untuk mendoakan walaupun tiap habis shalat tidak pernah lupa berdoa untuk mereka.

Mereka mendatangi kerabat dari yang paling tua, tetangga yang dipandang tua, dengan tujuan sama, memohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan.

Di kampung diadakan halalbihalal, forum sosial untuk saling memberi maaf, melebur semua kesalahan. Kantor, perusahaan, berbagai instansi, dan perkumpulan kemasyarakatan tidak lupa mengadakan halalbihalal. Rasanya, belum sempurna dan tuntas ber-Hari Raya Idul Fitri kalau belum saling memaafkan. Yang tidak memungkinkan bertemu, mereka mengirim kartu Lebaran dengan gambar dan kalimat indah, mengirim SMS, atau menelepon.

Semua memang ingin merasakan kebahagiaan pada “hari ulang tahun“ ini.
Yang kurang berbahagia dibantu dan diringankan bebannya, yang kekurangan disantuni, diberikan sedekah, dan dibesarkan hatinya untuk dapat bersabar.

Adapun mereka yang sedang sakit, dikunjungi dan didoakan agar segera diberi kesembuhan.

Evaluasi Komprehensif

Selama sebulan, di sela-sela menjalani ibadah puasa, pikiran termobilisasi secara sosial untuk mempersiapkan segala sesuatu guna memastikan bisa merayakan Idul Fitri dan Lebaran dengan baik. Terutama, siap secara finansial.

Bahkan, ada yang seolah-olah menyiapkan keuangannya selama setahun penuh di Ibu Kota untuk dapat mudik. Realitas ini tidak mudah untuk di-refresh dengan pikiran serasional apa pun.

Setelah melakuan ritual mudik, semua harus kembali bekerja untuk berjuang menghadapi kerasnya realitas kehidupan. Realitas ini adalah ulangan rutinitas tentang kehidupan, bahkan boleh jadi bakal lebih keras dibandingkan dengan sebelumnya. Tarif listrik naik, harga bahan-bahan makanan membubung, kesempatan kerja makin sulit, dan kebutuhan untuk mendidik anak makin melilit.

Bagi pemerintah dan wakil rakyat, setiap rangkaian Lebaran berakhir, sejatinya melakukan evaluasi komprehensif terhadap pelaksanaan fungsi pelayanan. Bagaimana dengan penyediaan sarana transportasi, penyiapan infrastruktur jalan, keamanan, serta berbagai kemudahan akses untuk mobilitas sosial selama masa mudik, Lebaran, dan balik ke tempat bekerja? Kualitas pelayanan dari berbagai indikator itu apakah dirasakan menjadi lebih baik atau malah ada yang bermasalah dan harus dipetakan?

Konsentrasi dalam memberikan pelayanan selama Lebaran memang merupakan realitas tahunan yang dihadapi oleh pemerintah dibandingkan dengan momentum yang lain. Namun, sikap pelayanan itu tak boleh diartikan sebagai puncak karena sepanjang hari dan bulan di luar Ramadhan, Idul Fitri, dan Lebaran pun sesungguhnya tuntutan yang sama harus dipenuhi. Bedanya, ada sifat mobilitas sosial yang kolosal dalam Lebaran sedangkan kebutuhan reguler hakikatnya menuntut kualitas kesiapan pelayanan yang seimbang.

Liburan beberapa hari untuk menyegarkan visi kita tentang kehidupan telah berlalu. Mari kembali ke realitas baru dengan berharap memperoleh kesegaran baru. Tanggung jawab sosial berupa pelayanan publik secara istiqamah dan amanah meningkatkan kesejahteraan rakyat akan berlangsung sepanjang waktu. Setelah berjeda lewat puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Lebaran, kini semuanya--di berbagai lini dan bidang-wajib menatap tugas dan tanggung jawab untuk menjadikan hidup lebih baik dan lebih laik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar