Berzikir kepada
Allah di Setiap Helaan Napas
|
Agus Mustofa ; Penulis Buku Serial
Tasawuf Modern
|
JAWA
POS, 16 Agustus 2012
ZIKRULLAH alias mengingat Allah adalah
pelajaran puncak dalam spiritualitas Islam. Karena itu, di dalam Alquran
bertaburan pelajaran tentang zikir. Berzikir tidak hanya bermakna mengucapkan
kalimat zikir, melainkan menghadirkan Allah dalam seluruh kesadaran kita. Apa
pun yang sedang kita lakukan tak pernah lepas dari interaksi dengan-Nya.
Karena itu, selain memerintah untuk melakukan zikir sebanyak-banyaknya, dalam QS 33: 41, Allah mengajarkan untuk berzikir dalam kondisi apa pun. Istilah Alquran adalah mengingat Allah dalam segala keadaan: berdiri, duduk, maupun terbaring.
''(Yaitu) orang-orang yang berzikir mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS Ali Imran: 191).''
Ayat tersebut menunjukkan bahwa zikir merupakan inti semua ibadah. Salat mesti mengingat Allah, berpuasa mesti mengingat Allah, demikian pula zakat, haji, dan apa pun bentuk ibadah yang kita lakukan. Bahkan, bukan hanya ibadah-ibadah khusus seperti itu, melainkan juga dalam segala kondisi: makan, minum, mandi, berkendara, bekerja, berolahraga, menuntut ilmu, berdarmawisata, dan segala macam kegiatan sehari-hari, termasuk saat beristirahat maupun tidur, semua tak pernah lepas dari zikrullah: menyambungkan hati kepada Allah.
Karena itu, kita menjadi paham ketika Allah menyebut zikrullah sebagai amal yang paling besar dibanding segala ibadah. ''...Dan sesungguhnya berzikir kepada Allah (zikrullah) itu lebih besar (keutamaannya dibanding ibadah apa pun yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Ankabuut: 45).''
Saya lantas ingat bagaimana ayah saya -yang juga guru tasawuf saya sendiri- mengajari pentingnya zikir itu. Beliau menggambarkan begini: Kalau kita ingin selalu berinteraksi dengan Allah, yang harus dilakukan adalah sering-sering membaca Alquran. Sebab, kitab suci itu berisi ucapan alias firman-firman Allah. Membaca Alquran dengan khusyuk sama dengan sedang berdialog dengan Allah.
Tetapi, karena tidak mungkin khatam Alquran setiap hari, kita bisa membaca kandungan Alquran itu di dalam ''ringkasannya'', yaitu surat Al Fatihah. Karena itulah, surat pembuka kitab suci tersebut disebut ummul kitab -induk Al Kitab. Isinya mewakili kandungan Alquran secara global. Membaca Al Fatihah bisa kita lakukan jauh lebih banyak dibanding mengkhatamkan Alquran. Minimal tujuh belas kali sehari semalam kita melakukannya saat salat.
Menurut ayah saya, meski surat Al Fatihah tersebut sudah merupakan ringkasan Alquran, sebenarnya ia masih bisa diringkas lagi, yakni menjadi kalimatbismillahirrahmanirrahim yang ditempatkan pada awal surat itu. Artinya, kita diajari untuk melafalkan kalimat basmallah lebih banyak dibanding membaca Al Fatihah. Tidak hanya setiap salat, melainkan setiap hendak berbuat apa saja kita perlu membaca basmallah. Mau makan baca bismillah, mau minum bacabismillah, mau bekerja, mau bepergian, mau belajar, mau tidur, dan mau apa saja aktivitas sehari-hari yang akan kita lakukan, kita mesti membaca basmallah.
Namun, kalimat bismillahirrahmanirrahim itu pun sebenarnya memiliki inti kandungan makna, yang terdapat pada kata ''Allah''. Karena itu, teringat betul bagaimana bapak saya mengajari anak-anaknya agar melafalkan kata ''Allah'' lebih banyak lagi. Yaitu, seiring dengan helaan napas: Allahu... Karena itu, melafalkan kata ''Allah'' itu sama dengan membaca intisari seluruh firman-Nya yang berjumlah 6.236 ayat. Itulah zikir paling intensif yang bisa dilakukan seorang hamba terhadap Tuhannya. Ada juga yang masih meringkas kalimat ''Allahu'' itu menjadi: ''Hu... Hu...'' yang bermakna ''Dia'' (Allah), seiring dengan tarikan dan keluarnya napas.
Begitulah cara para pelaku zikir berinteraksi dengan Allah. Mereka ingin menyambut ajakan Allah agar setiap saat mengisi kesadarannya dengan mengingat Allah. Dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring, sebagaimana diajarkan dalam firman-firman-Nya. Tidak harus diucapkan dengan lisan karena zikir bisa dilafalkan di dalam jiwa dan kesadarannya.
Ibarat pelajaran membaca anak SD dan mahasiswa. Seorang anak SD membaca buku-buku pelajaran dengan cara mengeraskan suara, tetapi para mahasiswa membacanya di dalam hati dengan penghayatan yang jauh lebih tinggi. Semua itu hanya soal kebiasaan dan kita semua bisa melakukannya kalau mau.
Orang-orang yang sudah mencapai tataran ini diibaratkan Allah sebagai orang yang selalu berhadapan dengan Allah di mana pun dia berada. Menghadap ke barat bertemu Allah, menghadap ke timur juga bertemu Allah. Sebab, barat dan timur itu memang milik Allah dan seluruh yang ada di antaranya sudah diliputi-Nya, tanpa ada jarak yang memisahkan.
''Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui (QS Al Baqarah: 115).''
''Dan sesungguhnya Kamilah yang telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui segala yang dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (sendiri)(QS Qaaf: 16).''
Wallahu a'lam bishshawab. ●
Karena itu, selain memerintah untuk melakukan zikir sebanyak-banyaknya, dalam QS 33: 41, Allah mengajarkan untuk berzikir dalam kondisi apa pun. Istilah Alquran adalah mengingat Allah dalam segala keadaan: berdiri, duduk, maupun terbaring.
''(Yaitu) orang-orang yang berzikir mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS Ali Imran: 191).''
Ayat tersebut menunjukkan bahwa zikir merupakan inti semua ibadah. Salat mesti mengingat Allah, berpuasa mesti mengingat Allah, demikian pula zakat, haji, dan apa pun bentuk ibadah yang kita lakukan. Bahkan, bukan hanya ibadah-ibadah khusus seperti itu, melainkan juga dalam segala kondisi: makan, minum, mandi, berkendara, bekerja, berolahraga, menuntut ilmu, berdarmawisata, dan segala macam kegiatan sehari-hari, termasuk saat beristirahat maupun tidur, semua tak pernah lepas dari zikrullah: menyambungkan hati kepada Allah.
Karena itu, kita menjadi paham ketika Allah menyebut zikrullah sebagai amal yang paling besar dibanding segala ibadah. ''...Dan sesungguhnya berzikir kepada Allah (zikrullah) itu lebih besar (keutamaannya dibanding ibadah apa pun yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Ankabuut: 45).''
Saya lantas ingat bagaimana ayah saya -yang juga guru tasawuf saya sendiri- mengajari pentingnya zikir itu. Beliau menggambarkan begini: Kalau kita ingin selalu berinteraksi dengan Allah, yang harus dilakukan adalah sering-sering membaca Alquran. Sebab, kitab suci itu berisi ucapan alias firman-firman Allah. Membaca Alquran dengan khusyuk sama dengan sedang berdialog dengan Allah.
Tetapi, karena tidak mungkin khatam Alquran setiap hari, kita bisa membaca kandungan Alquran itu di dalam ''ringkasannya'', yaitu surat Al Fatihah. Karena itulah, surat pembuka kitab suci tersebut disebut ummul kitab -induk Al Kitab. Isinya mewakili kandungan Alquran secara global. Membaca Al Fatihah bisa kita lakukan jauh lebih banyak dibanding mengkhatamkan Alquran. Minimal tujuh belas kali sehari semalam kita melakukannya saat salat.
Menurut ayah saya, meski surat Al Fatihah tersebut sudah merupakan ringkasan Alquran, sebenarnya ia masih bisa diringkas lagi, yakni menjadi kalimatbismillahirrahmanirrahim yang ditempatkan pada awal surat itu. Artinya, kita diajari untuk melafalkan kalimat basmallah lebih banyak dibanding membaca Al Fatihah. Tidak hanya setiap salat, melainkan setiap hendak berbuat apa saja kita perlu membaca basmallah. Mau makan baca bismillah, mau minum bacabismillah, mau bekerja, mau bepergian, mau belajar, mau tidur, dan mau apa saja aktivitas sehari-hari yang akan kita lakukan, kita mesti membaca basmallah.
Namun, kalimat bismillahirrahmanirrahim itu pun sebenarnya memiliki inti kandungan makna, yang terdapat pada kata ''Allah''. Karena itu, teringat betul bagaimana bapak saya mengajari anak-anaknya agar melafalkan kata ''Allah'' lebih banyak lagi. Yaitu, seiring dengan helaan napas: Allahu... Karena itu, melafalkan kata ''Allah'' itu sama dengan membaca intisari seluruh firman-Nya yang berjumlah 6.236 ayat. Itulah zikir paling intensif yang bisa dilakukan seorang hamba terhadap Tuhannya. Ada juga yang masih meringkas kalimat ''Allahu'' itu menjadi: ''Hu... Hu...'' yang bermakna ''Dia'' (Allah), seiring dengan tarikan dan keluarnya napas.
Begitulah cara para pelaku zikir berinteraksi dengan Allah. Mereka ingin menyambut ajakan Allah agar setiap saat mengisi kesadarannya dengan mengingat Allah. Dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring, sebagaimana diajarkan dalam firman-firman-Nya. Tidak harus diucapkan dengan lisan karena zikir bisa dilafalkan di dalam jiwa dan kesadarannya.
Ibarat pelajaran membaca anak SD dan mahasiswa. Seorang anak SD membaca buku-buku pelajaran dengan cara mengeraskan suara, tetapi para mahasiswa membacanya di dalam hati dengan penghayatan yang jauh lebih tinggi. Semua itu hanya soal kebiasaan dan kita semua bisa melakukannya kalau mau.
Orang-orang yang sudah mencapai tataran ini diibaratkan Allah sebagai orang yang selalu berhadapan dengan Allah di mana pun dia berada. Menghadap ke barat bertemu Allah, menghadap ke timur juga bertemu Allah. Sebab, barat dan timur itu memang milik Allah dan seluruh yang ada di antaranya sudah diliputi-Nya, tanpa ada jarak yang memisahkan.
''Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui (QS Al Baqarah: 115).''
''Dan sesungguhnya Kamilah yang telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui segala yang dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (sendiri)(QS Qaaf: 16).''
Wallahu a'lam bishshawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar