Mengatur
Importir,
Melindungi
Konsumen dan Petani
Abdul
Salam Taba ; Alumnus School
of Economics, The University of Newcastle, Australia
KORAN TEMPO, 30 Juni 2012
Penundaan pemberlakuan Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) Nomor 30/2012 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura dari 15 Juni menjadi 28 September 2012 telah menimbulkan
kontroversi di dalam masyarakat.
Pemerintah (Kementerian Perdagangan dan importir),
sebagai pihak yang pro, beranggapan penundaan merupakan upaya memberikan waktu
sosialisasi dan pemahaman peraturan tersebut kepada pemangku kepentingan,
penyiapan infrastruktur bagi importir, dan notifikasi ke Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO).
Sementara itu, yang kontra menilai alasan
penundaan mengada-ada dan membiarkan masyarakat mengkonsumsi buah dan sayur
(hortikultura) beracun. Selain itu, keputusan penundaan menunjukkan bahwa
pemerintah tidak berpihak pada produk hortikultura lokal yang berdampak
menggerus peluang pasar dan daya saing produk petani lokal.
Menjadi pertanyaan, apa sebenarnya alasan
yang mendasari penundaan berlakunya Permendag Nomor 30/2012? Apa benar
penundaan tersebut merupakan kebijakan yang menyengsarakan masyarakat (konsumen)
dan wujud ketidakberpihakan pemerintah pada produk hortikultura lokal? Terlepas
benar atau tidak, apakah tindakan tersebut dapat dibenarkan keabsahannya secara
yuridis--dalam arti, tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku?
Sepintas lalu, penilaian yang menyatakan
penundaan penerapan Permendag Nomor 30/2012 merupakan keputusan yang merugikan
masyarakat, secara faktual kebenarannya tidak bisa disangkal. Pasalnya, hasil
pemeriksaan Badan Karantina Kementerian Pertanian selama dua tahun terakhir
telah menemukan 19 penyakit dan unsur berbahaya yang terkandung dalam buah
jeruk dan apel asing yang dipasarkan di Indonesia (Detikfinance, 18 Juni
2012).
Demikian pula anggapan yang menilai penundaan
merupakan kebijakan yang tidak berpihak pada produk hortikultura lokal, juga
cukup beralasan. Sebab, nilai produk hortikultura asing yang dikonsumsi
masyarakat mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Terbukti, data
Biro Pusat Statistik menunjukkan nilai produk buah dan sayur asing pada 2008 baru
berjumlah US$ 881,6 juta, tapi pada 2011 sudah mencapai US$ 1,7 miliar.
Bila dicermati, peningkatan konsumsi
masyarakat ini akibat tidak terkontrolnya infiltrasi produk buah dan sayur
asing ke pasar lokal dan lokasi pemasarannya yang merambah ke tingkat RW dan RT
di pedesaan. Tampilan produk lokal yang kurang menarik dan perlakuan
diskriminatif retail modern terhadap produk buah dan sayur lokal juga turut
memicu tingginya konsumsi produk buah dan sayur asing, termasuk pemberian
kredit ekspor (subsidi) dari negara produsen kepada importir, sehingga harga
produk yang dipasarkannya lebih murah.
Berbagai fenomena tersebut tidak hanya
membuat produk lokal kurang diminati konsumen dan menjadikan sentra produksinya
mati suri, tapi juga mempercepat petani lokal gulung tikar dan mengikis
keberadaan pasar tradisional.
Secara yuridis, penundaan Permendag Nomor
30/2012 sejatinya tidak melanggar aturan yang berlaku. Pasalnya, upaya tersebut
merupakan amanat ketentuan Permendag Nomor 30/2012--yang mewajibkan importir
produk hortikultura memperoleh izin impor berupa rekomendasi Menteri Pertanian
dan membuat gudang penyimpanan (cold storage), sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 (1) dan 13, termasuk sinkronisasi kode harmonized system (HS)
beberapa produk dan penunjukan distributor yang notabene realisasinya
memerlukan waktu.
Upaya penundaan juga merupakan konsekuensi
logis keanggotaan Indonesia di WTO yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7
Tahun 1994, dan karena itu menjadi bagian legislasi nasional. Artinya, sebagai
negara anggota WTO, Indonesia berkewajiban menotifikasi kebijakan impornya
(Permendag Nomor 30/2012), sebagaimana ditetapkan dalam Annex A General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang mengatur tentang Import License
Agreement (ILA).
Proses notifikasi--yang disampaikan ke
Committee on Import License dengan tembusan ke Sekretariat WTO--memakan waktu
60 hari, jika tidak ada keberatan dari negara yang berkepentingan. Secara
fungsional, notifikasi sejatinya bertujuan menghindari terjadinya tindakan
pembalasan (retaliation) dari negara produsen hortikultura asing, yang
dapat berupa larangan atau pembatasan ekspor barang maupun jasa milik
Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, dapat
dikatakan bahwa penundaan bukan merupakan wujud ketidakberpihakan pemerintah
kepada petani lokal dan produknya, melainkan upaya menciptakan win-win
solution berbagai pihak dan demi kepentingan yang lebih luas. Sebab, jika
tidak ditunda, akan melanggar amanat Permendag Nomor 30/2012 dan menghambat
kelancaran ekspor barang maupun jasa dari Indonesia, bahkan bisa diboikot
negara yang merasa dirugikan.
Namun maraknya peredaran produk hortikultura
asing yang mengandung unsur beracun harus dicegah dan diatasi oleh para
pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan petani lokal, dengan berbagai
cara. Pertama, mengawasi secara ketat pelaksanaan Permendag Nomor 30/2012 dan
peraturan terkait lainnya agar peredaran produk hortikultura asing dapat
terkontrol.
Kedua, memoles tampilan produk hortikultura
lokal agar lebih menarik konsumen dan membatasi peredaran produk asing
berdasarkan zona tertentu, serta meminta retail modern tidak berperilaku
diskriminatif dalam pemasaran Permendag Nomor 30/2012.
Ketiga, Kementerian Pertanian dan instansi
terkait perlu aktif mencari solusi atas hambatan pasokan produk hortikultura
lokal (khususnya buah dan sayur) akibat faktor musim dengan memberdayakan
petani lokal dan sentra produksinya yang kurang produktif.
Keempat, meningkatkan kepekaan pemerintah
(pusat maupun daerah) serta konsumen terhadap nasib petani lokal dan keberadaan
sentra produksinya, termasuk sosialisasi kepada masyarakat agar mengkonsumsi
produk lokal serta berhati-hati dalam membeli buah dan sayur asing yang banyak
mengandung zat kimia dan unsur berbahaya lainnya.
Cara terakhir ialah melakukan pengawasan
secara sistematis dan terencana untuk mencegah masuknya produk hortikultura
asing yang berbahaya bagi kesehatan. Sebab, ada indikasi banyak produk tersebut
masuk ke pasar lokal secara ilegal, dengan melibatkan instansi terkait
(Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian) dan penegak hukum serta
masyarakat pada umumnya.
Kemampuan para pemangku kepentingan
merealisasi berbagai upaya tersebut setidaknya akan berimplikasi ganda. Selain
dapat mengatasi, minimal mengurangi maraknya peredaran produk hortikultura
asing yang membahayakan kesehatan konsumen, juga meningkatkan daya saing produk
lokal dan para petaninya, sehingga mencegah terkikisnya pasar tradisional dan
matinya sentra produksi buah dan sayur lokal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar