Membungkus
Keberlanjutan
Fachrudin
Majeri Mangunjaya ; Research Associate Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (LPPM ) Universitas Nasional, Jakarta
KORAN TEMPO, 30 Juni 2012
Pertemuan Rio+20, bertema “Pembangunan
Berkelanjutan yang Menentukan Masa Depan yang Kita Inginkan”, telah usai.
Pertemuan intensif agenda Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi kedua tersebut
kemudian harus mendapat tindak lanjut di negara masing-masing. Belajar dari 20
tahun yang lalu, perasaan membuncah dan optimisme ingin mewujudkan pembangunan
berkelanjutan bergema di mana-mana. Namun, kali ini, kelihatannya sambutan
terhadap perhelatan ini dingin, terlebih negara adidaya "polisi
dunia" Amerika Serikat tidak menghadirkan kepala negara mereka dalam
pertemuan itu.
Adapun hasil yang penting pertemuan tersebut
adalah bagaimana masing-masing negara dapat membungkus serta membawa komitmen
Rio+20 dan kelanjutannya di masa mendatang, baik pada taraf nasional maupun
pada tingkat internasional. Pertemuan Rio+20 merupakan pertemuan tidak
mengikat, dan hanya menghasilkan agenda sukarela dari masing-masing negara.
Hasil pertemuan ini tertuang dalam deklarasi yang terdiri atas 283 butir
klausul berisi visi kita bersama (our common vision) berupa: pembaruan
komitmen politik, ekonomi hijau dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan
pengentasan masyarakat miskin, kerangka institusi dalam pembangunan
berkelanjutan, kerangka aksi untuk tindak lanjut, serta registrasi atas
komitmen sukarela dari masing-masing negara dalam memenuhi perjanjian bersama
tersebut.
Salah satu klausul tersebut juga menyebutkan
bahwa pengentasan masyarakat miskin adalah merupakan tantangan global yang
paling besar sekarang ini. Karena itu, komitmen untuk membebaskan manusia dari
kelaparan dan kemiskinan merupakan target yang sangat mendesak. Di samping
pengentasan masyarakat miskin, dokumen yang diberi judul The Future We Want
itu menyebutkan pula keharusan perubahan pola konsumsi yang tidak berkelanjutan
menjadi berkelanjutan. Perlindungan sumber daya alam merupakan upaya penting
yang harus dilakukan untuk mempertahankan basis pembangunan ekonomi dan sosial
yang merupakan tujuan menyeluruh dari pada esensi pembangunan berkelanjutan.
Kesadaran tentang kondisi bumi yang
benar-benar berubah sejak KTT Bumi di Rio pada 1992 telah disadari sepenuhnya
oleh semua bangsa. Dampak keberadaan manusia telah terlihat di laut dan di
darat, antara lain terjadinya kerusakan terutama pada unsur vital yang disebut
sebagai modal alam (natural capital), yaitu ekosistem di darat dan di laut,
termasuk sumber-sumber air bersih kita. Kerusakan ini tidak pernah separah ini
sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ironisnya, sementara kita menggunakan
ekosistem untuk memperoleh keuntungan modal bagi aset manusia, di pihak lain
kita menguras sumber daya alam (stok ekosistem yang mengalir secara gratis-dari
alam) tanpa meninggalkan kesan kerugian atas kawasan tersebut.
Tantangan
Mewujudkan keberlanjutan memang sangat
kompleks sehingga, dalam catatan perjalanan peradaban umat manusia, sejak
deklarasi pembangunan berkelanjutan tahun 1992--mengusung keseimbangan segitiga
pembangunan: ekologi, ekonomi dan sosial--faktanya masih disuguhkan hal-hal
yang jauh dari cita-cita pembangunan berkelanjutan. Penduduk bumi bergantung
pada sumber daya alam secara sangat masif, sehingga secara global manusia
mengkonsumsi 54 persen air mengalir di permukaan bumi. Di samping itu,
pertambangan dan banyak bahan material yang kita kuras melebihi kapasitas daya
dukung bumi. Industri dan gaya hidup manusia mencemari dan menumpuk lebih dari
15 juta ton karbon ke atmosfer, dan merusak 466 juta km persegi hutan hujan
tropis, menciptakan 155 juta km penggurunan baru, memusnahkan setidaknya 74
spesies tanaman selamanya, serta menggerus--disebabkan oleh erosi--hampir 70-80
ton top soil yang mempunyai nilai kesuburan tanah untuk tanaman pangan,
juga memompa 1.400 ton CFC yang menyebabkan perusakan lapisan ozon ke
stratosfer bumi.
Pengendalian lingkungan yang tidak memadai di
Indonesia menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang signifikan, termasuk
peralihan lahan yang mengancam potensi ketahanan pangan, laju konversi lahan
pangan yang tak terkendali yang mencapai 100 ribu hektare per tahun. Tercatat
pula bahwa jumlah petani berkurang 7,24 persen atau sekitar 3,1 juta pada 2011.
Adapun akibat perubahan iklim, frekuensi melaut nelayan tradisional turun dari
240 -300 hari menjadi hanya 160-180 hari.
Ironisnya lagi, ketergantungan pada sektor
ekstraktif--tidak terbarukan dan tidak berkelanjutan--malah semakin masif
dengan adanya otonomi daerah. Lahan hutan lindung mendapatkan pengesahan untuk
ditambang secara legal di berbagai tempat di Indonesia. Dampaknya, sampai
Januari 2012, dikeluarkan 10.234 izin pengerukan tambang, 2.475 di antaranya di
Kalimantan. Adapun 1.212 dari jumlah konsesi tersebut berada di Kalimantan
Timur dengan luas 4,4 juta ha, yang meliputi 22,1 persen luas provinsi.
Pertambangan telah mengancam keragaman hayati pada sedikitnya 3,97 juta hektare
kawasan hutan lindung (Kompas, 12 Juni).
Ekonomi Hijau
Pertemuan Rio+20 berfokus pada dua perdebatan
tentang pembangunan berkelanjutan: pertama, tentang ekonomi hijau (green
economies), yang banyak memicu kecurigaan dan perdebatan tentang “wajah
baru ekonomi” yang lebih ramah lingkungan. Ekonomi hijau sesungguhnya ini baru
merupakan suatu elemen dan diskusi baru yang mengemuka pada agenda
internasional secara formal dan definisinya pun masih dalam pertanyaan.
Kedua, dalam arena Rio+20 ada upaya
merumuskan kerangka institusi untuk pembangunan berkelanjutan. Diskusi tentang
kerangka ini sebenarnya telah berlangsung lebih dari satu dekade, tanpa ada
suatu solusi dan batasan yang jelas. Perdebatan yang terjadi ketika forum
berlangsung adalah bagaimana sesungguhnya transisi menuju ekonomi hijau dapat
dilakukan, sementara negara berkembang terus memacu diri untuk mengejar
pertumbuhan yang berkelanjutan, yang harus dipacu oleh publik dan sektor swasta
yang terkadang tak disertai upaya untuk menurunkan polusi dan emisi karbon.
Negara maju mengatakan bahwa semua negara
diingatkan untuk dapat memenuhi tantangan global, misalnya penggerusan pada
sumber daya alam dan ledakan penduduk. Negara-negara Eropa, khususnya, telah
mengarahkan kebijakan ekonominya pada sebuah road map untuk mengarah
pada transisi sebuah ekonomi hijau. Akan tetapi negara-negara berkembang, di
lain pihak, merasa khawatir dengan mengatakan bahwa hal tersebut akan
menghambat perkembangan ekonomi mereka. Karena itu, tuntutan mereka adalah
negara maju harus menyediakan bantuan pendanaan serta teknologi, jika mereka
dikehendaki menuju pada arah ekonomi hijau tersebut.
Dalam konteks nasional dan lokal, pertanyaan
inti yang harus dibungkus dari komitmen Rio+20 bagi Indonesia adalah: mampukah
kita membawa negara untuk dalam jangka panjang tidak bergantung pada sumber
daya alamnya yang tidak terbarukan, seperti penambangan batu bara, minyak,
emas, dan merusak hutan alam yang menjadi basis jasa ekosistem sebagai modal
alam (natural capital) sembari mengentaskan masyarakat miskin kita?
Optimisme harus dijawab dengan kesadaran bahwa keberlanjutan akan sangat
bergantung pada kemampuan semua pihak untuk menahan diri dari keserakahan dan
pola konsumsi serta gaya hidup (lifestyle) untuk kepentingan sesaat yang
tidak mempunyai visi pada masa depan bangsa. Komitmen Rio+20 seharusnya tidak
hanya berada di tingkat pusat, tetapi juga harus tertular pada kebijakan
pemimpin politik dan pimpinan daerah--karena otonomi--yang telah banyak memberi
andil dan memperparah kerusakan alam Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar