Peti
Mati Pendidikan Tinggi
Agus Suwignyo ; Pedagog cum Sejarawan
Pendidikan FIB-UGM
KOMPAS,
25 Juli 2012
Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan bahwa mulai 2013
mahasiswa perguruan tinggi negeri hanya membayar sumbangan pembinaan pendidikan
sebesar Rp 2 juta per tahun. Untuk itu, dikatakan bahwa pemerintah akan menanggung
seluruh biaya operasional PTN dengan alokasi Rp 5 triliun-Rp 6 triliun per
tahun (Kompas, 18 Juli 2012).
Jika pernyataan Dirjen
Pendidikan Tinggi (Dikti) ini terwujud, nantinya biaya kuliah di PTN akan
setara dengan biaya 20 tahun lalu ketika belum terjadi gelombang liberalisasi
pendidikan. Saat itu, SPP mahasiswa PTN rata-rata Rp 200.000, sedangkan harga
es teh manis di Kota Yogyakarta adalah Rp 150 per gelas. Saat ini harga es teh
telah mencapai Rp 1.500 per gelas. Angka biaya SPP Rp 2 juta per tahun cukup
wajar dan sebanding dengan kenaikan harga es teh.
Masalahnya, apakah
pernyataan tersebut bukan pepesan kosong alias sekadar untuk ”menyeimbangkan”
berita-berita penolakan atas Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) yang baru
saja disahkan? Dengan anggaran rata-rata Rp 14,1 triliun per tahun untuk 92 PTN
se-Indonesia selama ini, mahasiswa harus membayar biaya kuliah Rp 10 juta
hingga 65 juta per tahun (Kompas, 20/7/2012). Jika biaya kuliah dipatok
rata-rata hanya Rp 2 juta per tahun, mungkinkah pemerintah menutup seluruh
kekurangan biaya operasional PTN secara berkesinambungan?
Problem utama dalam
implementasi kebijakan pendidikan selama ini adalah rendahnya konsistensi dan
komitmen pemerintah. Untuk pembayaran tunjangan sertifikasi guru dan perbaikan
infrastruktur pendidikan saja pemerintah pusat dan daerah masih sering
inkonsisten kendati anggaran pendidikan 20 persen dari total APBN telah
terpenuhi. Berapa lama pemerintah akan mampu (dan mau) menanggung sepenuhnya
biaya operasional PTN yang kian mahal?
Di balik pernyataan Dirjen
Dikti sebenarnya terkirim sinyal bahwa pengesahan UU PT merupakan peti mati
bagi visi besar pengembangan PTN, misalnya sebagai universitas penelitian
berkelas dunia. Ada tiga hal mengapa demikian.
Pertama, tidak seperti UU
Badan Hukum Pendidikan yang penuh ”lubang”, UU PT disusun cukup rapi dari aspek
konstitusionalitas sehingga kecil kemungkinan upaya uji materi akan berhasil.
Tidak seperti UU BHP yang
menyeragamkan model pengelolaan PT dan bertentangan dengan hak berserikat,
sebagaimana diatur Pasal 28 UUD 1945, UU PT menjamin hak itu, baik
institusional maupun individual. Penilaian bahwa UU PT membatasi otonomi
perguruan tinggi dan memangkas kebebasan akademik tidak bermakna bahwa UU PT
inkonstitusional.
Faktanya, sejumlah peraturan
produk Orde Baru yang membuka campur tangan pemerintah pun masih berlaku hingga
sekarang. Misalnya Keputusan Dirjen Dikti No 48/DJ/Kep/1983 tentang Beban Tugas
Tenaga Pengajar pada Perguruan Tinggi Negeri, yang merujuk Peraturan Pemerintah
No 5 Tahun 1980 tentang Fungsi Pendidikan Tinggi.
Peraturan-peraturan itu
menyubordinasikan kebebasan akademik di bawah kewenangan jabatan struktural
yang politis dan sekarang sifatnya melulu administratif. Dua peraturan ini juga
dijadikan landasan penyusunan Pedoman Beban Kerja Dosen dan Evaluasi
Pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi tahun 2010 oleh Ditjen Dikti.
Pembatasan Kreativitas
Kedua, UU PT membatasi
kreativitas pengembangan ilmu melalui pengetatan pembukaan program studi
(prodi), khususnya yang pohon keilmuannya dinilai tidak jelas (Kompas,
20/7/2012). Proposal untuk membuka prodi manajemen pada fakultas ekonomi,
misalnya, berpeluang besar untuk disetujui karena pohon ilmunya jelas dan sudah
mapan meskipun prodi manajemen sudah ada di banyak institusi pendidikan tinggi
saat ini.
Sebaliknya, seperti dialami
sebuah universitas di Yogyakarta, proposal pembukaan prodi mekatronika sulit
disetujui. Bukan hanya pohon ilmunya dianggap tidak jelas, nama mekatronika
mungkin juga belum pernah didengar oleh para pejabat Ditjen Dikti.
Niat melindungi masyarakat
dari praktik ilegal penyelenggaraan pendidikan seharusnya dilakukan dengan
mendorong kreativitas pengembangan ilmu melalui bidang-bidang yang belum mapan
tetapi prospektif. Sebagaimana sejarahnya, tahun 1950-an institusi pendidikan
tinggi didirikan di setiap provinsi agar keunggulan khas setiap daerah dapat
dikembangkan dan kebutuhan daerah akan tenaga terdidik terpenuhi.
Pembatasan diperlukan justru
untuk prodi-prodi yang telah banyak jumlahnya agar hubungan
penawaran-permintaan (supply-demand) di pasar kerja tidak jenuh. Sayangnya, UU
PT tidak dilandasi cara pandang demikian.
Ketiga, dikotomi PTN-PTS
(perguruan tinggi swasta) terpancar kuat dalam UU PT. Jika biaya operasional 92
PTN ditanggung pemerintah, berapa dana dari pemerintah untuk PTS yang jumlahnya
lebih banyak dan kondisinya lebih bervariatif daripada PTN? Sebaliknya, jika
PTN diawasi dalam hal pemanfaatan anggaran, apakah pengumpulan dana masyarakat
secara langsung oleh PTS juga diawasi pemerintah dan DPR?
Jadi, bagi PTS, UU PT
diskriminatif. Bagi PTN, UU PT bersifat sentralistis karena pembiayaan PTN akan
ditanggung pemerintah, tetapi aspek-aspek kunci manajerial dan akademik diambil
alih. Untuk dunia pendidikan tinggi Indonesia secara umum, UU PT membatasi
kreativitas keilmuan.
Oleh karena itu, meskipun
konstitusional, UU PT sebenarnya tidak legitimitas karena tidak mewadahi
kepentingan para pemangku kepentingan secara seimbang. Jadi, upaya uji materi
mungkin bisa berangkat dari aspek legitimasi UU PT. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar