Soekarno
Sudah Pahlawan Nasional
Asvi Warman Adam ; Sejarawan LIPI
KOMPAS, 25 Juli 2012
Presiden pertama RI,
Soekarno, perlu segera ditetapkan sebagai pahlawan nasional,” demikian ungkapan
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie (Kompas, 17 Juli 2012).
Pernyataan itu keliru sebab
presiden pertama RI itu sudah menjadi pahlawan nasional. Soekarno dan M Hatta
sama-sama ditetapkan sebagai Pahlawan Proklamator pada 1986.
Sejak dilakukan pengangkatan
pahlawan nasional pada 1959, nomenklaturnya berubah-ubah. Ada tokoh yang
diangkat sebagai pahlawan kemerdekaan nasional dan pahlawan nasional, di
samping pahlawan revolusi (10 orang), pahlawan proklamator (Soekarno dan
Hatta), serta tokoh nasional (Mgr Albertus Soegijapranata). Namun, semuanya
sama statusnya: pahlawan nasional, termasuk dua marinir Indonesia yang
digantung di Singapura pada 1968, Usman dan Harun.
Persoalan timbul ketika
keluar UU No 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pada
Bagian Penjelasan, Pasal 4 Ayat 1 tertulis, ”yang dimaksud dengan ’Pahlawan
Nasional’ adalah Gelar yang diberikan oleh negara yang mencakup semua jenis
Gelar yang pernah diberikan sebelumnya, yaitu Pahlawan Perintis Kemerdekaan,
Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Proklamator, Pahlawan Kebangkitan
Nasional, Pahlawan Revolusi, dan Pahlawan Ampera”. Penjelasan itu bermasalah
karena para Perintis Kemerdekaan seperti mereka yang pernah dibuang ke Digul
setelah 1926/1927 bukanlah Pahlawan Nasional.
Pahlawan Ampera (Amanat
Penderitaan Rakyat) diatur oleh Tap MPRS No XXIX/1966. ”Setiap korban
perjuangan dalam menegakkan dan melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat dalam
melanjutkan pelaksanaan Revolusi 1945 mencapai masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila adalah Pahlawan Ampera.” Selanjutnya MPRS menugaskan
pemerintah meneliti dan melaksanakan hal tersebut. Jadi, dalam Tap tersebut
tidak dicantumkan nama-nama pahlawan Ampera itu. Dengan berlakunya UU No
20/2009, Tap MPRS No XXIX/1966 tidak berlaku lagi.
Sepanjang pengetahuan saya,
pahlawan Ampera bukanlah pahlawan nasional. Sama halnya dengan beberapa orang
mahasiswa Trisakti yang gugur pada 1998 disebut
Pahlawan Reformasi, tetapi
bukan pahlawan nasional.
Rehabilitasi Nama Baik
Soekarno
Persoalan lain, apakah Pahlawan
Proklamator itu setara dengan pahlawan nasional yang beraneka ragam itu? Saya
kira sejarawan dan masyarakat cenderung berpandangan bahwa Pahlawan Proklamator
lebih tinggi derajatnya dari (kategori) pahlawan nasional lainnya.
Persoalan yang menyangkut
presiden pertama RI, Soekarno, bukan saja soal kontroversi penamaan dan status
pahlawan proklamator, melainkan juga mengenai Tap MPRS No XXXIII/ 1967 yang
menyangkut pemindahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Tap itu sudah
diselesaikan dengan TAP MPR No I/2003 dengan menyatakan bahwa Tap MPRS No
XXXIII/ 1967 itu einmalig, sudah
terjadi.
Yang jadi persoalan adalah
bagian pertimbangannya yang menyebutkan Soekarno secara tidak langsung membantu
G30S yang melakukan kudeta terhadap dirinya sendiri. Kalau G30S bertujuan
menggulingkannya, sangat tidak masuk akal bila Presiden Soekarno membantu
perbuatan makar itu.
Persoalan kedua adalah
larangan terhadap Soekarno melakukan kegiatan politik sebelum berlangsung
pemilihan umum berikutnya. Larangan ini disalahgunakan oleh Panglima Kodam
Siliwangi HR Dharsono dan Pangdam Jaya Amir Machmud yang dalam praktiknya
menjadikan Soekarno sebagai tahanan kota (di Bogor) dan selanjutnya tahanan
rumah di Wisma Jasso, yang kini menjadi Museum Satria Mandala, Jalan Gatot
Subroto, Jakarta.
Pada 1967, bila Soekarno
bepergian dari Bogor ke Jakarta, ajudan Bung Karno, Ajun Komisaris Besar
Sidarto Danusubroto, harus meminta izin tertulis dari Pangdam Siliwangi untuk
keluar dari Bogor, sementara seorang ajudan lain meminta tertulis dari Pangdam
Jaya untuk masuk Jakarta. Bila Pangdam Siliwangi sedang berada di Jakarta, Ajun
Komisaris Besar Sidarto harus menunggu beberapa hari di Bandung atau—kalau
mendesak— menyusul sang Panglima di Mess Siliwangi di Kebayoran Baru, Jakarta.
Ketika Soekarno sakit gigi
dan perlu dirawat pada dokter gigi Oei Hong Kian di Jalan Syamsu- rizal,
Menteng, maka mobil Presiden Soekarno memasuki garasi rumah sang dokter yang
telah dikosongkan. Setelah mobil itu masuk, pintu garasi ditutup dan Soekarno
masuk ke dalam rumah dari garasi dengan dikawal ketat beberapa tentara. Ini
dilakukan agar Bung Karno tidak bisa berhubungan dengan, bahkan tidak terlihat,
oleh rakyat. Pengobatan itu tidak dipungut bayaran oleh drg Oei Hong Kian
karena Soekarno memang tak punya penghasilan lagi.
Persoalan rehabilitasi nama
baik mantan Presiden Soekarno dapat dilakukan melalui keputusan presiden yang
dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena presiden memang memiliki
hak memberikan rehabilitasi. Dapat pula dalam keputusan presiden tersebut
dicantumkan penegasan bahwa Pahlawan Proklamator lebih tinggi derajatnya
daripada pahlawan nasional. Ini tentu bisa lebih cepat dilakukan ketimbang
menunggu revisi UU No 20/2009 oleh DPR yang mungkin akan memakan waktu lebih
lama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar