Absolutisme
Negara tanpa Hukum
Bambang Satriya ; Guru Besar Stiekma,
Dosen Luar Biasa Universitas Ma-Chung Malang, Penulis Buku
Etika Birokrasi
MEDIA INDONESIA, 25 Juli 2012
DALAM
Editorial Media Indonesia (24 Juli 2012) ada pernyataan mengenai pengetahuan
SBY tentang kasus-kasus korupsi di pelbagai lembaga yang melibatkan banyak
pejabat. Presiden menegaskan dia memiliki bukti sahih tentang kasus-kasus itu,
tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada lembaga penegak hukum untuk bertindak.
Sebagai presiden yang mendeklarasikan sebagai pemimpin perang terhadap korupsi,
bukti-bukti pelanggaran ada di depan mata, tahu, dan sahih. Namun, lagi-lagi
atas nama nonintervensi, semua data itu diserahkan kepada aparat penegak hukum.
Mau ditindak silakan, tidak juga tidak apa-apa.
Itu
pernyataan seorang pemimpin yang sedang ‘galau’, meski dirinya pastilah paham
di pundaknya dipercayakan konstitusi untuk mengimplementasikan atau
menyelenggarakan kekuasaan guna mewujudkan dan membumikan hukum, dan bukan
menyerahkan secara sukarela. Tanpa dorongan kekuatan besar dan maksimal
darinya, pembumian hukum tidak akan mungkin bias terwujud.
Sebaliknya,
kekuatan para pembangkang atau penyelingkuh hukum akan semakin besar dan
sistematis akibat diberi ruang yang semakin terbuka untuk menggali, menguatkan,
dan mengakselerasikan potensinya. Norma yuridis kian dibuat dan dikondisikan
sebagai instrumen yang terkooptasi dan tereduksi oleh kepentingan politik
jangka pendek dan jangka panjang.
Oleh
para penyelingkuh itu, hukum dibuat tak berbicara atas nama ‘norma’ atau nyawa
konstitusi, tetapi dibuat sebagai segmentasi instrumen bercorak asal ada dan
penghias legalitas keabsahan negara. Hukum tak diberikannya tempat untuk
mempertanggungjawabkan setiap jenis perbuatan yang diduga sebagai kriminalitas
atau tindak pidana (straafbaarfeit)
karena hukum sudah diseret ke ranah mempertanggungjawabkan dengan paradigma
‘pemilahan dan pemilihan’ mengenai siapa yang patut dipertanggungjawabkan.
Kosakata
‘terserah’ penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk
mempertanggungjawabkan atau tidak, memang, di satu sisi sebagai wujud apresiasi
terhadap independensi kinerja (KPK), tetapi itu dapat terbaca dari sisi lain,
yang mengesankan KPK atau aparat penegak hukumlah yang bertanggung jawab mutlak
dan berperan mempertanggungjawabkan segala bentuk penyimpangan di negeri ini.
Semestinya,
sesuai dengan kompetensi konstitusionalnya, presiden punya peran sangat b besar
untuk menjadi pengadil a setiap para pembantu atau atas menteri-menterinya yang
dinilainya tidak mampu bekerja atau diduga melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), atau sedang berurusan
dengan hukum. Tanpa perlu menunggu kemungkinan diproses dalam ranah penerapan
sistem peradilan pidana (criminal justice
system) atas dugaan kasus korupsinya, kompetensinya sebagai presiden bisa
atau harus diwujudkan.
Kalau
sosok yang diberi `kekuasaan' sangat besar oleh konstitusi saja kurang
memberikan apresiasi besar terhadap perkara-perka ra hukum yang bersifat sangat
istimewa (extra ordinary) seperti
korupsi, bagaimana jadinya wajah Indonesia ke depan sebagai negara yang
menyandang predikat rechtstaat (negara
hukum)? Masih mungkinkah bangsa ini bisa terlepas dari cengkeraman para
penyelingkuh kekuasaan kalau norma yuridis konstitusional semakin ditemaramkan?
Dampak
menguntungkan tentulah bisa dinikmati para penyelingkuh kekuasaan, dalam hal
ini koruptor dan segmen kekuasaan yang mendapatkan `kenikmatan' darinya.
Politik titik balik diniscayakan terjadi dan bahkan membesar (mengabsolut)
dalam bentuk tampilnya sejumlah orang dalam korporasi dan sindikasi parpol
nakal atau kelompok tangan-tangan gaib (the
invisible hands) yang terjebak membela dan mengayomi koruptor, sementara
institusi yang berusaha menjadi me sin pemberantas korupsi dan penjaga citra
negara hukum sudah distigmakan publik sebagai institusi yang mandul, impoten,
dan setidaknya terancam kesulitan mengerahkan segenap kemampuannya untuk
melawan koruptor.
Kekuatan
sindikasi koruptor yang semula temaram atau tidak menunjukkan nyali untuk
berwacana seolah mendapatkan angin segar guna mengagregasikan kedaulatannya. Itulah
yang pernah diingatkan AM Rahman, penulis buku antologi puisi berjudul Badai
Serigala (2006) dengan kalimat `belalah koruptor, negeri pasti terkapar,
belalah koruptor, negeri pasti telantar, belalah koruptor, negeri pasti
terbakar, belalah koruptor, negeri pasti terkubur, belalah koruptor, rakyat
pasti lebur'.
Paparan
itu sejatinya sebagai kritik radikal kepada pimpinan tinggi negara, khususnya
yang mendapatkan amanat konstitusi, bahwa seharusnya koruptor wajib mereka jadi
kan sebagai musuh terbesar negara yang diperangi secara maksimal dan konsisten.
Koruptor
merupakan jenis perampok elitis yang telah mengakibatkan kerugian besar. Sebut
misalnya telah merajalela bagai gurita. Korupsi telah `biasa' dilakukan dari
tingkat aparat paling rendah, ketua RT, hingga pejabat tinggi negara. Pada 2011
terdapat 436 kasus ko rupsi dengan jumlah tersangka 1.053 orang. Potensi
kerugian negara akibat korupsi itu ialah Rp2,169 triliun. Yang menarik,
kebanyakan pelaku korupsi itu memiliki latar belakang pegawai negeri sipil
(PNS). Tersangka berlatar belakang pegawai negeri menempati urutan teratas
dengan jumlah 239 orang. Mereka diikuti direktur atau pimpinan perusahaan
swasta dengan 190 orang, serta anggota DPR/DPRD berjumlah 99 orang.
Koruptor
tak perlu ditempatkan sebagai ‘kawan’ dalam membangun kekuatan politik (political power) karena mereka telah
membuat wajah negeri ini semakin sengkarut dan menjadikan rakyat terpuruk dalam
kompilasi penderitaan. Sayangnya, banyak unsur strategis masyarakat dan bangsa
ini yang lebih suka berkawan atau menjalin ‘persaudaraan’ dekat dengan
koruptor, padahal di dalam pundaknya sudah ada amanat menjadi penghancurnya.
Yang
selama ini mencuat, saat belum bertemu koruptor, aparat penegak hukum atau
pilar institusi strategis yang diberi mandat konstitusi untuk menjalankan misi
jihad melawan koruptor gampang berjanji, bahwa korupsi akan dihabisi atau
dibersihkan dari Bumi Pertiwi ini dan siapa pun di antara para pilar negara
yang berurusan dengan hukum karena korupsi disuruhnya mundur atau menanggalkan
jabatannya.
Sayangnya
setelah berdekatan dan dimanjakan koruptor, pilar negara itu lantas kehilangan
jiwa independensi dan ‘suara suci’ mereka, dan bahkan berparadigma politik
terbalik dalam memberikan ruang pada koruptor atau kandidat koruptor untuk
merumuskan dan menerapkan jurus-jurus yang bisa menghabisi atau mengamputasi
kesakralan norma yuridis.
Siapa
pun elemen bangsa ini, khususnya pilar utamanya yang masih berpikiran jernih
atau cerdas, tentulah mengakui korupsi merupakan kejahatan yang terbilang
serius, penyakit kanker yang potensial menghancurkan dan mengubur negeri ini.
Siapa yang menganggap remeh, apalagi menaļ¬ kan urusan korupsi atau para
penyelingkuh hukum, berarti menyerahkan nasib rakyat negeri ini ke tiang
gantungan kematian.
Masih
tetap bersemainya kasus korupsi atau mencengkeramnya kekuatan sindikasi
koruptor di negeri ini mengindikasikan kita selama ini masih kalah bertarung
dengan koruptor atau belum menempatkan khitah moral perlawanan terhadap
koruptor. Koruptor masih berdaya membuat elite kekuasaan atau pimpinan negara
terperangkap dalam politik ‘setengah hati’ untuk menumpas atau memeranginya.
Segmen elite white collar crime itu secara tidak langsung diberi kelonggaran
tampil lebih maju, berani, lihai, terorganisasi, atau mengabsolut dalam
menyebarkan dan menyuburkan kejahatannya. Memang ada beberapa yang berhasil
dijerat dan dikenai hukuman beberapa tahun penjara, tetapi layaknya pepatah mati
satu tumbuh seribu, korupsi itu pun tetap berjalan jemawa dalam keberdayaannya
akibat berlakunya politik pemanjaan yang diberikan tempat melindungi dan bahkan
membenarkannya. Ada beberapa orang yang berhasil dijebloskan ke penjara, tetapi
beberapa orang yang jumlahnya lebih banyak terus bermunculan menunjukkan
aksinya akibat nihilitas konsistensi dalam menjaga atau membumikan khitah moral
perlawanan terhadap koruptor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar