Mengapa Banyak Tokoh
Rebutan Kursi Ketua Umum PSSI Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 04
Desember 2022
PRESTASI sepak bola
Indonesia boleh jadi masih tergolong “ala kadarnya”—atau bahkan menurun.
Namun kepengurusan induk organisasi yang mengurus cabang olahraga itu
tetaplah menjadi magnet bagi banyak tokoh publik. Kini, menjelang Kongres
Luar Biasa Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, sejumlah pejabat negara,
pengusaha, hingga politikus mengincar posisi Ketua Umum PSSI menggantikan
Mochamad Iriawan. Kongres luar biasa akan
dilaksanakan pada 16 Februari 2023. Selain memilih ketua umum, acara ini
akan menentukan wakil ketua umum dan anggota komisi eksekutif baru. Masa
kepengurusan Iriawan yang seharusnya berakhir pada akhir
tahun dipangkas setelah pecahnya tragedi di Stadion Kanjuruhan,
Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022. Peristiwa yang menewaskan setidaknya
135 orang itu meledak seusai pertandingan Liga 1 antara Arema
Malang dan Persebaya Surabaya. Tim Gabungan Independen
Pencari Fakta yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan
Mahfud Md. menginvestigasi insiden tersebut dan menemukan sejumlah
pelanggaran. Di antaranya, tim itu menyebut adanya kelalaian Ketua Umum PSSI
dan jajarannya. Tim independen pun mendesak PSSI menyelenggarakan
kongres luar biasa sebagai syarat pertandingan liga bisa bergulir lagi. Sudah semestinya Mochamad
Iriawan dan pengurus PSSI yang sekarang bertanggung jawab atas insiden maut
tersebut. Walaupun hanya dua pemilik suara yang mengusulkan, yaitu Persis
Solo dan Persebaya Surabaya—jauh dari syarat minimal—PSSI memutuskan
menggelar kongres luar biasa. Menjelang pelaksanaan KLB,
sejumlah kandidat ketua umum mulai muncul. Mereka antara lain Menteri Badan
Usaha Milik Negara Erick Thohir; pemilik MNC Group dan Ketua Umum Partai
Persatuan Indonesia (Perindo), Hary Tanoesoedibjo; serta Kepala Staf Angkatan
Darat Jenderal Dudung Abdurachman. Erick menjadi nama yang paling banyak
disebut, bahkan dimunculkan dalam sejumlah survei popularitas calon
ketua umum. Langkah Erick untuk
maju dalam pencalonan terlihat sejak beberapa hari setelah tragedi
Kanjuruhan. Menjabat menteri bidang ekonomi, Erick lompat pagar mengambil
tugas dan peran Menteri Pemuda dan Olahraga sebagai pelobi Federasi
Internasional Asosiasi Sepak Bola atau FIFA. Dia disebut-sebut berjasa melobi
Presiden FIFA Gianni Infantino agar tidak menjatuhkan sanksi pembekuan sepak
bola Indonesia dari kompetisi internasional. Tanpa lobi pun,
tidak pernah ada rencana FIFA menjatuhkan sanksi akibat kejadian
tersebut. Erick memiliki pengalaman
yang banyak dalam sepak bola. Dia pernah menjadi pemilik dan presiden
klub sepak bola ternama Italia, Inter Milan. Ia juga memiliki D.C. United di liga
Amerika Serikat. Sekarang dia juga menguasai saham klub liga 1 Inggris,
Oxford United. Di Tanah Air, keluarganya memiliki klub Liga 1, Persis
Solo, bersama anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep. Munculnya Erick pada
saat yang sama menumbuhkan kekhawatiran PSSI bakal menjadi tunggangan politik
menteri berlatar belakang pengusaha itu menjelang Pemilihan Umum 2024.
Erick yang disebut-sebut mengincar posisi calon wakil presiden sedang
sibuk-sibuknya berkeliling ke banyak daerah. Menjabat Ketua Umum PSSI bisa
menjadi jalan pintas mendongkrak elektabilitas pemilik Mahaka Sports and
Entertainment ini. Berkiprah di PSSI untuk
mendapat manfaat elektoral tentu sah-sah saja. Namun, berpijak pada
pengalaman lalu, sepak bola Indonesia tidak pernah maju karena sering kali
hanya menjadi kendaraan politik sesaat ketua umumnya. Belum lagi praktik
jual-beli gelar liga, pengaturan skor, dan tawuran antarsuporter yang
masih menjadi masalah besar di sepak bola Indonesia. Noda-noda itu susah dihilangkan
karena ketua umumnya tidak punya keahlian mengelola sepak bola lantaran
lebih sibuk menjalankan aktivitas politik. Selain itu, posisi Erick
selaku menteri yang menjadi wakil negara sebagai pemegang saham di ratusan
perusahaan pelat merah berpotensi menimbulkan pelbagai konflik kepentingan.
Misalnya, keputusan direksi BUMN dalam menghadapi pengajuan permintaan
sponsor dari klub-klub liga Indonesia bisa jadi tidak akan diambil dengan
pertimbangan bisnis semata. Pada masa lalu, ketika
klub sepak bola boleh mendapat kucuran dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah, pengelolaan sepak bola menjadi kacau. Para kepala daerah yang
merasa menjadi pemilik klub banyak merecokinya dengan kepentingan
politik. Banyak pengurus klub juga terseret kasus korupsi sepak
bola. Sampai kemudian, pada 2011, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan
larangan penggunaan anggaran daerah bagi klub sepak bola. Ketika
kepentingan politik menjadi dominan, hal itu bisa tergambar dari
orientasi yang hendak dicapai dalam pengelolaan PSSI. Contoh terbaru, pilihan
Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 2023 sebagai cara instan
mendapatkan tiket tanpa melewati babak penyisihan. Langkah serupa
diambil Qatar, yang sedang menggelar Piala Dunia 2022. Tim tuan rumah
terbukti gagal melewati babak penyisihan grup. Kongres Luar Biasa memilih
Ketua Umum PSSI mendatang akan jadi pertaruhan. Para pemegang hak suara
menjadi kunci apakah mereka membuka atau menutup pintu bagi para kandidat,
yang hanya ingin menjadikan sepak bola Tanah Air sebagai gocekan politik
semata. Jika gagal menentukan pemimpin yang tepat, harapan kemajuan sepak
bola Indonesia akan makin tipis saja. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/167567/mengapa-banyak-tokoh-rebutan-kursi-ketua-umum-pssi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar