Bagaimana Perusahaan
Besar Berebut Pasokan Beras Khairul Anam : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 04
Desember 2022
YIMMY Stephanous sedang
terjepit. Dia harus memilih, apakah tetap mengirim pasokan beras ke para
pelanggannya atau mengalihkan pasokan ke Perusahaan Umum Badan Urusan
Logistik. Lewat beberapa perusahaan di Jawa Timur, seperti PT Surya Pangan
Semesta dan CV Sumber Pangan, Yimmy biasa menyuplai 300 ton beras per hari ke
Pasar Induk Beras Cipinang di Jakarta Timur. Beras medium yang ia kirim
dibungkus dalam kemasan 500 kilogram. Dari Cipinang, beras Yimmy beredar ke
konsumen rumah tangga. Sejak awal bulan lalu,
Perum Bulog meminta Yimmy memasok beras untuk menambah cadangan beras
pemerintah (CBP) yang terus menipis. Yimmy mengaku terjepit karena
pasokan gabah dari petani sedang seret. Menurut dia, hasil panen sejak Juli
hingga September lalu drop, terutama di Jawa. “Turunnya merata, hanya di
Sulawesi yang masih bagus,” katanya kepada Tempo, Jumat, 2 Desember
lalu. Gara-gara hasil panen yang
turun, sejumlah pelaku penggilingan padi seperti Yimmy berebut gabah. Harga
gabah pun melonjak. Karena itu, ketika ada permintaan dari Bulog, Yimmy
terpaksa menghentikan pasokan beras medium ke Cipinang. “Sudah 25 hari enggak
kirim ke Cipinang, semua saya alihkan ke Bulog,” ujar pria 41 tahun ini.
Kepada Bulog, Yimmy menyanggupi pasokan 10.500 ton beras. Dari target
tersebut, yang sudah terkirim adalah 9.500 ton. Yimmy memulai bisnis beras
dari sebuah toko di Cipinang pada 2002. Saat ini dia sudah memiliki empat
pabrik di bawah sejumlah perusahaan, yaitu CV Sumber Pangan, PT Surya Pangan
Semesta, dan CV Surya Inti Pangan. Perusahaan-perusahaan itu punya empat
pabrik, yaitu di Subang, Jawa Barat; Kediri dan Ngawi, Jawa Timur, serta
Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Empat pabrik itu punya kapasitas
produksi 700-800 ton beras per hari. Tahun lalu, empat pabrik itu memproduksi
200 ribu ton beras. Di tengah seretnya pasokan
gabah dari petani, Yimmy mesti pandai-pandai mengatur strategi dan
mengalirkan dagangannya. Apalagi, dia melanjutkan, persaingan bisnis beras
kelas industri makin ketat. Sebagai contoh, saat mendapat order dari Bulog,
Yimmy terpaksa melepas permintaan beras medium dari Pasar Induk Cipinang yang
biasa ia layani. Senyampang dengan itu, Yimmy tetap memproduksi beras kelas
premium dengan merek Lahap. “Lahap memang bisnis terbesar kami. Bisa sampai
50 ribu ton lebih dalam setahun,” ucapnya. Bisnis beras makin
dinamis. Tak cuma diwarnai naik-turunnya jumlah pasokan gabah dari petani,
industri ini pernah dihebohkan oleh berbagai kasus, seperti penimbunan stok
yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga. Salah satunya kasus PT
Tiga Pilar Sejahtera atau TPS Food pada 2017. Kementerian Pertanian dan
kepolisian menggerebek salah satu pabrik TPS Food dan menuding mereka
menimbun serta mengoplos beras untuk masyarakat prasejahtera menjadi beras
premium yang dijual mahal di gerai retail modern. Padahal saat itu TPS
Food, yang mengemas beras merek Maknyuss, sedang di puncak
kesuksesan. Perusahaan ini menjadi produsen beras terbesar dengan
kapasitas produksi 450 ribu ton setahun. Kini TPS tersungkur karena
berbagai masalah, dari kasus hukum, persoalan keuangan, hingga kebangkrutan
empat anak usahanya pada 2019. Pabrik beras terbesar mereka yang berada di
Sragen, Jawa Tengah, dijual lewat lelang. Praktis sejak saat itu tidak ada
lagi produsen beras berskala besar seperti TPS. Namun sejak beberapa tahun
lalu ada pemain besar yang masuk ke industri beras. Sejumlah pengusaha beras
menyebut satu nama: PT Wilmar Padi Indonesia atau WPI. WPI merupakan anak
usaha raksasa sawit dan minyak goreng Wilmar Group. Wilmar adalah perusahaan
yang dimiliki pengusaha Singapura, Kuok Khoon Hong, kerabat orang terkaya
nomor dua di Asia Tenggara, Robert Kuok, yang juga dikenal sebagai saudagar
dari Malaysia. Wilmar mengakuisisi pabrik
PT Lumbung Padi Indonesia atau LPI. LPI adalah perusahaan hasil kongsi
pengusaha nasional dan mantan Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel; Fara Luwia;
serta produsen mesin giling asal Jepang, Satake. LPI membuat pabrik beras di
Mojokerto, Jawa Timur, yang kini dikuasai WPI. WPI pun membangun pabrik
beras baru di Ngawi, Jawa Timur; Serang, Banten; dan Kuala Tanjung, Sumatera
Utara. Pabrik di Kuala Tanjung berada di kawasan industri milik Grup Wilmar.
“Wilmar mendirikan bisnis beras untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan
menjadi mitra pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan nasional,” kata
Rice Head Business WPI Saronto kepada Tempo, Jumat, 2 Desember lalu. Tak ada yang kaget melihat
Wilmar masuk ke bisnis beras. Menurut Kevin Winarta, Direktur PT Belitang
Panen Raya (BPR), Wilmar pandai memanfaatkan peluang dan jaringan
bisnis. Dia mengatakan Wilmar memanfaatkan jalur distribusi minyak
goreng untuk beras. Dengan cara ini, Wilmar menguasai dua produk pangan yang
saling melengkapi dan merupakan bahan kebutuhan pokok masyarakat. “Dua produk
ini bisa di-bundling, distributor minyak sekaligus jualan beras,” tutur Kevin
pada Jumat, 2 Desember lalu. WPI kini menjual beras dari eks pabrik LPI serta
merek Sania, Siip, Fortune, dan Sovia. Merek-merek ini lebih dulu
dikenal sebagai merek minyak goreng. Pemain lain adalah BPR
yang digawangi Kevin Winarta. Pria 25 tahun ini adalah putra Johan Winarta,
pendiri BPR, perusahaan yang memproduksi beras premium merek Raja. BPR yang
berdiri pada 2005 mulanya beroperasi di Ogan Komering Ulu dan Palembang,
Sumatera Selatan. Belakangan, BPR berekspansi ke Jawa dengan mengoperasikan
pabrik di Karawang, Jawa Barat. Pada 2014, BPR berkongsi
dengan Triputra Group milik pengusaha Theodore Permadi Rachmat dan Persada
Capital kepunyaan keluarga Subianto. Johan Winarta, T.P. Rachmat, dan
Subianto berbagi saham di BPR serta anak-anak usahanya, yaitu PT Sumber
Energi Pangan (SEP), anak usaha Triputra yang bergerak di industri pangan.
Kevin mengakui, agar bisa bersaing, perusahaannya membutuhkan rekan bisnis
seperti Triputra dan Persada Capital. “Di mana-mana, orang kalau mau lawan gajah
mesti berkawan sama gajah juga. Enggak bisa semut lawan gajah,”
tuturnya. Berkat kongsi itu, BPR
kini makin ekspansif. Perusahaan ini mendapat tambahan pasokan beras dari
pabrik PT Seger Agro Nusantara (SAN) di Cepu, Jawa Tengah; dan Makassar. SAN
adalah anak usaha SEP. “SEP sebenarnya berfokus pada bisnis jagung. Kalau
tidak ada pasokan jagung, mereka mengerjakan beras pesanan BPR,” ujar
Kevin. SAN sebetulnya punya merek beras sendiri, SGR, yang beredar di
Sulawesi Selatan. Tapi, untuk pasar yang lebih luas, SEP tetap mengandalkan
merek Raja yang dijual BPR dan sudah memiliki konsumen loyal selama
bertahun-tahun. ••• MESKI volume produksinya
makin besar dan harga jualnya tinggi, porsi bisnis beras premium dalam
industri beras nasional sebetulnya masih sangat kecil. Mengacu pada data
Badan Pusat Statistik, produksi beras nasional pada 2021 mencapai 31,36 juta
ton. Tidak ada angka pasti berapa produksi beras premium untuk pasar modern,
tapi terdapat sejumlah hal yang bisa menjadi acuan untuk estimasi. PT Buyung Poetra Sembada
Tbk (HOKI), misalnya. Satu-satunya produsen beras berstatus perusahaan
terbuka ini hanya mencatatkan hasil penjualan beras sebanyak Rp 951 miliar
pada 2021. Buyung salah satu produsen beras modern besar dengan merek andalan
Topi Koki dan Hok-1. Produsen lain, seperti PT Sinar Makmur Komoditas, bahkan
hanya memproduksi beras sebanyak 50 ribu ton pada 2021. Itu setara dengan
seperempat produksi beras di Jombang, Jawa Timur. Menurut komisaris dan
pemilik PT Sinar Makmur Komoditas atau SMK, Hendra Tan, produsen beras sangat
banyak. Ada perusahaan seperti SMK yang memproduksi merek sendiri. Selain
itu, banyak perusahaan nonberas yang mencoba peruntungan di bisnis beras
tanpa pabrik sendiri. Hendra mengakui SMK masuk
kategori perusahaan beras kelas menengah dengan kapasitas produksi 7 ton per
jam. Angka ini jauh jika dibandingkan dengan kemampuan produksi satu pabrik
WPI milik Wilmar yang bisa sampai 20-30 ton per jam. “Tapi kami dikenal
sebagai produsen beras yang mengutamakan mutu,” kata Hendra pada Jumat, 2
Desember lalu. Di pasar modern, beras SMK beredar dengan merek Sumo. Pemain beras, menurut
Hendra, kini juga bersaing dengan perusahaan retail dan pemain dari industri
lain yang membeli beras dari penggilingan dan mengemasnya dengan merek
sendiri. Dia menyebutkan Indomaret, Alfamart, Indofood, juga MNC yang bermain
di segmen ini. Indofood, misalnya, menjual beras dengan merek Gurih. Tak
punya pabrik sendiri, Indofood memesan beras itu dari CV Samudera,
penggilingan gabah yang berlokasi di Bondowoso, Jawa Timur. Adapun MNC menjual beras
merek Keluarga Bijak. Bisnis beras ini berada di bawah bendera PT MNC Aladin
Indonesia, sayap bisnis retail Grup MNC. Untuk memproduksi beras Keluarga
Bijak, MNC berkontrak dengan penggilingan CV Tiga Jaya di Karawang. Di masa
mendatang, setelah bisnisnya terus bertumbuh, grup usaha besar ini bisa jadi
mengoperasikan pabrik sendiri. Menurut Hendra, makin
banyaknya perusahaan produsen beras berskala industri menjanjikan berkah
sekaligus musibah. Berkahnya adalah produksi beras secara massal dengan cara
modern akan makin marak. Ini mendatangkan manfaat bagi konsumen yang
mengutamakan kualitas beras dan harga yang bersaing. Namun, bagi penggilingan
berskala kecil, kondisi ini menjadi musibah. Penggilingan kecil harus
bersaing dengan produsen beras berskala besar untuk mendapatkan gabah dari
petani. Kondisi makin buruk saat jumlah produksi gabah menciut akibat masalah
cuaca, hama, dan gagal panen. “Banyak penggilingan kecil mati suri. Ada saja
penggilingan kecil yang mati dan saat panen raya mereka kembali hidup karena
gabah melimpah,” tutur Hendra, yang juga menjabat Ketua Persatuan Pengusaha
Penggilingan Padi dan Beras Jawa Timur. Perusahaan-perusahaan
besar, seperti Wilmar, BPR, SPS, dan SMK, harus menjalin kemitraan dengan
petani untuk memastikan keberlanjutan pasokan gabah mereka. Jika tidak,
pabrik besar yang telah mereka bangun bakal berhenti beroperasi. Sebagai contoh, Hendra di
Jombang menggandeng para petani dengan total luas lahan 1.000 hektare yang
menghasilkan 5.000 ton gabah. Wilmar bermitra dengan petani di Jawa Timur,
Banten, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Lampung dengan luas lahan 4.000
hektare. Sedangkan BPR menjajaki
potensi pasokan gabah di Jawa dan bersiap membangun satu pabrik baru di Jawa
Tengah. “Kendal menjadi salah satu opsi pabrik baru kami. Tapi mungkin ada
opsi lain,” ujar Kevin Winarta, Direktur BPR. Tapi Kevin juga sudah pasang
kuda-kuda. Sebab, menurut dia, di Jawa Tengah sudah banyak pabrik beras.
"Pasti perang harga buat nyari gabah.” Perum Bulog juga ikut
berebut beras. Direktur Utama Bulog Budi Waseso mengaku sulit menyerap beras
atau gabah dari petani karena bersaing dengan pihak swasta. Menurut Budi,
swasta bisa membeli beras atau gabah dengan harga komersial, sementara Bulog
terikat aturan harga pembelian yang ditetapkan pemerintah. Untuk memenuhi kebutuhan
cadangan beras pemerintah, Bulog harus membeli dengan harga Rp 8.300 per
kilogram. Sedangkan swasta mau membeli dengan harga komersial hingga di atas
Rp 10 ribu per kilogram. "Karena itu, kami juga kini memakai harga
komersial Rp 10.200," kata Budi kepada Tempo pada Senin, 28 November
lalu. Dengan kondisi itu, pabrik
besar akan terus berekspansi dan penggilingan kecil mati. Bulog pun makin
sulit memenuhi kebutuhan cadangan beras pemerintah. Semua karena satu
masalah: tingkat produksi gabah yang rendah yang membuat pasokan beras jadi
seret. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar