Peran Ulama Perempuan
dalam Peradaban Maria Ulfah Anshor : Anggota Majelis Musyawarah KUPI,
Komisioner Komisi Nasional Perempuan Indonesia |
MAJALAH TEMPO, 04
Desember 2022
KONGRES Ulama Perempuan
Indonesia (KUPI) lahir dari semangat dan kebersamaan para individu, lembaga,
dan komunitas yang yakin atas keislaman yang adil bagi laki-laki dan
perempuan. Kongres ulama perempuan ini juga menghendaki keislaman Indonesia
yang moderat serta mengusung nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan, dan
kerahmatan bagi semesta (rahmatan lil alamin). Pernyataan tersebut
disampaikan oleh Ketua Panitia KUPI II Nyai Badriyah Fayumi saat pidato
pembukaan KUPI II pada 24 November 2022 di Pesantren Hasyim Asy’ari yang
diasuh oleh Nyai Umi A’izzah di Bangsri, Jepara, Jawa Tangah. Tepuk tangan
meriah semua hadirin segera membahana menyambut pernyataan itu. Substansi
pernyataan tersebut adalah benang merah yang menghubungkan keberlanjutan
visi-misi KUPI I dan KUPI II ataupun gerakan ulama perempuan ke depan dalam
membangun peradaban yang berkeadilan. Saya ingat KUPI I
diselenggarakan pada 25-27 April 2017 di Pesantren Kebon Jambu al-Islamy,
Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, pimpinan Nyai Masriyah Amva. Pada
waktu itu sebagian besar anggota panitia merasa khawatir dan takut ada
penolakan dari sejumlah pihak. Bahkan peserta yang hadir pun terseleksi
dengan sangat ketat hingga berlapis. Saya ingat satu peserta minimal mendapat
rekomendasi dari dua tokoh yang berasal dari Alimat, Fahmina, atau Rahima
sebagai lembaga inisiator sekaligus penyelenggara KUPI I. Diskusi dan
perumusan hasil musyawarah keagamaan pun dilakukan dengan sangat hati-hati
untuk menghindari kontroversi, baik dari peserta kongres maupun para ulama
lain di luar peserta kongres. Tapi hasilnya di luar
dugaan. Musyawarah keagamaan KUPI I diadopsi oleh banyak pihak dan
tersosialisasi dalam waktu yang relatif singkat atas inisiatif media massa
nasional dan internasional yang cukup masif. Ketakutan dan kekhawatiran yang
dirasakan oleh hampir sebagian besar panitia sirna dengan sendirinya. Tidak
ada penolakan sama sekali dari publik. Bahkan panitia KUPI kewalahan menerima
tawaran kerja sama dari luar KUPI, termasuk dari luar negeri, baik untuk
mensosialisasi hasil musyawarah keagamaan KUPI maupun menjalankan program
tindak lanjut KUPI I. Kini dalam penyelenggaraan
KUPI II nyaris tidak ada kekhawatiran apa pun. Tampak sekali berkat kerja
keras dan cerdas yang inklusif, kini keberadaan ulama perempuan mulai diakui.
Disadari ataupun tidak, rasanya seperti ada semacam pengakuan publik. Bahkan
KUPI II sangat terbuka menjadi mitra strategis berbagai lembaga, termasuk
dari generasi milenial. KUPI II banyak sekali menggelar halaqah dan diskusi
paralel. Setidaknya ada tiga halaqah kebangsaan dengan tema “Meneguhkan Peran
Ulama Perempuan dalam Merawat dan Mengokohkan Persatuan Bangsa”, “Temu Tokoh
Agama dalam Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Memperkuat Kebangsaan”,
dan “Merumuskan Strategi Bersama untuk Percepatan Pengesahan RUU PPRT”. Ada
pula lima musyawarah keagamaan dan tiga halaqah umum (panel) dengan
tujuh-sebelas tema diskusi paralel. Walhasil, KUPI telah
menjadi ruang perjumpaan ulama perempuan dari berbagai latar lembaga
pendidikan dan organisasi, sekaligus ruang perjumpaan ulama perempuan dengan
para aktivis pemberdayaan perempuan, korban ketidakadilan, pakar, praktisi,
representasi lembaga negara, dan pejabat pemerintahan. Ruang perjumpaan itu
meliputi fisik, visi, pemikiran, jejak perjuangan, serta pengalaman para
peserta yang beragam tapi sangat terlihat jelas benang merahnya. Sifat KUPI
yang nonpartisan, inklusif, partisipatoris, serta lintas organisasi, latar
belakang, dan generasi telah benar-benar menjadi ruang bersama yang hasilnya
kemudian juga menjadi milik bersama. Rekomendasi KUPI I dalam
waktu yang relatif singkat menjadi rujukan bagi banyak pihak. Ini khususnya
terjadi saat pembahasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual. Pandangan keagamaan KUPI tentang penghapusan
kekerasan seksual menjadi bahan advokasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Hasil musyawarah keagamaan perkawinan anak pun telah dirujuk oleh berbagai
pihak dalam advokasi menaikkan usia perkawinan, termasuk oleh
kementerian/lembaga saat menyusun Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan
Anak pada 2019. Sekarang KUPI II
melahirkan lima hasil musyawarah keagamaan, yaitu: 1) pengelolaan sampah bagi
keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan; 2) peran perempuan
dalam melindungi negara dari bahaya ekstremisme beragama; 3) pelindungan
perempuan dari pemaksaan perkawinan; 4) pelindungan jiwa perempuan dari
bahaya kehamilan akibat pemerkosaan; serta 5) pelindungan perempuan dari
bahaya pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan tanpa alasan medis. Keterhubungan dan
keberlanjutan KUPI I dan KUPI II adalah pada perspektif keadilan hakiki dan
mubadalah (kesalingan). Perspektif ini digunakan peserta KUPI dalam setiap
pembahasan dan perumusan, terutama dalam diskusi paralel dan musyawarah keagamaan,
selain menjadi legitimasi ilmiah tersendiri atas keberadaan ulama perempuan.
Apa yang dihasilkan KUPI, berupa ikrar keulamaan perempuan, rekomendasi umum,
dan hasil musyawarah keagamaan, adalah wujud implementasi perspektif
mubadalah dan keadilan hakiki ini. Mereka bekerja sama untuk
menebar keimanan, menciptakan keadilan, dan membumikan kerahmatan, baik di
level keluarga, komunitas, maupun kancah nasional dan internasional. Termasuk
melalui kerja-kerja penafsiran teks-teks Islam dan keterlibatan dalam segala
peran sosial-politik laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan cita-cita
berbangsa dan bernegara. Ini tentu saja sesuai dengan yang dinyatakan dalam
konstitusi Indonesia. Realitas sosial ulama
perempuan dipengaruhi oleh konteks geopolitik, budaya, dan proses asimilasi
Islam dengan berbagai budaya lokal. Islam hadir di Indonesia diperkirakan
pada abad ke-12 sebagai agama baru. Kehidupan keagamaannya terbuka bagi
perempuan untuk beraktivitas di mana pun, termasuk di ruang publik. Meskipun peran perempuan
belum tercatat dalam sejarah Islam pada masa awal masuk ke Indonesia, pada
abad ke-16 terdapat sejumlah perempuan yang memiliki peran cemerlang. Jika
mengacu pada dokumen sejarah perempuan Islam Indonesia dalam “Dokumen Resmi
Proses dan Hasil KUPI I” yang dirangkum oleh Faqihuddin Abdul Kodir, tercatat
kiprah sejumlah perempuan unggul. Di antaranya Ratu Sinuhun (1642), istri
Raja Kesultanan Palembang Darussalam yang memiliki karya monumental Kitab
Simbur Cahaya. Kitab ini adalah undang-undang tertulis sebagai paduan hukum
adat dengan hukum Islam yang melindungi perempuan. Pada abad ke-17 dan ke-18,
ada Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Kesultanan Aceh
Darussalam, pemimpin yang peduli terhadap nasib perempuan dan mengembangkan
pasukan Inong Balee. Ada pula Fatimah Al-Banjari, cucu pertama Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari, cendekiawan penulis kitab Arab Melayu yang populer di
Banjar dan Melayu. Karyanya menjadi rujukan umat dalam beragama dan beribadah
sampai sekarang, yakni Perukunan Jamaluddin. Dari Sulawesi terdapat Siti
Aisyah We Tenri Olle, Ratu Tanete di Sulawesi Selatan. Dari Kepulauan Riau,
ada Raja Aisyah binti Raja Sulaiman (1870-1924), cucu Raja Ali Haji, Riau. Ia
menjadi penulis sejak remaja dan menyikapi ketidakadilan terhadap perempuan. Di abad ke-19 hingga masa
pergerakan kemerdekaan Indonesia ada nama Nyai Siti Walidah atau Nyai Ahmad
Dahlan, Rohana Koedoes, HR. Rasuna Said, dan Nyai Khoiriyah Hasyim dengan
kiprahnya masing-masing. Dalam dinamika sosial dan kultural ini, Kongres
Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) diselenggarakan untuk menegaskan eksistensi
ulama perempuan dan mengapresiasi peran dan kiprah mereka dalam mewujudkan
nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/167560/peran-ulama-perempuan-dalam-peradaban
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar