Negara
Pancasila dan Khilafah
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama
|
KOMPAS, 02 Juni 2017
Belakangan ini pembicaraan soal konsep
negara-bangsa kembali menghangat. Tak kurang dari beberapa tokoh mengemukakan
pendapat, bahkan sebagian sudah banyak yang mengamini dan berpendapat bahwa
dasar negara harus ditinjau ulang kembali.
Dalam hemat saya, fase ini sebuah kemunduran.
Jika kita kembali pada perdebatan tentang dasar negara, berarti kita bukan
saja tidak maju, malah sebaliknya kita mengalami kemunduran yang sangat
signifikan, bahkan menyedihkan.
Benar kata Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
dalam Ilusi Negara Islam bahwa nasionalisme yang menyatakan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan bentuk final dan konsensus nasional
(muahadah wathoniyah) bangunan kebangsaan kita bukanlah merupakan
sikap oportunisme politik. Sikap itu terlahir dari kesadaran sejati yang
diaraskan pada realitas historis, budaya, tradisi bangsa, dan ajaran agama
yang kita yakini.
Jika kita cermati lebih dalam, diskusi soal
hubungan Islam yang melahirkan nasionalisme telah intens dilakukan oleh tiga
sepupu, yakni HOS Tjokroaminoto, Hadratussyaikh KH M Hasyim
Asyari, dan KH Abdul Wahab Hasbullah. Ketiganya tercatat sejak tahun 1919
telah melakukan kajian-kajian mendalam lagi diskursif soal pandangan Islam
ihwal nasionalisme.
Kesadaran nasionalisme ini dalam hemat saya
merupakan suara dan gerakan yang muncul dari dalam nurani bangsa Indonesia.
Ia bersifat transenden dan esoterik. Nasionalisme bangsa kita bukan lahir
dari hafalan serangkaian teori rumit tentang konsep kebangsaan, kontrak
sosial, dan sebagainya. Sebaliknya nasionalisme itu tulus lahir dari rasa
memiliki dan mencintai ibu pertiwi.
Diktum hubbul wathon minal iman yang
dicetuskan Hadratussyaikh KH M Hasyim Asyari bukanlah konsep
muluk-muluk yang lahir dari hasil penelaahan teroretik serta kajian akademik
tentang konsep berbangsa dan bernegara. Diktum tersebut justru lahir dari
nurani yang paling dalam yang murni dan suci serta tulus dalam bingkai
semangat mencintai negerinya sendiri.
Dari sanalah konsep cinta tanah air sebagian
dari iman itu dilahirkan. Dalam pada itu sesungguhnya diktum hubbul
wathon minal iman itu merupakan sublimasi pemikiran ulama yang
diambil dari berbagai dasar pijakan dalil. Salah satunya adalah sebagaimana
diambil dari QS An-nisa: 66.
Mengatakan bahwa mencintai dan membela tanah
air itu tidak memiliki landasan dalil yang bersifat teologi, dalam hemat
saya, merupakan kekeliruan yang sangat fatal. Bahkan, pada tahap tertentu, ia
menjadi sangat membahayakan.
Meminjam tesis Said Aqil Siroj (2016),
Indonesia sangat beruntung memiliki jenius-jenius ulama yang bertipologi
nasionalis. Ulama atau ahli agama yang nasionalis bisa menjadi pelecut serta
pemantik tumbuhnya semangat mencintai tanah air. Profil ulama seperti ini
hanya ada di Indonesia. Di belahan bumi mana pun hatta di negara-negara Arab
dan mayoritas Timur Tengah, kita tidak akan menemukan profil ulama yang
memiliki semangat nasionalisme yang tinggi.
Konsensus final
Pada Muktamar Ke-11 Nahdlatul Ulama (NU) di
Banjarmasin tahun 1936, NU dengan tegas memutuskan bahwa Indonesia
merupakan dÃru Islam. KH Ahmad Shiddiq (Piagam
Kebangsaan, 2011) memberi penafsiran hasil muktamar tersebut. Ia
mengatakan bahwa kata dÃru Islam dalam keputusan muktamar
tersebut bukanlah terminologi yang dimaksudkan untuk merujuk pada istilah
tatanan politik kenegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan yang
sesungguhnya lebih tepat diartikan sebagai wilÃyatul Islam (wilayah
Islam).
Maka jelas, dengan keputusannya tersebut, jauh
hari sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, NU mengambil sikap tegas
bahwa Indonesia merupakan wilayah Islam yang sedang dikuasai oleh penjajah,
maka berjihad melawan penjajah merupakan kewajiban dan bagian dari panggilan
agama.
Sikap nasionalisme NU tidak hanya berhenti di
situ. Ketika isu pendirian Darul Islam (DI/TII) yang dipimpin
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sedang ramai-ramainya, NU
mengeluarkan keputusan bahwa Presiden Soekarno merupakan waliyyul
amri ad dhoruri bis syaukah (pemimpin darurat yang sah). Keputusan
tersebut diambil melalui diskusi intens para ulama dalam kurun tahun
1952-1954.
Keputusan tersebut memiliki dampak sangat luar
biasa. Selain mendelegitimasi pengakuan dan klaim Kartosoewirjo, keputusan
ini juga mampu meredam gejolak yang ada, menaikkan legitimasi Presiden
Soekarno, dan sekaligus menyatakan bahwa umat Islam, terutama NU, tetap setia
dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemerintahan yang sedang berkuasa.
Ekspresi nasionalisme NU puncaknya dituangkan
dalam keputusan Munas Alim Ulama NU 1983 di Pesantren Salafiyah Syafi'iyah
Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. Di pesantren pimpinan Kiai As'ad Syamsul
Arifin tersebut, NU merumuskan deklarasi hubungan Pancasila dengan Islam.
Poin penting deklarasi tersebut adalah, pertama, Pancasila sebagai
dasar falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat
menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan agama.
Kedua, sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945, yang
menjiwai sila-sila lainnya, mencerminkan tauhid menurut pandangan Islam.
Ketiga, bagi NU, Islam adalah akidah dan syariah. Penerimaan dan pengamalan
Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam untuk menjalankan
syariat agamanya tersebut.
Bersyariah tanpa
khilafah
Melihat pengalaman yang ada, proses
"menjadi Indonesia" yang telah kita lalui bersama, saya sangat
menyayangkan jika kemudian kita harus kembali mundur ke belakang
memperdebatkan bentuk negara serta sistem pemerintahan yang tepat bagi bangsa
yang kita cintai ini. Bentuk negara kita sudah final.
Saya selalu mengatakan di pelbagai forum
bahwa mari kita renungkan bersama dengan cara yang saksama ihwal hakikat
Pancasila. Ia terdiri atas lima sila yang sangat memungkinkan bagi kita,
bangsa yang memiliki tingkat kemajemukan yang sangat tinggi, hidup rukun,
saling mengisi, saling menghormati, tenggang rasa, tepo sliro,
dan bertoleransi satu dengan yang lain.
Dasar negara kita yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa menunjukkan bahwa Indonesia tidak memisahkan hubungan agama dengan
kekuasaan. Kekuasaan harus dijalankan dengan landasan serta spirit
nilai-nilai agama. Inilah makna berketuhanan. Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali
(1988) bahwa agama dan kekuasaan merupakan saudara kembar. Ia bagaikan
sekeping mata uang. Agama merupakan fondasi, sedangkan penguasa adalah
penjaganya. Apa-apa yang tidak ada fondasinya, maka ia akan runtuh. Demikian
pula, apa saja yang tidak memiliki penjaga, maka ia akan musnah.
Konsep khilafah yang diandaikan sebagai solusi
menuju peradaban yang lebih baik saya pikir sudah tidak menemukan titik
relevansinya lagi. Hadirnya konsep negara modern (nation state) adalah
salah satu di antara alasan mendasar mengapa gerakan-gerakan yang ingin
meruntuhkan sekat-sekat nasionalisme demografis seperti memperjuangkan
khilafah ini kehilangan momentum.
Perjuangan yang mengandaikan penerapan syariat
Islam sepenuhnya berlaku di pelbagai aspek kehidupan dalam hemat saya,
merujuk dari pelbagai hasil penelitian, merupakan cita-cita yang berlebihan,
kalau tidak ingin dikatakan utopis.
Pada kenyataannya, di negara kita, spirit
agama sudah diejawantahkan dalam pelbagai peraturan dan perundang-undangan.
Napas serta semangat perundang-undangan kita bersumber dari ajaran dan
nilai-nilai agama. Sebut, misalnya, UU Peradilan Agama, Kompilasi Hukum
Islam, UU Pengelolaan Zakat, dan juga UU Penyelenggaraan Haji. Menjalankan
undang-undang tersebut secara substantif sejatinya sama saja dengan
menjalankan syariat Islam. Dengan demikian, dalam bahasa lain, kita
sesungguhnya telah bersyariat tanpa harus berkhilafah.
Jelas, ide untuk menerapkan syariat Islam di
wilayah yang majemuk dan bineka seperti Indonesia ini sangat bertentangan
dengan dasar negara yang sudah sejak lama dirumuskan oleh para pendiri bangsa
dan telah kita perjuangkan dengan mati-matian. Ini sangat bertentangan dengan
asas demokrasi dan memang demikian kenyataannya.
Abdul Qadim Zallum, salah seorang pemimpin
besar gerakan pengusung khilafah, mengatakan dalam bukunya, Manhaj
Hizb at-TahrÎr fÎ TaghyÎr-yang merupakan salah satu buku wajib bagi
pengusung paham khilafah-bahwa"demokrasi merupakan sistem kafir
yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Islam. Oleh karena itu,
haram bagi umat Islam untuk mengadopsi dan menerapkan atau bahkan sekadar
mempropagandakannya". Ini bukti nyata bahwa gerakan pengusung khilafah
selalu menganggap demokrasi sebagai sistem yang harus diperangi.
Ala kulli hal, pada Munas NU tahun
2014 di Jakarta, dengan tegas diputuskan bahwa memperjuangkan tegaknya
nilai-nilai substantif ajaran Islam dalam sebuah negara jauh lebih penting
dibandingkan dengan memperjuangkan tegaknya simbol-simbol Islam semata.
Barangkali kondisi kita hari ini persis dengan apa yang dianalogikan para
kiai dalam sebuah pertanyaan cerdas "haruskah kita membeli minyak unta
cap babi atau minyak babi cap unta"? Di hadapan dua pilihan itu,
para kiai menganjurkan kepada kita untuk tentu saja memilih pilihan pertama.
Itulah nasionalisme ala kiai yang paham betul
arti hidup dalam kebinekaan. Wallahu a'lam bishhowab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar