Gelora
Baru Soekarno
Rizal Mallarangeng ; Pendiri Freedom Institute, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Juni 2017
TAMPAKNYA Bung Karno dan Pancasila belakangan ini
memperoleh sebuah relevansi baru, a new
lease of life. Setelah pertentangan tajam dalam pilkada DKI serta hukuman
penjara yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) secara tidak adil, kita
kini merasa perlu menggali sejarah. Sebuah diskursus baru dalam soal negara
dan Islam yang berakar di masa silam? Sebuah inspirasi untuk mengurangi
kecemasan kita dalam menghadapi radikalisasi politik agama di masa mendatang?
Mungkin saja. Yang jelas, Bung Karno memang masih terus
menggetarkan, bukan sosoknya sebagai penguasa tertinggi atau Pemimpin Besar
Revolusi, melainkan sebelum itu, bahkan jauh sebelum itu.
Buat saya, dua sosok Bung Karno yang paling menarik ialah ‘Bung Karno 1 Juni’ dan ‘Bung Karno in exile’. Yang satu ialah
politikus peletak dasar negara, yang satunya lagi adalah intelektual muda
dalam pembuangan yang ingin mendobrak kebekuan berpikir pada zamannya. Kedua
sosok itu pada esensinya berbeda, tetapi saling melengkapi: inilah yang perlu
digali kembali kalau kita mau mencari pelajaran dalam konteks Indonesia
sekarang.
Dalam hal Bung Karno 1 Juni, kita tentu berbicara tentang
pidatonya dalam Sidang BPUPKI di ujung penjajahan Jepang, yang kerap disebut
sebagai pidato kelahiran Pancasila. Pidato ini ialah racikan seorang maestro,
atau mungkin lebih tepat: dalang piawai. Ia adalah pidato terbaik Bung Karno
sepanjang karier politiknya. Jika di Amerika Serikat ada Gettysburg Address
dari Abraham Lincoln yang tersohor itu, di Indonesia kita bisa berbesar hati
sebab oratoria Bung Karno dalam mengantarkan kelahiran Pancasila mungkin
lebih baik, atau setidaknya sama kualitasnya dari segi teknik pembawaan, diksi,
hentakan, dan kedalaman isinya.
Singkatnya, lewat pidato itu Bung Karno memberi pelajaran
berharga dalam soal retorika. Namun, tentu bukan ini alasan utama mengapa
tokoh kelahiran Surabaya itu dan pidato Pancasila sekarang memperoleh
relevansi baru. Kita tertarik pada argumennya. Kita ingin melihat bagaimana
tokoh terpenting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan itu membujuk serta
‘mencari persetujuan paham’ di kalangan pimpinan dan anggota BPUPKI yang
mewakili kemajemukan Indonesia pada momen historis itu.
Mungkin paling penting: kita ingin lebih memahami
bagaimana Bung Karno menyusun kata dan penjelasan untuk menyerap, sekaligus
membalikkan, argumen dari tokoh-tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo,
Ketua PP Muhammadiyah, yang menuntut agar syariat Islam menjadi dasar negara
bagi Republik Indonesia yang akan segera dibentuk. Tuntutan Ki Bagus, beserta
dilema di baliknya, ialah soal paling pelik dalam rapat BPUPKI. Kalau
dituruti, Indonesia akan menjadi negara agama, teokrasi. Kalau tidak,
tokoh-tokoh Islam mungkin akan memboikot dan Republik Indonesia pecah bahkan
sebelum hari kelahirannya.
Karena itu, bagi Bung Karno, pidato 1 Juni 1945 ialah
sebuah momen to be or not to be. Dalam kata-kata Goenawan Mohamad, sastrawan
dan salah satu penafsir Pancasila yang paling perseptif: saat itu Bung Karno
sedang meniti buih. Bung Karno sendiri, dalam pengakuannya kepada Cindy
Adams, menjelaskan bahwa semalam sebelumnya selama beberapa lama dia berjalan
di bawah gelapnya langit Jakarta, berdoa serta mencari inspirasi.
Negara kebangsaan
Jalan keluar yang dia pilih, sebagaimana yang bisa kita
baca dalam teks pidato yang dicatat lengkap oleh E Karundeng, ialah metode
khas kaum politikus: kompromi dan ‘persatuan hati’. Konsep dasarnya ialah
negara kebangsaan, tempat segala golongan yang berbeda, termasuk golongan
agama, dapat hidup bersama secara damai dan produktif. Untuk menambah daya
tarik konsep iyu, Bung Karno menyitir ungkapan ‘satu buat semua, semua buat
satu’, sebuah frasa dari tradisi Latin yang dipopulerkan Alexandre Dumas
dalam novel Three Musketeers, unus pro omnibus, omnes pro uno.
Adalah testimoni pada kemampuan retorika Bung Karno bahwa
dalam menjelaskan konsep yang mudah ini, dia merasa perlu bertamasya secara
intelektual serta menyarikan pandangan filsuf, tokoh politik, atau pemikir
besar seperti Mahatma Gandhi, Sun Yat Sen, Otto Bauer, dan Ernest Renan.
Penjelasan itu begitu menyatu dalam tarikan napasnya, begitu efektif dan
memukau.
Negara kebangsaan, bukan negara agama: itulah intinya, dan
selebihnya ialah kembangan yang mengikutinya, termasuk lima sila yang menjadi
acuan dasar dalam penyelenggaraan konsep negara kebangsaan ini ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, perwakilan, dan keadilan sosial. Di tangan seorang
politikus biasa, atau seorang pembicara medioker, uraian mengenai konsep
negara kebangsaan yang dijabarkan ke dalam lima sila pasti akan kering dan
menjemukan (ada yang ingat penataran P4 di zaman Orde Baru?). Namun, di
tangan seorang orator seperti Bung Karno, butir-butir dalam Pancasila menjadi
filosofi yang hidup, saling mengisi, bergelora, seperti gelombang laut yang
indah dengan hawa menyegarkan.
Bahkan seperti pemain sulap, Bung Karno berkata bahwa
Pancasila bisa dia ubah menjadi Trisila atau Ekasila. Yang terakhir ini ialah
negara gotong royong (“Alangkah hebatnya! Negara gotong royong,
saudara-saudara!”). Saking terpukaunya, para hadirin yang ada di hadapan Bung
Karno saat itu tidak ada yang bertanya atau mengajukan interupsi, apa
hubungan, misalnya, antara prinsip ketuhanan dan gotong royong. Yang terjadi
ialah, seperti dicatat stenografis E Karundeng, tokoh-tokoh BPUPKI di Gedung
Volskraad tua itu menyambut kristalisasi Pancasila menjadi Ekasila dengan
tepuk tangan bergemuruh.
Perlu diperhatikan juga bahwa di tengah semua itu, ada sesuatu
yang sebenarnya terasa lain, sebuah non-sequitur: Bung Karno sampai beberapa
kali meminta maaf, khususnya kepada Ki Bagus Hadikusumo (“Maafkan... saya pun
orang Islam.”). Dengan semua ini kita bisa merasakan bahwa tebersit semacam
kecemasan, sekaligus sikap defensif, di balik pembawaan ekspresif Bung Karno
manakala dia berbicara soal Islam, atau ketika dia meminta tokoh-tokoh Islam
untuk menerima konsep negara kebangsaan.
Barangkali untuk menutup kecemasan tersebut, Bung Karno
mengulurkan sebuah consolation prize: di dalam negara kebangsaan pasti ada
‘perjuangan faham’, dan untuk itu, silakan kelompok Islam ‘bekerja
sehebat-hebatnya’ dalam lembaga perwakilan agar ‘hukum-hukum yang keluar
(adalah) hukum Islam pula’. Lewat kalimat itu, misi pidato 1 Juni sebenarnya
sudah selesai, bukan dengan penutup, melainkan dengan sebuah kemungkinan.
Negara kebangsaan ialah sebuah panggung bersama: tarian, penari, serta musik
seperti apa yang kita mainkan di panggung ini ialah bagian dari perjuangan
masing-masing, termasuk golongan atau kekuatan politik Islam. Pada titik ini
kita mungkin bisa bertanya: tarian itu, atau musik yang dimainkan, apakah
bentuk dan karakteristiknya sudah selesai, given? Apakah ia berubah, menjadi
lebih baik atau sebaliknya, dan adakah yang bisa dilakukan untuk memastikan
arah perubahan ini?
Dengan pertanyaan sederhana seperti itu, saya cenderung
mengambil kesimpulan bahwa betapa pun mengagumkan dan pentingnya pidato 1
Juni, konsep dasar di dalamnya harus dilengkapi dengan sesuatu yang lain.
Panggung saja tidak cukup. Kita tidak bisa membuat panggung dan kemudian
hanya berpangku tangan pada apa pun yang terjadi di atasnya. Sejauh kita
berbicara mengenai hubungan negara dan Islam dalam konteks demikian, ‘sesuatu
yang lain’ tersebut ialah Bung Karno-in-exile, seorang aktivis muda dalam
pembuangan panjang di Ende dan Bengkulu, seseorang yang, dalam kata-katanya
sendiri, mengambil peran sebagai ‘pendobrak kebekuan berpikir dalam Islam’.
Yang satu menyatukan, merangkul kekuatan Islam dalam sebuah shared political
community, yang satunya lagi mengubah dari dalam, mendorong agar umat Islam
sendiri bergerak bersama zaman sehingga menjadi bagian dari kemajuan bersama.
Itulah kenapa tadi saya menyinggung bahwa kedua sosok Bung
Karno pada masa praproklamasi ialah dua sumber inspirasi yang saling
melengkapi. Bung Karno 1 Juni ialah seorang politikus matang berusia 44 tahun
yang menerima Islam sebagai suatu kenyataan politik dan karena itu, dia harus
mengakomodasikan realitas ini, bukan mengubahnya. Sebaliknya, Bung Karno sang
pendobrak ialah seorang intelektual-aktivis yang resah dan dari tempatnya
terbuang ingin mengubah realitas masyarakat Islam yang ditemuinya
sehari-hari.
Dalam salah satu tulisannya dari Bengkulu di majalah
Pandji Islam (1940), Bung Karno berkata bahwa masyarakat kini bukan lagi
‘masyarakat onta, tetapi masyarakat kapal terbang’. Namun, Islam telah
membeku, terlalu mementingkan ‘jubah, tasbih, dan celak mata’. Kini saatnya
Islam mengembalikan ‘peran akal’ dari penjara seribu tahun, menjadi modern
dan merebut kemajuan. “Hanya dengan beginilah kita boleh dengan
sebenar-benarnya menamakan diri kita umat Nabi Muhammad dan bukan umat kaum
fiqh atau umat kaum ulama.”
Adakah self-reflection dan formulasi yang lebih baik dari
itu? Kalimat yang terang benderang, dengan verve yang kental, jelas ke mana
dia ingin melangkah. Itulah Bung Karno sang pendobrak. Barangkali pesan,
gelora, dan optimisme seperti itulah yang sekarang perlu kita kabarkan
kembali, khususnya kepada generasi muda Islam yang sedang mencari tempat
berpijak. Soekarno is dead. Long live
Soekarno! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar