Pancasila
dan Paradigma Pembangunan
Emil Salim ; Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia;
Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 02 Juni 2017
Pembukaan UUD 1945 terdiri atas pernyataan kemerdekaan, yang
isi pokoknya perlu dikembangkan dalam Indonesia merdeka berdasarkan
Pancasila.
Bagaimanakah pelaksanaan Pancasila sebagai paradigma
pembangunan? Mari kita coba menerapkan tolok ukur yang dikembangkan dunia
internasional, sebagai perwakilan dari setiap bagian Pancasila.
Sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam sila ini, mewujud pada
hasil sensus jumlah penduduk dengan penganut agama Islam 87 persen atau
mayoritas. Karena itu, pola pelaksanaan agama Islam di Indonesia sangat
menentukan pengaruh hidup keagamaan pada pembangunan bangsa.
Dalam kaitan ini, mari kita kutip penilaian Profesor
Scheherazade S Rahman dan Profesor Hasen Askafri dari George Washington, AS,
yangtelah meneliti dan mengukur pelaksanaan pembangunan negara-negara dunia
menurut Economic Islamicity Index (EII) dan mengumumkan hasil penelitian
mereka dalam Global Economic Journal, 2010, Berkeley Electronic Press 2010.
Berdasarkan surat-surat Al Quran, mereka simpulkan bahwa
sistem ekonomi Islam adalah: (1) tercapainya keadilan ekonomi dengan
pembangunan ekonomi berkelanjutan; (2) kesejahteraan dengan kesempatan kerja
yang luas; (3) penerapan praktik ekonomi dan finansial yang Islami.
Sasaran sistem ekonomi ditopang oleh 12 prinsip yang
bermuara pada rumusan Economic Islamicity Index yang menjadi tolok ukur dalam
mewujudkan prinsip ekonomi Islam di
negara-negara sedunia, baik yang berpenduduk Muslim maupun non-Muslim.
Jika tolok ukur EII rendah adalah terbaik dan EII tinggi
adalah terburuk, hasil studi mengungkapkan bahwa dari 208 negara yang
diteliti, maka EII rata-rata adalah 104,96. Indonesia mencatat EII rata-rata
104,5 atau sedikit di atas nilai EII rata-rata.
Negara berpendapatan tinggi menunjukkan EII rata-rata
60,27, mencakup Irlandia, Denmark, Luksemburg, Swedia, dan Inggris, yang
meraih EII terbaik dalam kategori ini.
Dalam Organization of Islamic Countries, 56 negara meraih
EII rata-rata 132,84. Sementara kelompok
lower middle income countries meraih EII terendah dengan rata-rata
160,48.
Kentara bahwa tingkat pendapatan suatu negara berpengaruh
besar, semakin maju ekonomi suatu negara, semakin besar kemungkinan tumbuhnya
kehidupan ekonomi yang Islami.
Sila kedua
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dalam perwujudan sila
ini, Profesor Michael E Porter, Herman De Soto, dan kawan-cendekiawan
terkemuka lainnya membentuk organisasi nirlaba yang mengembangkan Social
Progress Index sebagai tolok ukur pengganti produk domestik bruto.
Upaya tersebut mencakup dimensi: 1. kebutuhan pokok
manusia, seperti pencukupan nutrisi dan perawatan kesehatan dasar, air,
sanitasi perumahan, dan keselamatan pribadi; 2. fondasi bagi well-being,
seperti akses ke pengetahuan dasar, informasi dan komunikasi, kesehatan, dan
keberlanjutan ekosistem. 3. terbukanya kesempatan untuk maju yang mencakup hak personal,
kebebasan pribadi dan kebebasan memilih, toleransi dan inklusi, serta akses
pendidikan maju.
Hasil kajian Social Progress Index 2014 yang mencakup 132
negara mengungkapkan, Selandia Baru dengan PDB 25.857 dollar AS per jiwa
penduduk menduduki posisi nomor satu dengan skor tertinggi 88,24; negara
Chad, Afrika,dengan PDB 1.870dollar ASper jiwa penduduk meraih skor terendah
32,60 dengan posisi nomor 132.
Indonesia dengan PDB 4.272 dollar AS meraih skor 88 dan mencapai posisi nomor
88 di antara 132 negara.
Ada catatan dalam Social Progress Index 2014 tentang
Indonesia, yakni toleransi agama adalah salah satu kelemahan utama Social
Progress Index 2014.
Sila ketiga
Yang mengganggu pengembangan sila Persatuan Indonesia
adalah timpangnya pembagian produk domestik bruto nasional antarpulau.
Menurut data tahun 2012, Jawa menghasilkan 57% PDB, Sumatera
24%, Kalimantan 10%, Sulawesi 4%, Bali dan Nusa Tenggara 3%, serta Maluku dan
Papua 2,2%. Pembagian pendapatan yang timpang, ditambah dengan persebaran keterampilan
dan keahlian yang juga pincang, membuka potensi kecemburuan yang menyulitkan
pengembangan persatuan dan kesatuan.
Perbedaan kualitas dan kuantitas infrastruktur ekonomi dan
sosial di antara pulau satu dengan yang lain ikut melanjutkan ketimpangan
antarpulau. Perbedaan suku yang tersebar di antara kepulauan Indonesia juga
memperparah usaha menciptakan persatuan bangsa apabila tidak secara sadar
dikelola.
Sila keempat
Sila yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dimaksudkan untuk
mengembangkan pola demokrasi Pancasila. Tolok ukurnya adalah Indeks Demokrasi
Indonesia dengan indikator: (1) kebebasan sipil; (2) hak-hak politik; dan (3)
lembaga demokrasi.
Sepanjang tahun 2009-2015 tampak bahwa Indeks Demokrasi
Indonesia meningkat dari 67,30 (2009) ke 72,82 (2015). Namun, terjadi
penurunan dalam tolok ukur kebebasan
sipil yang mencakup kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan
berpendapat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan dari diskriminasi.
Hal lain yang menarik adalah sistem kepartaian Indonesia
yang berjumlah 73 partai (2014)
berbadan hukum, tetapi dalam garis besar hanya ada dua aliran ideologi, (1) nasionalisme-demokrasi
dan (2) agama Islam.
Sempitnya beda ideologi partai dan banyaknya partai, walau
hanya 10 yang lolos duduk di DPR, memberi kesan "kehidupan partai itu
menguntungkan", tetapi tidak dalam makna ideologi partai yang cenderung
monoton.
Sila kelima
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jika garis
kemiskinan rata-rata Indonesia adalah 11,96 persen (2012), maka 16 dari 33
provinsi buruk di bawah garis kemiskinan. Umumnya terletak di Indonesia
timur.
Indikator ketimpangan pembangunan juga terukur pada Gini
Coefficient yang bertengger pada angka 0,40 selama beberapa tahun yang
menunjukkan ketimpangan pendapatan yang serius.
Dengan nilai tukar petani (NTP) yang membandingkan rasio
jumlah pendapatan terhadap jumlah pengeluaran petani, tampak bahwa selama
puluhan tahun NTP bergerak di bawah nilai 130, belum layak manusiawi.
Karena ekonomi Indonesia masih bertumpu pada produksi
primer, maka "pemilikan tanah" merupakan hal penting bagi penduduk. Pembangunan
nonpertanian juga memerlukan tanah sehingga masalah pembebasan tanah menjadi
sumber konflik antara pelaku pembangunan dan petani pengolah tanah.
Dalam mengusahakan pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan
berbangsa, ada baiknya kita becermin pada kehidupan bangsa-bangsa lain yang
menggunakan tolok ukur mendekati sila-sila Pancasila.
Dengan demikian, dapat kita kembangkan Pancasila sebagai
paradigma pembangunan yang efektif berguna bagi masyarakat bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar