Negara
Barbar dan Persekusi
Triyono Lukmantoro ; Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya dan Media UGM
|
INDONESIANA, 06 Juni 2017
Menanggapi maraknya persekusi, Presiden Joko Widodo menyatakan
bahwa tidak boleh ada perorangan, kelompok, ataupun organisasi yang main
hakim sendiri. Jika hal itu berlangsung, kata Jokowi, kita bisa menjadi
negara barbar. Namun bukankah berbagai kasus persekusi yang telah terjadi
menunjukkan negara ini hampir menjadi negara barbar? Dan, negara barbar
adalah kontradiksi secara terminologis.
Persekusi adalah perburuan terhadap berbagai pihak yang
dianggap lemah. Banyak orang yang menuliskan kritik bahkan hujatan terhadap
Rizieq Syihab dan Front Pembela Islam (FPI) di media sosial. Namun pihak yang
dijadikan sebagai target persekusi adalah orang-orang yang rentan, misalnya
perempuan dan anak-anak. Gejala ini menunjukkan persekusi merupakan kekerasan
yang terencana secara sistematis untuk menundukkan siapa saja yang dianggap
gampang ditumpas.
Persekusi adalah salah satu wujud dari anarki. Adapun
anarki, demikian Oxford Learner’s Dictionaries menjelaskan, adalah sebuah
situasi di sebuah negeri, organisasi, dan sebagainya yang tidak mempunyai
pemerintah, tatanan, atau kontrol. Anarki merupakan keadaan tanpa kendali
akibat ketidakhadiran pemimpin. Situasinya dapat digambarkan sebagai keadaan
yang demikian kacau dan penuh ketidakpastian. Aturan yang berlaku adalah
hukum rimba: siapa saja yang lebih berkuasa serta memiliki taring yang
demikian tajam dan cakar yang lebih kuat diperbolehkan memangsa siapa pun.
Negara barbar adalah wujud terbaik dari anarki.
Deskripsi anarki lain pernah dikemukakan Gerard Casey
(Libertarian Anarchy Against the State, 2012) sebagai ketiadaan hukum atau
kekacauan karena pemerintah tidak hadir. Masyarakat yang tidak memiliki
pemerintah berimplikasi pada keadaan yang serba morat-marit. Kondisi yang
amat tidak jelas ini juga melanda bidang agama dan moral, tidak hanya dalam
pengertian masyarakat yang lebih luas.
Apa yang dapat dilihat dari gambaran ini menunjukkan bahwa
anarki bukan sekadar tidak adanya pemerintah yang berotoritas. Anarki
merupakan situasi ketika hukum yang menjadi penyangga bagi kepastian tatanan
justru tidak berfungsi. Hukum itu memang ada, tapi tidak lebih sebagai
penghias lembaga negara belaka. Pihak-pihak yang melakukan kontrol terhadap
masyarakat berada dalam genggaman oknum-oknum di luar struktur negara. Itulah
keadaan yang merujuk pada situasi barbarian.
Jadi, pada kondisi ketika negara mengalami kehilangan
kemampuannya untuk menegakkan tatanan akibat banyak korban berjatuhan karena
berbagai aksi persekusi, perlu disimak lagi apa yang disebut sebagai negara.
"Negara tidak dapat berdiri tanpa adanya paksaan". Demikianlah Leon
Trotsky (1879-1940) pernah berkata. Pernyataan itu kemudian dirumuskan Max
Weber untuk memandang negara sebagai organisasi yang berhasil mengklaim dalam
menjalankan monopoli kekerasan di wilayah tertentu (H.H. Gerth dan C. Wright
Mills, From Max Weber: Essays in Sociology, 1958). Tanpa adanya paksaan, maka
peristiwa yang pasti hadir adalah anarki. Negara sengaja dilahirkan untuk
mencegah dan melawan anarki, termasuk pula mengatasi persekusi.
Memang harus diberikan penekanan secara berulang-ulang bahwa
satu-satunya institusi yang berhak dan memang benar-benar memiliki dasar
legitimasi yang kuat untuk menjalankan paksaan itu adalah negara. Di luar
itu, siapa pun yang menjalankan aneka paksaan berarti telah membuka diri
untuk bersaing dengan negara. Dan, satu-satunya metode terbaik untuk
mengatasi paksaan dari sejumlah gerombolan di luar lembaga negara adalah
menggulirkan dan menderaskan paksaan yang jauh lebih besar. Hanya dengan cara
itu negara mampu menciptakan ketertiban.
Bahkan, terhadap siapa pun yang menjalankan persekusi
dengan mencatut untuk membela agama dan mendukung sang imam besar sekalipun,
negara harus pula berani menjalankan paksaan terhadap mereka sebagai
realisasi penegakan hukum. Melalui teknik itu, negara mampu mendapatkan
otoritas yang demikian mutlak untuk menjadi pemegang tunggal kekuatan paksa
fisik. Negara juga harus bisa menunjukkan kemampuannya untuk melawan
segerombolan orang yang menamakan diri sebagai Muslim Cyber Army. Kelompok
inilah yang sejak lama mengincar para pengguna media sosial yang berani
menyatakan kritik secara eksplisit kepada Rizieq Syihab dan FPI. Milisi itu
pula yang melakukan persekusi terhadap kalangan yang rentan.
Gerombolan mana pun yang merasa memiliki daya seperti
binatang buas yang terus menciptakan persekusi kepada masyarakat harus
dihadapi negara secara lebih tegas pula. Tanpa langkah itu, negara berada di
bawah dominasi pelaku persekusi. Membiarkan persekusi terjadi setara dengan
menjadikan negara ini negara barbar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar