Memantapkan
Pancasila
Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 31 Mei 2017
Mestinya kita tidak perlu gundah dengan pluralitas
kebangsaan Indonesia. Toh, meminjam ungkapan Albert Einstein, Tuhan tidak
sedang ”bermain dadu” dalam desain penciptaan negeri ini sebagai negeri
multikultural.
Keragaman tak selalu berakhir dengan pertikaian asal
tersedia sistem pengelolaan yang tepat. Kita juga tak perlu terobsesi dengan
homogenisasi kebangsaan karena keseragaman bukanlah jaminan kedamaian dan
kesejahteraan. Pada kenyataannya, realitas sejagat kontemporer menunjukkan
hanya sedikit negara yang terdiri dari satu kelompok etno-kultural. Umumnya,
negara modern merupakan negara dengan aneka suku bangsa (polietnik). Bahkan,
negara dengan ragam kebangsaan hadir di pelbagai belahan dunia. Yang terakhir
ini lebih tepat dikatakan ”nations-state” ketimbang ”nation-state”.
Untuk mempersatukan keragaman, posisi subyek dalam
kebangsaan multikultural tak bisa dipandang sebagai sesuatu yang akan
terwujud dengan sendirinya tanpa usaha secara sengaja. Indonesia dengan
segala pecahankekamian berbasis agama, ras, suku, kepartaian, dan kelas
sosial tak akan bisa dijumlahkan menjadi kebersamaan-kekitaan, kecuali
memiliki kerangka titik-temu (common
denominator). Dalam mengupayakan titik-temu, kita memerlukan suatu
konsepsi (cita negara) dan konsensus bersama menyangkut hal-hal fundamental
bagi keberlangsungan, keutuhan, dan kejayaan bangsa.
Di atas segala kebesaran, keluasan, dan kemajemukan
bangsa, Indonesia harus merumuskan konsepsi dasar negara yang dapat
meletakkan segenap elemen bangsa di atas suatu landasan yang statis (”meja
statis”), sekaligus dapat memberi tuntunan yang dinamis (”Leitstar/bintang
pimpinan dinamis”). Para pendiri bangsa berusaha menjawab tantangan itu dengan
melahirkan konsepsi negara persatuan (kekeluargaan) berwatak gotong royong,
bukan negara perseorangan seperti dalam konsepsi liberalisme-kapitalisme atau
negara golongan (kelas) seperti konsepsi komunisme.
Dalam ungkapan Soekarno, ”Negara Indonesia bukan satu
negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun
golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ’semua buat semua’, ’satu buat
semua, semua buat satu’.” Negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan
dan golongan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Ideologi inklusif
Dengan semangat kekeluargaan itu, konsepsi dasar
(falsafah) negara dirumuskan dengan merangkum lima prinsip utama sebagai
”titik temu” (yang mempersatukan keragaman bangsa), ”titik pijak” (yang
mendasari ideologi dan norma negara), serta ”titik tuju” (yang memberikan
orientasi kenegaraan-kebangsaan) negara-bangsa Indonesia. Kelima prinsip utama
itudikenal dengan sebutan Pancasila.Dengan semangat dasar kelima prinsip
Pancasila, negara/bangsa Indonesia memiliki konsepsi kenegaraan-kebangsaan
yang begitu visioner dan tahan banting.
Prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan
merekonsiliasikan paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme
keagamaan, paham kebangsaan homogenis dan tribalisme atavisitis, kebangsaan
chauvinis dan globalisme triumpalis, pemerintahan otokratik dan demokrasi
pasar-individualis, ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris.
Pancasila dapat dikatakan ideologi komprehensif tentang
inklusi sosial yang ingin menyertakan keragaman agama dan kepercayaan, asal
usul manusia, ragam etnis dan adat istiadat, serta aliran politik dan kelas
sosial dalam kehidupan publik. Dari sudut pandang paradigma Pancasila,
meningkatnya kecenderungan eksklusi sosial yang menampakkan diri dalam aneka
bentuk kekerasan sosial berbasis fundamentalisme keagamaan, tribalisme,
premanisme, serta sentimen kelas sosial mencerminkan lemahnya proses
institusionalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila.
Menurut sila pertama, eksklusi sosial terjadi akibat
kecenderungan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan tak lagi
mencerminkan semangat ”ketuhanan yang berkebudayaan”; ”yang lapang dan
toleran”, sebagaimana ditandaskan Bung Karno.Banyak orang beragama tak
mengembangkan sifat ketuhanan (meniru sifat rahman-rahim/welas-asih
Tuhan).Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme
peribadan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan
moralitas ketuhanan, mendorong ekspresi keberagaman yang mandul, kering,
keras, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.
Menurut sila kedua, meningkatnya kecenderungan eksklusi
sosial secara eksternal mencerminkan dekadensi nilai-nilai keadilan dan
keadaban dalam relasi kemanusiaan universal era globalisasi; dan secara
internal mencerminkan lemahnya pemahaman, penghayatan, dan pengamalan masalah
”hak-hak asasi manusia”.
Globalisasi membelah dunia ke pihak ”yang menang” (winners) dan ”yang kalah” (losers), serta menumbuhkan
ketaksetaraan baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007). Selain menimbulkan
deprivasi sosial bagi pihak-pihak kalah, globalisasi juga menimbulkan pluralisasi
dunia kehidupan yang menyebabkan terjadinya diferensiasi dan fragmentasi
dalam pandangan dunia. Keretakan pandangan dunia ini diperburuk distorsi
komunikatif dalam ruang publik akibat penaklukan rasionalitas nilai kebajikan
hidup bersama oleh rasionalitas instrumental dari dunia sistem kapitalisme.
Distorsi komunikatif menimbulkan alienasi sosial, yang melemahkan hubungan
permusyawaratan dengan hikmat-kebijaksanaan dalam kehidupan bersama.
Menurut sila ketiga, penguatan eksklusi sosial terjadi
karena untuk masa yang panjang politik segregasi telah mengantarkan Indonesia
sebagai masyarakat plural terkunci dalam situasi ”plural-monokulturalisme”;
dalam arti, terdiri dari ragam etno-kultural, tetapi hidup dalam kepompong
budaya masing-masing tanpa kehendak saling berbagi. Political correctness
menghendaki konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam
keragaman, dan keragaman dalam persatuan (Bhinneka Tunggal Ika); dengan
caramentrasformasikan situasi ”plural-monokulturalisme” menuju ”multikulturalisme”
lewat berbagai kebijakan yang mendorong ke perjumpaan dan persilangan
antarbudaya.
Menurut sila keempat, prinsip demokrasi Pancasila harus
dijalankan dengan cita kerakyatan (daulat rakyat); cita permusyawaratan
(kekeluargaan); cita hikmat-kebijaksanaan. Cita kerakyatan menghormati suara
rakyat dalam politik. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak menghadirkan
negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan sebagai
pantulan semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan
mengakui ”kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”.
Cita hikmat-kebijaksanaan menghendaki agar kerakyatan yang
dianut bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak
saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin daya-daya rasionalitas, kearifan
konsensual, dan komitmen keadilan. Riset-riset sosiologis menunjukkan bahwa
kecenderungan demokrasi yang tak mengindahkan proses-proses deliberatif
(musyawarah segala unsur) bukan saja bisa melahirkan berbagai kebijakan yang
mendiskriminasikan golongan minoritas, tetapi juga bisa membuat
kelompok-kelompok yang tidak terakomodasi dalam percaturan politik
formal—karena tereliminasi dari pemilihan umum—mengembangkan ekspresi
kekerasan.
Menurut sila kelima, sumber persatuan dan komitmen kebangsaan
dari negeri multikultural adalah ”konsepsi keadilan bersama” (a share conception of justice). Meminjam
John Rawls, ”Meskipun suatu masyarakat bangsa terbagi dan pluralistik…
kesepakatan publik atas persoalan-persoalan keadilan sosial dan politik
mendukung persaudaraan sipil dan menjamin ikatan-ikatan asosiasi.” Fakta
empiris, daerah yang diwarnai banyak kantong kemiskinan dan kesenjangan
sosial merupakan ladang persemaian subur bibit kekerasan. Meluasnya rasa
ketakadilan juga bukan wahana kondusif pengapresiasian gagasan persatuan
kewargaan.
Implementasi Pancasila
Dalam perkembangannya, keyakinan warga terhadap relevansi
dan aktualisasi Pancasila bisa bertambah dan berkurang seiring arus pengaruh
dan dinamika perubahan secara internal dan eksternal. Penurunan keyakinan
bisa terjadi manakala terdapat kesenjangan lebar antara idealitas Pancasila
dan realitas kehidupan. Untuk masa yang panjang, ketiga lapis
ideologis(keyakinan, pengetahuan, dan tindakan) Pancasila belum
diaktualisasikan secara efektif. Kendati keyakinan akan ketepatan Pancasila
sebagai landasan normatif kehidupan berbangsa dan bernegara begitu kuat
didengungkan pada masa Orde Lama dan Orde Baru, pada kenyataannya Pancasila
sebagai norma dasar negara tak selalu konsisten diikuti oleh produk perundang-undangan
dan kebijakan publik.
Berbeda dengan anggapan umum yang memandang Pancasila
sekadar teori, pada kenyataannya, Pancasila justru belum dikembangkan ke
dalam seperangkat teori secara elaboratif dan komprehensif, yang dapat
mewarnai konsepsi-konsepsi pengetahuan. Padahal, proses obyektivikasi dari
Pancasila sebagai keyakinan menjadi Pancasila sebagai ilmu sangat penting
karena ilmu adalah jembatan antara idealitas-ideologis dan
realitas-kebijakan. Yang lebih memprihatinkan terjadi dalam kerangka operatif
Pancasila. Dimensi tindakan dalam penyelenggaraan negara masih jauh panggang
dari tuntutan keyakinan normatif dan pengetahuan Pancasila. Pancasila belum
banyak diimplementasikan ke level operasional kebijakan dan tindakan
penyelenggara dan warga negara.
Kelemahan dalam mewujudkan imperatif keyakinan,
pengetahuan, dan tindakan ideologi Pancasila membuat kesaktian Pancasila
berhenti sebagai mantra penataran, kurang mampu dibumikan dalam realitas
kehidupan. Pancasila diajarkan dengan bahan dan metodologi deliveri kurang
menarik. Pancasila direduksi sekadar pengetahuan hafalan, kurang mampu
diinternalisasi sebagai pendirian hidup.
Sosialisasi Pancasila dijalankan secara vertikal: negara
yang mengambil inisiatif, negara yang menafsir, negara pula yang menatar;
kurang memberdayakan partisipasi masyarakat dalam usaha pengisian dan
pembudayaan Pancasila; membuat Pancasila menjadi ideologi tertutup.
Lebih menyedihkan lagi, saat kita makin memerlukan
Pancasila sebagai basis inklusi sosial, eksistensi Pancasila sendiri sudah
begitu lama kita abaikan. Pengalaman traumatis instrumentasi Pancasila di
masa lalu membuat kepercayaan penyelenggara dan warga negara terhadap
Pancasila merosot. Selama belasan tahun terakhir, Pancasila tidak lagi
menjadi pelajaran wajib di kebanyakan sekolah, bahkan ada kegamangan di
kalangan penyelenggara negara untuk mengartikulasikan Pancasila di ruang
publik. Situasi demikian membiarkan pasokan moral bagi peserta didik hanya
diisi oleh moral partikularitas keagamaan yang cenderung diisi oleh
kelompok-kelompok militan, yang membuat peserta didik kurang terpapar dan
terbudayakan dalam moral publik.
Kalaupun masih ada program bina ideologi dan mental yang
dilaksanakan berbagai kementerian dan lembaga negara, pada umumnya bersifat permukaan
(superfisial) dan kompartementalis, tanpa adanya kejelasan arah, sistematik,
struktur, dan koordinasi. Adapun materi pembelajaran Pancasila dalam
pendidikan dan sosialisasi wawasan kebangsaan kurang dipersiapkan secara
sungguh-sungguh, baik dari segi isi, metodologi dan daya tarik.
Tak mengherankan, berbagai survei menunjukkan tendensi
kemerosotan ketahanan nasional di bidang ideologi. Indeks Ketahanan Nasional
yang disusun Labkurtannas Lemhannas mengindikasikan melemahnya ketahanan
ideologi dan politik dalam tujuh tahun terakhir (2010-2016). Indeks ketahanan
ideologi (meliputivariabel toleransi, kesederajatan dalam hukum, kesamaan hak
kehidupan sosial, dan persatuan bangsa), merosot dariskornya 2,31 (2010)
menjadi 2,06 (2016).
Gambaran sama diperlihatkan hasil Survei Nilai-nilai
Kebangsaan oleh BPS 2015 (survei pertama di Indonesia). Dari setiap 100 orang
Indonesia, 18 orang bahkan tak tau judul lagu kebangsaan RI;53 persen orang
Indonesia tak hafal seluruh lirik lagu kebangsaan; 24 dari setiap 100 orang
tak hafal sila-sila Pancasila; 42 persen orang terbiasa menggunakan barang
bajakan; 55 persen orang Indonesia jarang bahkan tidak pernah ikut kerja
bakti.
Penetapan 1 Juni sebagai Hari Pancasila hendaknya tak
berhenti sebatas seremoni, tanpa bobot substansi. Peringatan kelahiran
Pancasila harus menjadi momentum mengarusutamakan gerakan kebajikan Pancasila
pada semua aras: lapisan keyakinan (mitos), pengetahuan (logos), dan
tindak-kejuangan (etos). Perlu penyegaran pemahaman, penghayatan, dan aktualisasi
nilai-nilai Pancasila untuk menangkal berjangkitnya beragam ancaman
ekstremisme dan eksklusi sosial. Dengan menguatkan nilai ketuhanan yang
berkebudayaan, kebangsaan yang berperikemanusiaan, serta demokrasi
permusyawaratan yang berorientasi keadilan sosial, Indonesia diharapkan mampu
menghadapi tantangan fragmentasi sosial dengan mental persatuan dan keadilan
yang inklusif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar