Bangsa
Sejahtera dan Bersatu
Siswono Yudo Husodo ; Ketua Pembina Yayasan
Universitas Pancasila
|
KOMPAS, 08 Juni 2017
Jajak pendapat Litbang Kompas (Kompas, 22/5/2017) menemukan bahwa solidaritas sosial dan
toleransi antar-umat beragama,
antarsuku/ etnis, serta antargolongan di Indonesia semakin melemah.
Kita perlu mengambil langkah-langkah yang efektif untuk memantapkan persatuan
bangsa yang majemuk dari segi agama, etnis, dan ras ini.
Merenggangnya hubungan antar-unsur bangsa ini tidak
terjadi secara tiba-tiba, tetapi sedikit demi sedikit, yang justru disebabkan
oleh perubahan sikap kita sendiri;
dimulai dengan anjuran untuk tidak menyampaikan "Selamat"
kepada penganut agama lain pada hari-hari besar keagamaannya (yang dahulu
merupakan hal yang biasa), bahkan larangan dan lebih jauh lagi mengharamkan.
Sebagai bangsa yang menerima fitrahnya menjadi bangsa yang
majemuk sebagai sunatullah (kehendak
Tuhan), selayaknyalah kita saling menghormati
dan karena itu kita saling menyampaikan "Selamat" kalau orang lain
berbahagia. Kita perlu merenungkan kembali masalah ini.
Lalu muncul umpatan kebencian, caci maki, fitnah,
berita-berita hoaks, yang terbuka di ruang publik, terutama di media sosial.
Kemudian muncul kelompok destruktif yang ingin mengubah negara dengan cara
menebar bom dan cara-cara lain yang tidak demokratis.
Juga sikap sebagian kecil masyarakat di ruang publik yang
menganggap penganut agama lain atau yang seagama tetapi berbeda aliran
sebagai golongan kafir yang pasti masuk neraka, sementara kelompoknya pasti akan masuk surga, telah menimbulkan ketaknyamanan dalam
relasi sosial, membuahkan kesan superioritas dan inferioritas di tubuh bangsa yang konstitusi negaranya menyatakan semua warga negara bersamaan kedudukannya
di depan hukum dan pemerintahan.
Memang ada beberapa paham tentang "kafir" ini.
Penulis pada tahun 1955 mendapatkan pencerahan yang diyakini kebenarannya
dari Kiai Irfan, pemimpin pesantren di Kendal, bahwa orang kafir adalah mereka yang tidak
percaya adanya Tuhan, adanya hari
akhir/kiamat serta surga dan neraka. Menurut Kiai Irfan, umat Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan aliran kepercayaan semuanya mengakui adanya
Tuhan, walaupun dengan sebutan yang berbeda, mengakui adanya hari
akhir/kiamat serta akhirat dengan
surga dan nerakanya, karena itu bukanlah golongan kafir.
Sebaiknya ungkapan mengafirkan golongan lain secara
terbuka dihentikan karena pengucap sendiri belum tentu masuk surga. Sikap
keagamaan di masyarakat kita yang heterogen ini memang sepatutnyalah saling
menghormati. Sikap keagamaan kita tentulah tak sama dengan Arab Saudi atau
Polandia yang 99,9 persen warganya memeluk agama sama. Tentu juga berbeda
dengan Lebanon yang masyarakatnya telah telanjur tersegregasi dalam
kelompok-kelompok Islam Sunni dan Islam Syiah, Kristen Maronit, Phalangist,
dan Druze.
Setiap warga tentu
meyakini agama yang dianutnya adalah yang terbaik, tercocok. Sikap ini
sebaiknya merupakan sikap internal, sementara eksternal terhadap penganut
agama lain saling menghormati. Dalam
Islam dalam surat Al- Kafirun disebutkan "Lakum
diinukum wa liya diin" (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).
Masalah timbul jika sikap internal itu
dinyatakan kepada penganut agama lain secara terbuka.
Piramida distribusi kesejahteraan
Kesenjangan ekonomi antarkelompok juga berkontribusi
membentuk situasi yang kurang nyaman ini. Kemajuan zaman telah mengubah
manusia menjadi homo economicus, yang menjadikan motif ekonomi sebagai
faktor determinan perilaku manusia.
Oleh karena itu, mantapnya persatuan bangsa ini memerlukan kehadiran cita
rasa keadilan di bidang ekonomi.
Pendapatan per kapita rakyat Indonesia terus meningkat.
Pada awal tahun 1960-an baru 60 dollar AS per tahun. Pada 2014 sebesar
3.531,45 dollar AS; pada 2016 menjadi 3.605,06 dollar AS. Sayangnya, naiknya tingkat pendapatan rata-rata
penduduk ini diikuti dengan melebarnya kesenjangan, yang tampak dari rasio gini yang memburuk. Badan Pusat
Statistik mencatat koefisien gini naik pesat dari 0,30 tahun 2000 menjadi
0,41 pada 2013 dan turun menjadi 0,394 pada September 2016.
Antara 2003 dan 2010, 10 persen rakyat Indonesia terkaya
konsumsinya meningkat 6 persen per
tahun. Sementara 40 persen rakyat Indonesia termiskin, konsumsinya meningkat
hanya 2 persen per tahun. Tingginya kenaikan kesejahteraan golongan the haves terutama disebabkan oleh penguasaan tanah dan naiknya
harga properti di perkotaan. Saat ini rasio gini tanah adalah 0,72;
ketimpangan yang sangat besar dalam penguasaan lahan.
Beberapa perusahaan bermodal besar menguasai sekitar 9
juta hektar kebun kelapa sawit, sementara luas areal perkebunan rakyat kurang
dari 3 juta hektar yang dimiliki hampir 1,5 juta rakyat. Areal hutan tanaman
industri dan hak pengusahaan hutan lebih dari 40 juta hektar dikuasai
beberapa perusahaan raksasa,
sedangkan hutan rakyat kurang
dari 1 juta hektar yang dimiliki ratusan ribu rakyat. Juga ada 28,27 juta hektar
lahan milik beberapa perusahaan tambang besar.
Laporan lembaga Wealthinsight menyebutkan bahwa populasi
jutawan dan kalangan ultrakaya (ultra
high net worth individuals/UHNWI) di Indonesia melonjak 62 persen pada
periode 2009-2013; lebih tinggi ketimbang India yang tumbuh 28,4 persen. Pada
tahun 2013, Indonesia punya 36.215 jutawan dengan nilai kekayaan kolektif
mencapai 230 miliar dollar AS atau setara Rp 2.915 triliun. Jumlah mereka bakal membengkak pada 2018,
menjadi 51.003 orang dengan kekayaan kolektif menjadi 336 miliar dollar AS atau
ekuivalen Rp 4.258 triliun.
Tentulah kemunculan orang-orang kaya di Indonesia patut
kita syukuri, sepanjang yang kaya ini juga mempercepat kemakmuran yang belum
kaya dan menciptakan lapangan kerja baru.
Meskipun jumlah kelas menengah dilaporkan terus meningkat,
piramida distribusi kesejahteraan di Indonesia berbentuk lebar sekali di
bawah lalu meruncing tajam ke atas dengan jarak antara puncak dan dasar
sangat jauh, serta di bagian atas yang
meruncing tajam itu didominasi oleh etnis Tionghoa. Hal ini menimbulkan
persepsi yang tidak menguntungkan. Di banyak negara terlihat bahwa etnis
Tionghoa memang merupakan pebisnis
yang tangguh.
Dari daftar yang dibuat Forbes tahun 2017, komposisi 150
orang Indonesia terkaya adalah pengusaha keturunan Tionghoa 122 orang, keturunan India 3 orang, dan pribumi 25 orang. Diperkirakan untuk daftar satu
juta orang Indonesia terkaya, baru
mulai didominasi kelompok pribumi, walaupun belum mengalahkan secara jumlah
kekayaan yang dimiliki.
Mencegah kebakaran besar
Perbedaan kaya-miskin yang mencolok itu seperti rumput kering yang oleh percikan
api dapat menimbulkan kebakaran besar. Dengan jiwa dan nilai-nilai Pancasila,
pemerintah dan semua unsur bangsa perlu segera meningkatkan usaha mempercepat peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang belum sejahtera, menekan kesenjangan dan membinekakan warga
yang telah sangat sejahtera. Untuk mewujudkannya, ada yang menjadi tugas
orang per orang, ada yang menjadi tugas masyarakat, dan ada yang menjadi
tugas pemerintah/negara.
Setiap warga negara memang perlu memiliki achievement
motivations, motivasi untuk maju, baik dari sisi pendidikan, kesejahteraan
maupun peradabannya. Itulah yang telah dimiliki oleh mereka yang telah sangat
sejahtera. Islam mengajarkan hal itu
melalui hadis yang menyatakan
"Kadal fakru ayakuna kufran" (kemiskinan dapat mengakibatkan
kekufuran); "tangan di atas (yang
memberi) lebih baik daripada tangan di
bawah (yang menerima)".
Deng Xiao Ping untuk memotivasi rakyatnya (yang telah
puluhan tahun di indoktrinasi komunisme) agar bersemangat mengejar
kesejahteraan menyatakan: "menjadi kaya itu mulia". Max Weber yang
meyakini adanya kemampuan besar pada setiap individu sebagai karunia Tuhan,
menyatakan "menjadi miskin itu dosa".
Negara dapat menggunakan semua instrumen yang dimiliki
untuk mendorong pemerataan
kemajuan dan kesejahteraan rakyat yang harus berorientasi pada percepatan kemajuan yang di bawah, yang
masih tertinggal tetapi tidak
menurunkan tingkat kehidupan mereka yang sudah mencapai kesejahteraan
yang tinggi, peradaban maju dan pendidikan yang tinggi.
Masalah kesenjangan ini bukan hanya terjadi di Indonesia
dan masing-masing juga mencoba mengatasinya. Di negara kapitalis, yang
mengagungkan persaingan bebas seperti di AS dan negara-negara Eropa, ada UU
anti-monopoli, UU anti-trust act, melarang penguasaan produksi secara
hulu-hilir dan pengenaan pajak progresif untuk orang kaya.
Malaysia juga mengalaminya, diuraikan dalam buku Mahathir
Mohamad, Malaysian Dilemma, pada tahun 1970 yang setelah beliau menjadi
perdana menteri diterapkannya dalam kebijakan afirmatif lewat The
New Economic Policy (NEP) yang berlangsung sejak 1971 hingga 1990,
dilanjutkan dengan The National
Development Policy (NDP) sejak 1991, dengan tujuan utama: mewujudkan
persatuan, harmoni, dan integrasi nasional melalui restrukturisasi kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang ditempuh melalui pemberian kredit yang lebih
murah dan kontrak-kontrak kerja yang khusus untuk warga etnis Melayu.
Perusahaan negara
Permodalan Nasional Berhad (PNB) aktif meningkatkan porsi kepemilikan
Bumiputera, yang pada tahun 1970 hanya
memiliki 2 persen porsi modal/share capital, ditargetkan menjadi 30 persen
pada tahun 1990. Setelah berjalan 30 tahun, pada tahun 2002 porsi modal
Bumiputera hanya tumbuh menjadi 19 persen.
Sementara, non-Bumiputera memiliki 43 persen. Sisanya asing.
Indonesia perlu memformulasikan sebuah kebijakan yang
tidak rasialis tetapi langsung mengena ke sasaran, memperkuat kelompok yang
lemah dan belum siap menghadapi persaingan ekonomi pasar terbuka. Joseph
Stiglitz (peraih Nobel) menyatakan bahwa kesenjangan ekonomi tidak dapat
diatasi oleh usaha komersial yang digerakkan oleh motif keuntungan karena
itulah penyebab dari kesenjangan.
Negara juga jangan
mengekang pertumbuhan kelompok kaya karena mereka ini diperlukan dalam
persaingan bisnis antarbangsa. Peningkatan dan pemerataan kesejahteraan warga
bangsa juga perlu dilakukan oleh masyarakat yang sudah lebih dulu makmur.
Solidaritas sosial yang anggun yang perlu ditingkatkan pada waktu ini adalah
kesadaran orang kaya untuk aktif membuat orang miskin cepat menjadi kaya
karena kaitan usaha atau penciptaan lapangan kerja.
Warisan budaya atau tradisi "paron",
"gaduhan", dan "Sumba kontrak" dapat dikembangkan sebagai
solidaritas kebersamaan kebangsaan yang khas Indonesia.
Patut disambut gembira
meningkatnya jumlah orang super kaya yang menjadi filantrop dan
meluasnya pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang telah
membawa kemajuan pada lingkungan masyarakat. Diharapkan, pada masa mendatang
akan tercipta kesejahteraan yang
berkeadilan, dengan rasio gini di bawah 0,3 dan konfigurasi yang lebih
mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kelompok elite perekonomian nasional.
Untuk memantapkan persatuan bangsa yang majemuk ini, sangatlah penting
memperbanyak interaksi sosial melalui pembauran antar-unsur bangsa dalam
berbagai kegiatan masyarakat yang mengakomodasi keberagaman; bersifat cross the board, lintas agama, suku,
ras. Kohesi masyarakat yang lebih kuat pada masa depan sangat ditentukan oleh
proses pembauran yang harus terjadi di empat lokus strategis: wilayah
permukiman, sekolahan, tempat bekerja/kegiatan bisnis, dan melalui perkawinan antar-etnis dan ras.
Rekayasa segregasi permukiman yang disengaja serta
diskriminasi etnis, ras, dan agama di sekolah dan tempat usaha/tempat bekerja
harus diakhiri. Menjadi tanggung jawab kita bersama, dunia usaha- terutama
kalangan yang telah sangat sejahtera, pemerintah, LSM, parpol, masyarakat
luas, dan setiap individu untuk mewujudkan
cita-cita kita bernegara, membangun masyarakat yang makin mantap bersatu,
rukun, guyub, damai, bahagia, yang makmur berkeadilan dan yang adil
berkemakmuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar