Plintat-plintut
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 08 Juni 2017
DPR barangkali sedang bersuka hati. Usulan hak angket KPK
yang dikritik dan ditolak-bahkan oleh fraksi-fraksi di DPR-kini berbalik
haluan. Rabu (7/6), rapat DPR menetapkan pimpinan Panitia Angket DPR terhadap
KPK. Ketuanya Agun Gunandjar (Partai Golkar). Dibantu tiga wakil ketua, yakni
Risa Mariska (PDI-P), Dossy Iskandar (Hanura), dan Taufiqulhadi (Nasdem).
Dalam waktu 40 hari saja, cerita hak angket KPK sudah
lain. Akhirnya, ada tujuh fraksi mengirim anggotanya ke Panitia Angket DPR
terhadap KPK, yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, PAN, PPP, Nasdem, dan Hanura.
Tiga fraksi bolehlah diacungi jempol. PKS, Partai Demokrat, dan PKB menolak
kirim perwakilannya. Dua fraksi akhirnya "balik badan". Bibir manis
hanya di awal doang. Begitulah Gerindra dan PAN.
"Sudah jelas, kan (sikap Gerindra yang
menolak)," kata Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto seusai
menghadiri milad PKS di Jakarta, Minggu (30/4). Bahkan, Gerindra sampai
walkout dari sidang paripurna pada 28 April lalu. Kelihatan
"heroik", ya?
Lalu, jangan tanya apakah PAN balik badan setelah
sesepuhnya, Amien Rais, disebut-sebut menerima aliran dana korupsi alat
kesehatan (alkes) di sidang mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.
Memang, sikap PAN sebelumnya amat keras. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan
menyatakan akan melakukan perlawanan jika hak angket diteruskan di tingkat
panitia angket.
"Kami akan lawan dengan cara apa pun, tentu. Kalau
memang tidak mengirim (perwakilan) bisa menyelesaikan masalah, ya, kami tidak
kirim. Kalau tidak menyelesaikan masalah, ya, kami tarung di dalam,"
ujar Zulkifli yang juga Ketua MPR, kala itu. Kedengarannya "heroik"
juga, kan?
Ketua Umum PPP Romahurmuziy pernah sewot dengan Arsul
Sani, "anak buahnya" yang mendukung hak angket. "Keputusan
Saudara Arsul Sani ini berdasarkan keputusan pribadi, bukan keputusan fraksi.
Maka, setelah fraksi memutuskan untuk tidak melanjutkan hak angket KPK,
seluruh kader PPP harus mematuhi keputusan itu," ujar Romahurmuziy.
Namun, semua itu cerita kemarin. Cerita hari ini lain
lagi. Namanya politikus. Benar juga peribahasa Jawa isuk tempe, sore dele
(pagi tempe, sore kedelai). Sebuah peribahasa yang menggambarkan sifat
manusia yang plintat-plintut, tak punya pendirian. Sepertinya hanya di
politik kemunafikan dan pengkhianatan dianggap "lumrah". Siapakah
yang percaya KPK tak terancam dengan hak angket?
Konrad Hermann Joseph Adenauer (1876-1967), kanselir
pertama Jerman (1949-1963), menjadi tamsil klasik politikus mencla-mencle dan
hipokrit. Ketika memimpin sidang, seorang politikus muda idealis
mengkritiknya, "Bagaimana mungkin Anda mengatakan berbeda dengan yang
Anda katakan sebulan silam?" "Peduli apa dengan omongan saya yang
kemarin-kemarin," kata Adenauer.
Inilah politik kepura-puraan dan kepalsuan. Barangkali
dalam term sosiolog Jean Baudrillard (1929-2007), inilah topeng-topeng
simulakra yang menggambarkan realitas politik semu. Episode kelanjutannya,
betapa sulit menemukan politik penuh kebajikan (virtue) yang diajarkan sejak
zaman Socrates (469-399 SM) dan Plato (428-348 SM).
Anehnya, DPR kelihatannya malah semringah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar